×

Selasa, 14 Maret 2017

Apakah Kerajaan Saudi Mewakili Islam ?

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Di saat umat Islam di Indonesia merasa dalam posisi terzalimi, karena kasus penistaan terhadap agama Islam belum juga diselesaikan oleh negara; di saat penguasa di negeri ini justru tampak memusuhi Islam dan umatnya, tidak sedikit yang menyuarakan harapan di media sosial kepada Raja Salman, yang nota bene adalah pelayan dua tanah suci, Makkah dan Madinah. Itu semua tampak dari penyambutan yang begitu rupa diberikan oleh sebagian umat Islam. Pertanyaannya, benarkah Kerajaan Arab Saudi dan Rajanya adalah representasi Islam?
Sebelumnya, Imam Shamsi Ali, telah menulis bahwa Kerajaan Arab Saudi bukan representasi Islam. Alasannya, karena sistem Monarchi itu sendiri bukan sistem Islam. Begitu tulis Imam Shamsi. Selain itu, diakui atau tidak, fakta Kerajaan Saudi juga tidak menerapkan syariat Islam juga tampak di dalam kehidupan masyarakatnya, terutama di kota-kota metropolitan, seperti Riyadh, Jeddah dan lainnya.
Selain itu, mereka juga menerapkan sistem ekonomi dan politik Kapitalisme, dengan stock market [bursa saham], sistem uang kertas [fiat money], parlemen, dan lain-lain. Meski dalam beberapa aspek, masih mempertahankan hukum Islam, seperti dalam urusan hudud dan jinayat.
Kerajaan Arab Saudi [KSA], yaitu Najed, Hijaz dan sekitarnya, adalah bagian dari Jazirah Arab. Jazirah Arab sebelumnya diperintah dengan Islam hingga akhir era Khilafah ‘Utsmaniyyah. Ketika Ibn Saud diangkat menjadi amir Najed, kemudian Hijaz diintegrasikan ke dalam wilayah Saudi, wilayah ini masih tetap diperintah dengan Islam. Sampai akhirnya, ‘Abdul ‘Aziz bin Saud mengubah sistem pemerintahan dari keemiran syar’i menjadi sistem Monarchi. Sejak saat itu hingga sekarang, sistem pemerintahan di Saudi bukan merupakan sistem Islam. Karena sistem Monarchi bukan sistem Islam.
Sistem Monarchi mempunyai hukum dan istilah tertentu, maka apa yang dilakukan secara simbolis, seperti pengambilan bai’at oleh kelompok tertentu, tidak bisa mengajukan maupun menangguhkan sistem tersebut, dan tidak bisa mengubahnya menjadi sistem Islam, karena secara substansial tetap bukan merupakan sistem Islam. Selain itu, faktanya bai’at yang diambil untuk mengangkat raja, baik untuk mengangkat Raja Saud, atau Raja Faishal, tetap tidak bisa menjadikan seseorang sebagai penguasa yang memerintah dengan sistem Monarchi, tetapi sistem Monarchi, putra mahkota dan hukum-hukum yang digunakan itu sendiri yang sesungguhnya menjadinya sebagai penguasa yang memerintah dengan sistem Monarchi. Baik bai’at itu sudah maupun belum dilakukan, bagi mereka bai’at itu hanya seremonial dan simbolik, untuk menipu khalayak dan menyesatkan logika publik, tetapi sama sekali tidak mempunyai pengaruh dalam pengangkatan penguasa.
Ini dari aspek sistem pemerintahan, dan bai’at yang bersifat simbolik. Adapun dari aspek hubungan luar negeri, hubungan luar negeri KSA tidak dibangun berdasarkan akidah Islam, bukan pula untuk mengemban dakwah Islam. Karena itu, secara qath’i, politik luar negeri KSA bukan sistem politik luar negeri Islam. Jika kita tambahkan, bahwa politik luar negerinya mengikuti AS atau Inggris, selain itu KSA mengikatkan dirinya dengan hukum internasional, maka politik luar negerinya jelas tidak berdasarkan sistem Islam.
Sistem ekonomi di KSA juga merupakan sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem ekonomi Kapitalisme adalah sistem kufur, sehingga tak ada yang tersisa kecuali sistem sanksi dan muamalah. Ini dimulai dari Raja Faishal yang memasukkan hukum-hukum Barat ke negerinya secara bertahap untuk menggantikan hukum Islam. Apapun kondisinya, andai saja yang tersisa hanya muamalah dan sanksi hukum saja, dimana peradilan di sana menjalankan hukum syara’, maka kondisi ini tidak cukup menjadikannya menjadi Negara Islam.
Karena itu, KSA bukan negara Islam, tetapi sama dengan negara-negara Arab yang lain, seperti Yordania, Kuwait, Maroko dan negara-negara non Islam lainnya. KSA jelas tidak ada bedanya dengan Yordania, kecuali peradilan di Saudi, yang menerapkan hukum syara’, baik dalam muamalah maupun sanksi hukum. Peradilan Yordania menerapkan hukum Islam dalam urusan pribadi, tetapi tidak dalam konteks yang lain. Sedangkan yang lain, baik Saudi maupun Yordania, sama saja.
Dengan demikian, saat ini, terutama setelah Khilafah ‘Utsmaniyyah runtuh 3 Maret 1924, atau sejak 93 tahun yang lalu,  jelas tidak ada yang menjadi representasi Islam. Saat ini tidak ada satu pun negara di dunia Islam yang bisa disebut sebagai Negara Islam dalam pengertian yang sesungguhnya. Kalau pun ada yang disebut Negara Islam sebutan itu hanyalah klaim, tetapi faktanya tidak.
sumber: https://hizbut-tahrir.or.id/2017/03/06/apakah-kerajaan-saudi-mewakili-islam/

Wajib Pemimpin Muslim, Haram Pemimpin Kafir

Allah SWT telah memerintahkan kaum Mukmin untuk menaati ulil amri (penguasa) dari kalangan mereka sendiri:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ﴾
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) serta ulil amri (penguasa) dari kalangan kalian (TQS an-Nisa` [4]: 59).
Kata kum dalam frasa minkum itu kembali kepada pihak yang diseru, yakni al-ladzîna âmanû. Frasa minkum itu maknanya min al-ladzîna âmanû (dari kalangan orang-orang yang beriman). Jadi ulil amri (penguasa) itu wajib Muslim. Lalu bagaimana mungkin kaum Muslim bisa menunaikan kewajiban untuk menaati pemimpin Muslim jika yang dipilih dan diangkat adalah pemimpin kafir?
Haram Pemimpin Kafir
Dengan tegas Allah SWT telah menyatakan keharaman orang kafir menjadi pemimpin atas kaum Muslim.
﴿وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى المُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً﴾
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 141).
Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Kepemimpinan adalah jalan paling besar untuk menguasai dan mengatur kepentingan kaum Muslim.”
Ayat ini merupakan kalimat berita (kalam al-khabar) yang berisi larangan (nahy). Pasalnya, di sini ada huruf nafyu al-istimrar, yakni “lan”, yang bermakna penafian untuk selamanya. Artinya, Allah SWT melarang selama-lamanya kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin. Karena itu berdasarkan ayat ini, semua ulama sepakat bahwa haram mengangkat orang kafir menjadi pemimpin atas kaum Mukmin (Ibnu al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, I/641).
Allah SWT juga tegas melarang kita untuk menjadikan orang kafir sebagai wali:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ﴾
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan kaum kafir sebagai wali di luar kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 144).
Di antara makna waliy (awliyâ’) adalah teman, teman dekat, orang khusus, penolong dan sebagainya. Namun, salah jika menganggap bahwa ayat ini hanya melarang untuk menjadikan orang kafir sebagai teman dan tidak melarang menjadikan mereka sebagai pemimpin atau penguasa. Sebabnya, makna kata awliyâ` (bentuk tunggalnya waliy) tidak boleh dibatasi hanya pada makna teman, khashah (orang khusus) atau bithânah (teman dekat), tanpa nas yang mengkhususkannya. Faktanya, di sini tidak ada nas yang mengkhususkannya. Karena itu pengkhususan makna kata awliyâ` hanya pada makna teman/teman dekat itu adalah pengkhususan tanpa didasarkan pada dalil (takhshîsh bi lâ mukhashshis).
Apalagi berdasarkan mafhûm muwâfaqah atas ayat di atas, jika menjadikan orang kafir sebagai teman dekat saja sudah haram, apalagi mengangkat orang kafir itu sebagai pemimpin atau penguasa, tentu lebih haram lagi. Syaikh Ihab Kamal Ahmad mengomentari tafsir kata awliyâ` dalam QS an-Nisa ayat 144, “Jika berkawan dengan mereka (kafir), membuka rahasia-rahasia kaum Mukmin kepada mereka, juga menjadikan mereka sebagai teman khusus sudah termasuk dalam bentuk memberikan loyalitas (ber-waliy) yang dilarang oleh ayat ini, maka tidak diragukan lagi bahwa menyerahkan urusan kaum Muslim kepada mereka dan menjadikan mereka sebagai penguasa atas kaum Muslim adalah juga termasuk bentuk ber-waliy yang paling jelas kepada mereka dan lebih berat keharamannya.” (Ihab Kamal Ahmad, Ar-Radd al-Mubîn ‘ala Man Ajaza Wilâyah al-Kafir ‘alâ al-Muslimîn, hlm. 3).
Masih banyak ayat al-Quran lainnya yang menegaskan keharaman pemimpin kafir atas kaum Muslim. Selain itu larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin (penguasa) juga dinyatakan dalam banyak hadis. Di antaranya hadis dari Ubadah bin Shamit ra., bahwa Nabi saw. telah bersabda:
«… وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ»
… Hendaknya kita tidak mengambil alih urusan itu dari yang berhak.” Beliau bersabda, “Kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sedangkan kalian mempunyai bukti yang kuat di hadapan Allah.” (HR al-Bukhari).

Jika penguasa Muslim yang menjadi kafir saja wajib diganti, yakni haram terus dijadikan penguasa, tentu orang yang sejak awal kafir lebih dilarang lagi untuk dijadikan pemimpin (penguasa) atas kaum Muslim.
Para ulama juga telah menyepakati keharaman pemimpin kafir atas kaum Muslim. Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan, “Para ulama telah bersepakat bahwa kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Kalau kemudian tampak kekufuran pada pemimpin maka dia wajib diganti.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, VI/315).
Ibnu Mundzir juga menyatakan, “Telah sepakat para ahli ilmu yang menjadi rujukan, bahwa orang kafir tidak boleh berkuasa atas kaum Muslim dalam urusan apapun.” (Ibnu al-Qayyim, Ahkâm Ahl ad-Dzimmah, II/787).

Tetap Berlaku dan Mengikat
Seorang Muslim harus tetap menggunakan standar hukum syariah di mana dan kapan pun. Menurut standar hukum syariah seperti diuraikan di atas, jelas sekali, wajib pemimpin Muslim dan haram pemimpin kafir. Ketentuan halal dan haram ini tetap berlaku dan mengikat bagi seorang Muslim kapan dan di mana saja. Imam Syafii dalam Al-Umm menyatakan:
أَنَّ الْحَلاَلَ فِي دَارِ اْلإِسْلاِمِ حَلاَلٌ فِي بِلاَدِ الْكُفْرِ وَالْحَرَامَ فِيْ بِلاَدِ اْلإِسْلاَمِ حَرَامٌ فِي بِلاَدِ الْكُفْرِ
Sungguh apa saja yang halal di Dâr al-Islâm (Khilafah) tetap halal di negeri-negeri kufur. Apa saja yang haram di negeri-negeri Islam tetap haram di negeri-negeri kufur (Imam Syafii, Al-Umm, XIX/hal. 237, Darul Wafa`, al-Mansurah, 2001).
Imam Syaukani juga mengatakan:
فَإِنَّ أَحْكَامَ الشَّرْعِ لاَزِمَةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ فِي أَيِّ مَكَانٍ وَجَدُوْا، وَ دَارُ الْحَرْبِ لَيْسَتْ بِنَاسِخَةٍ لِلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ أَوْ لِبَعْضِهَا
Sungguh hukum-hukum syariah tetap mengikat kaum Muslim di manapun mereka berada. Dâr al-Harb (negara kafir) bukanlah penghapus (nâsikh) bagi hukum-hukum syariah atau sebagiannya (Asy-Syaukani, Asy-Sayl al-Jarrâr, Dar Ibn Hazm, Beirut, 2004).
Dengan demikian hukum tentang kewajiban pemimpin Muslim dan keharaman pemimpin kafir itu tetap berlaku dan mengikat atas kaum Muslim. Setiap Muslim akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT atas sejauh mana ia terikat dan menjadikan hukum syariah itu sebagai standar sikap dan perbuatannya. Siapa saja yang patuh akan mendapat pahala. Sebaliknya, siapa saja yang menyimpang akan mendapat dosa dan siksa-Nya.
Saatnya Mencampakkan Sistem Sekular
Pangkal masalah di seputar pemimpin saat ini adalah penerapan sistem sekular. Sistem sekular menolak campur tangan agama (Islam). Dalam sistem sekular, syariah Islam tak boleh dijadikan patokan. Karena itu wajar jika sistem sekular membolehkan orang kafir jadi penguasa.
Persoalan pemimpin kafir dan berbagai turunannya yang muncul sekarang ini sesungguhnya berpangkal pada sistem sekular itu. Sistem sekular bahkan menjadi pangkal bagi ragam persoalan dan bencana yang menimpa umat ini. Sistem sekular inilah yang melahirkan demokrasi. Doktrin dasar demokrasi adalah kedaulatan manusia (rakyat). Tidak ada demokrasi tanpa kedaulatan di tangan manusia (rakyat). Karena kedaulatan di tangan manusia, hukum pun mudah dijadikan alat kepentingan. Itu pulalah pangkal masalah mengapa hukum banyak menguntungkan pemilik modal bahkan pihak asing dan banyak merugikan rakyat. Demokrasi pula yang membuat penguasa lebih mengabdi pada kepentingan modal dan para cukong dengan mengalahkan kepentingan rakyat.
Sistem sekular dengan ekonomi kapitalismenya juga menjadi pangkal berbagai bencana ekonomi: kekayaan rakyat dikuasai kapitalis dan asing, subsidi untuk rakyat dihapus, rakyat diperas dan bahkan menyubsidi pemilik modal, negara memposisikan rakyat jadi konsumen dan pembeli, dan berbagai bencana ekonomi lainnya. Ragam masalah dan bencana lainnya yang menimpa umat manusia juga tidak bisa dilepaskan dari sistem sekular ini.
Wahai Kaum Muslim:
Jelas, persoalan tentang pemimpin kafir dengan berbagai persoalan turunannya, juga beragam masalah bahkan bencana yang terjadi sat ini, akan terus terjadi dan berulang selama sistem sekular tetap diterapkan. Karena itu penyelesaian berbagai masalah itu mengharuskan penerapan sistem sekular diakhiri.
Berikutnya tentu harus diterapkan sistem yang baik, adil dan bisa mewujudkan keadilan. Tidak ada sistem yang baik, adil dan berkeadilan kecuali hanya sistem Islam dengan syariahnya. Sebab, sistem Islam berasal dari Allah SWT yang Mahaadil dan Mahabijaksana. Syariah Islam tidak mungkin sempura diterapkan kecuali di bawah sistem Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Karena itu syariah dan Khilafah menjadi solusi atas beragam persoalan yang dihadapi umat manusia. Lebih dari itu, penerapan syariah di bawah sistem Khilafah merupakan tuntutan keimanan dan diwajibkan oleh Allah SWT.
Alhasil, wajib memilih pemimpin Muslim, dan wajib pula pemimpin terpilih menerapkan hanya syariah Islam.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb[]
sumber:https://hizbut-tahrir.or.id/2017/02/11/wajib-pemimpin-muslim-haram-pemimpin-kafir/

Melanjutkan Agenda Perjuangan Umat: Mewujudkan Kepemimpinan Syar’i

Berbicara tentang kepemimpinan, sesungguhnya berbicara tentang dua hal: sosok pemimpin dan sistem kepemimpinan. Dalam konteks Islam, dua-duanya penting. Karena itu, selain umat Islam wajib memilih sosok pemimpin yang memenuhi syarat-syarat formal sesuai tuntutan syariah; penting dan wajib pula sosok pemimpin tersebut menerapkan sistem kepemimpinan yang juga sesuai syariah. Itulah yang dalam istilah politik Islam disebut dengan Imamah atau Khilafah.
Sosok Pemimpin Syar’i
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhâm al-Hukm fî al-Islâmenyebutkan syarat-syarat syar’i yang wajib ada pada seorang pemimpin (Imam/Khalifah) yaitu: (1) Muslim; (2) laki-laki; (3) dewasa (balig); (4) berakal; (5) adil (tidak fasiq); (6) merdeka; (7) mampu melaksanakan amanah Kekhilafahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. (Lihat juga: Al-Islam, Ed. 842, 3/2/2017).
Syaikh an-Nabhani juga menyebutkan syarat tambahan—sebagai keutamaan, bukan keharusan—bagi seorang pemimpin, yakni: (1) mujtahid; (2) pemberani; (3) politikus ulung; (4) keturunan Quraisy.
Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Afkâr as-Siyâsiyyah juga menyebutkan beberapa karakter seorang pemimpin yaitu: Pertama, berkepribadian kuat. Orang lemah tidak pantas menjadi pemimpin. Abu Dzar ra. pernah memohon kepada Rasululah untuk menjadi pejabat, namun Rasul saw. bersabda, “Abu Dzar, kamu adalah orang yang lemah, sementara jabatan ini adalah amanah, dan pada Hari Pembalasan amanah itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah tersebut sesuai dengan haknya dan menunaikan kewajiban dalam kepemimpinannya.” (HR Muslim).
Kedua, bertakwa. Sulaiman bin Buraidah, dari bapaknya, menuturkan, “Rasulullah saw., jika mengangkat seorang pemimpin pasukan atau suatu ekspedisi pasukan khusus, senantiasa mewasiatkan takwa kepada dirinya.” (HR Muslim).
Seorang pemimpin yang bertakwa akan selalu menyadari bahwa Allah SWT senantiasa memonitor dirinya dan dia akan selalu takut kepada-Nya. Dengan demikian dia akan menjauhkan diri dari sikap sewenang-wenang (zalim) kepada rakyat maupun abai terhadap urusan mereka. Khalifah Umar ra., kepala negara Khilafah yang luas wilayahnya meliputi Jazirah Arab, Persia, Irak, Syam (meliputi Syria, Yordania, Libanon, Israel, dan Palestina), serta Mesir pernah berkata, “Andaikan ada seekor hewan di Irak terperosok di jalan, aku takut Allah akan meminta pertanggungjawabanku mengapa tidak mempersiapkan jalan tersebut (menjadi jalan yang rata dan bagus).”(Zallum, idem).
Ketiga, memiliki sifat welas kasih. Ini diwujudkan secara konkret dengan sikap lembut dan bijak yang tidak menyulitkan rakyatnya. Dalam hal ini Rasulullah saw. pernah berdoa, “Ya Allah, siapa saja yang diberi tanggung jawab memimpin urusan umatku dan menimbulkan kesulitan bagi mereka, maka persulitlah dia. Siapa saja yang memerintah umatku dengan sikap lembut (bersahabat) kepada mereka, maka lembutlah kepada dia.” (HR Muslim).
Abu Musa al-Asy’ari r.a., saat diutus menjadi wali/gubernur di Yaman, menyatakan bahwa Rasulullah saw. pun pernah bersabda, “Gembirakanlah (rakyat) dan janganlah engkau hardik. Permudahlah mereka dan jangan engkau persulit (urusan mereka).” (HR al-Bukhari).
Keempat, jujur dan penuh perhatian. Ma’qil bin Yasar menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang memimpin pemerintahan kaum Muslim, lalu dia tidak serius mengurus mereka, dan tidak memberikan nasihat yang tulus kepada mereka, maka dia tidak akan mencium harumnya aroma surga.” (HR Muslim).
Perhatian pemimpin tentu bukan sekadar dalam memenuhi kebutuhan fisik rakyat, tetapi juga kebutuhan ideologis agar mereka tetap di jalur kehidupan yang mengantarkan mereka menuju ridha Allah SWT sehingga mereka sukses dunia-akhirat.
Kelima, istiqamah memerintah dengan syariah. Diriwayatkan bahwa Muadz bin Jabal, saat diutus menjadi wali/gubernur Yaman, ditanya oleh Rasulullah saw., “Dengan apa engkau memutuskan perkara?” Muadz menjawab, “Dengan Kitabullah.” Rasul saw. bertanya lagi, “Dengan apalagi jika engkau tidak mendapatinya (di dalam al-Quran)?” Muadz menjawab, “Dengan Sunnah Rasululllah.” Rasul saw. bertanya sekali lagi, “Dengan apalagi jika engkau tidak mendapatinya (di dalam al-Quran maupun as-Sunnah)?” Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad.” Kemudian Rasulullah saw. berucap: “Segala pujian milik Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah ke jalan yang disukai Allah dan Rasul-Nya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Sistem Kepemimpinan Syar’i
Dalam pandangan Islam, sistem kepemimpinan yang syar’i adalah sistem kepemimpinan yang dibangun oleh Rasulullah saw. Dalam shirah nabawiyyah, berdasarkan riwayat-riwayat yang terpercaya, telah disebutkan informasi akurat mengenai bentuk dan stuktur sistem kepemimpinan yang dibangun Rasulullah saw. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Madinah menunjukkan bahwa beliau membangun negara, melakukan aktivitas kenegaraan serta meletakkan landasan teoretis bagi bentuk dan sistem pemerintahan yang maju. Bahkan di kemudian hari, sistem pemerintahan Islam, baik yang menyangkut aspek kelembagaan maupun hukum, banyak diadopsi dan menjadi dasar bagi sistem pemerintahan modern. Memang pada masa Rasulullah saw. sistem dan struktur kenegaraan belum dilembagakan dalam sebuah buku khusus. Namun, praktik kenegaraan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat adalah perwujudan nyata dari sistem pemerintahan Islam, yang berbeda dengan sistem pemerintahan manapun.
Pemerintahan Islam yang dibangun oleh Rasulullah saw. meliputi asas negara, struktur, perangkat, mekanisme pemerintahan, serta kelengkapan-kelengkapan administratif. Pemerintahan Islam didasarkan pada prinsip: kedaulatan di tangan syariah dan kekuasaan di tangan rakyat.
Kedaulatan (sovereignty) adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum. Islam telah menggariskan bahwa kedaulatan tertinggi untuk membuat hukum hanya di tangan Allah SWT semata. Manusia, termasuk Khalifah, tidak memiliki kewenangan dan hak sama sekali untuk membuat hukum. Khalifah hanya berkewajiban mengadopsi hukum yang digali oleh para mujtahid dari nash syariah melalui ijtihad yang benar, untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat.
Adapun kekuasaan adalah kewenangan untuk mengangkat kepala negara (khalifah). Kewenangan ini ada di tangan rakyat yang disalurkan melalui sebuah mekanisme yang bernama baiat. Dalam Islam, rakyat memiliki kewenangan mengangkat salah seorang di antara mereka untuk menjadi kepala negara yang akan mengatur urusan mereka dengan syariah Islam.
Daulah Islam dipimpin oleh seorang khalifah yang bertugas untuk menerapkan dan menegakkan hukum Islam di dalam negeri serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Oleh karena itu, aturan yang diberlakukan di dalam Daulah Islam adalah aturan Islam, yang terpancar dari akidah Islam, bukan aturan lain. Allah SWT berfirman:
]فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ[
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan (QS an-Nisa’ [4]: 65).

Allah SWT pun berfirman:
]وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ[
Hendaklah kamu (Muhammad) memutuskan perkara di tengah-tengah mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan (QS al-Maidah [5]: 49).

Allah SWT juga berfirman:
]وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ[
Siapa saja yang tidak menerapkan hukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan, maka mereka adalah orang-orang kafir (QS al-Maidah [5]: 44).
Atas dasar ini, seluruh perundang-undangan Daulah Islam, baik undang-undang dasar maupun undang-undang lain yang ada di bawahnya, wajib berupa syariah Islam yang digali dari akidah Islam, yakni bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah.
Dalam sejarah, nyata sekali bahwa Rasulullah saw. membangun Daulah Islam di Madinah al-Munawwarah berdasarkan akidah Islam dengan seluruh pilar dan strukturnya, termasuk membentuk pasukan/militer, menjalin hubungan ke dalam dan ke luar negeri, dll sesuai dengan tuntutan syariah Islam.

Khatimah
Dengan demikian, agenda umat saat ini adalah bagaimana mewujudkan kepemimpinan syar’i yang meliputi: sosok pemimpin syar’i dan sistem kepemimpinan syar’i. Kita berharap, hal ini bisa menjadi kesadaran dan opini umum kaum Muslim. Dengan itu aspirasi dan kecenderungan kaum Muslim tidak hanya sekadar memilih sosok pemimpin yang berkarakter sebagaimana disebutkan syarat-syarat dan kriterianya di atas. Lebih dari itu, mereka juga mau memperjuangkan sistem kepemimpinan Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat membangun Daulah Islam di Madinah, yang dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dalam wujud Khilafah ‘ala minhâj an-Nubuwwah.
Alhasil, keberadaan kepemimpinan Islam berupa Khilafah Islam tidak bisa ditawar-tawar lagi. Khilafahlah yang sanggup menerapkan syariah Islam secara total (kâffah). Khilafah inilah sesungguhnya yang wajib terus diupayakan dan diperjuangkan oleh segenap komponen umat Islam agar segera terwujud di tengah-tengah mereka. WalLâhu al-Muwaffiq ilâ aqwam at-tharîq. []

sumber:https://hizbut-tahrir.or.id/2017/02/19/melanjutkan-agenda-perjuangan-umat-mewujudkan-kepemimpinan-syari/

Pendidikan Islam Menjaga Tsaqafah dan Identitas Umat

Bangsa manapun mempunyai warisan pemikiran tertentu yang menjadi tumpuan bagi keberadaan dan keberlangsungannya. Warisan pemikiran inilah yang disebut dengan tsaqâfahTsaqâfah adalah kumpulan pengetahuan tentang hukum dan aturan yang berkaitan dengan keyakinan (akidah, iman), pandangan hidup, penyelesaian masalah (problem solving), sistem kehidupan masyarakat, bahasa, ilmu pengetahuan yang berlandaskan pada keimanan dan perjalanan sejarah bangsa. Di atas tsaqâfah tersebut suatu bangsa akan membangun peradaban (hadhârah)-nya, menentukan target dan tujuannya, serta menentukan model kehidupannya yang khas.
Setiap bangsa akan berjuang demi kedaulatan tsaqâfah dan pandangan hidupnya; memelihara dan melestarikan tsaqâfah-nya sebagai warisan bagi generasi selanjutnya. Cara paling penting untuk menjaga dan melestarikan tsaqâfah adalah dengan pendidikan. Warisan pemikiran itu akan ditanamkan pada akal dan hati generasi umat, ditulis dan diajarkan kepada mereka di sekolah maupun universitas. Seperti itulah generasi umat Islam dari masa ke masa.
Pendidikan Islam berlangsung sepanjang hayat di rumah, di tengah masyarakat dan di lembaga pendidikan. Pendidikan Islam telah sukses menjaga tsaqâfah dan identitas umat Islam sebagai umat terbaik yang pernah ada di dunia. Pendidikan Islam berhasil mempersembahkan peradaban luhur yang mencapai masa keemasan nan gemilang.
Namun, setelah Khilafah dihancurkan, dan sistem pendidikan tidak lagi berpijak pada Islam, melainkan pada sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), pendidikan telah menghancurkan bangunan tsaqâfah Islam di benak generasi Muslim. Pendidikan sekuler berusaha menggantikan posisi tsaqâfahIslam melalui kebijakan negara penjajah (Barat) dan para penguasa komprador. Mereka melakukan berbagai cara seperti menyebar misionaris di negeri Muslim atas nama penyebaran ilmu dan membangun sekolah-sekolah sekuler. Mereka mengirim pelajar Muslim ke sekolah-sekolah Barat agar saat kembali mereka menjadi orang yang terdidik dengan tsaqâfah Barat. Mereka pun berupaya menyebarkan tsaqâfah Barat itu di negeri Muslim sekaligus menyusun kurikulum yang sesat dan merusak. Para komprador itu senantiasa melakukan revisi atas kurikulum dari waktu ke waktu dalam rangka memenuhi keinginan tuan-tuan Barat penjajah mereka. Akibatnya, tidak tersisa satu hubungan pun dengan Islam baik dekat ataupun jauh.
Di Indonesia, sebuah versi baru sekularisasi pendidikan dijalankan dengan mempromosikan ‘Islam Moderat’. Mulai tahun 2016, diterapkan kurikulum pendidikan Islam baru yang menekankan pada pemahaman Islam yang damai, toleran dan moderat. Kenyataannya, hal ini adalah bentuk penolakan terhadap tsaqâfah Islam, pemikiran politik Islam, serta syariah dan Khilafah Islam.
Di sisi lain sekularisasi ini menerima kepercayaan-kepercayaan non-Islam yang berasal dari liberalisme dan keyakinan lain di bawah kedok “keragaman budaya”. Menteri Agama RI menyatakan bahwa kurikulum baru ini adalah respon Pemerintah untuk mempromosikan perdamaian di tengah meningkatnya penyebaran ‘doktrin radikal’ di lembaga-lembaga akademis. Kementerian Agama bahkan bergerak di level regional dengan memfasilitasi sebuah forum sinergi Halaqah Ulama ASEAN 2016 yang terdiri dari Ulama dan Pesantren Asia Tenggara demi mempromosikan ‘Islam Moderat’ dan nilai moderatisme Islam.
Proses sekularisasi pendidikan ini pun terjadi di negeri kaum Muslim lainnya. Di Tunisia, Yordania, Palestina, Maroko dan Aljazair kampanye massif tentang perubahan kurikulum sedang berlangsung. Pada dasarnya perubahan ini menargetkan sekularisasi kurikulum pendidikan dan memutus hubungannya dengan akidah Islam dalam konteks perang melawan ‘terorisme dan ekstremisme’. Perubahan ini akan menghilangkan identitas umat Islam.
Mengembalikan Fungsi Pendidikan yang Benar
Agar pendidikan kembali berfungsi untuk menjaga tsaqâfah di benak kaum Muslim, wajib bagi kita untuk merumuskan kembali kebijakan pendidikan yang tidak keluar sedikitpun dari asas akidah Islam. Tujuan penting dari kebijakan ini adalah membangun sosok pribadi islami, yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan berpikirnya dan pemahaman hidupnya.
Akidah Islam adalah pondasi yang kokoh. Kebijakan pendidikan berbasis akidah Islam akan menjamin pembentukan cara pandang yang benar pada generasi Muslim. Mereka akan memahami bahwa Islam telah memberikan solusi bagi persoalan umat: ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. Mereka dibina dengan tsaqâfah Islam sehingga mampu menerapkan Islam dalam kehidupan mereka.
Kebijakan pendidikan Islam memperhatikan ilmu-ilmu Islam seperti fikih, hadis, tafsir, ilmu ushul dan sebagainya; ditambah ilmu-ilmu tertentu untuk level sekolah tinggi seperti ilmu kedokteran, teknik sipil, ilmu alam dan lain-lain. Kebijakan pendidikan Islam memperhatikan bahasa Arab, menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan serta mengalokasikan waktu yang memadai untuk bahasa Arab sebagaimana ilmu lainnya.
Kebijakan pendidikan Islam tidak memasukkan materi apapun dari tsaqâfah asing yang akan meragukan atau melemahkan akidah dan pandangan hidup kaum Muslim. Tsaqâfah asing hanya diajarkan di level sekolah tinggi sesuai kebijakan tertentu yang tidak menyalahi syariah Islam. Materi tersebut diajarkan semata-mata untuk dikritisi aspek pertentangan dan kesalahannya.
Namun demikian, hal-hal yang berhubungan dengan sains seperti kimia, fisika, kedokteran dan teknik tetap dimasukkan ke dalam kurikulum di berbagai tahap pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan bergantung pada kelompok usia, juga dipelajari di studi pasca sarjana, yang semua itu boleh diambil dari sekolah dan universitas negara-negara lain. Hanya saja, materi yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Islam seperti Teori Darwin, misalnya, tetap tidak boleh diajarkan sekalipun dengan dalih ilmu pengetahuan.
Pentingnya Khilafah
Agar seluruh kebijakan tersebut terwujud, tentu perlu adanya negara yang menerapkan hukum dan mengatur semua urusan sesuai dengan ketentuan akidah Islam. Itulah Khilafah Islam. Khilafah Islam akan menjamin pelaksanaan kebijakan pendidikan Islam yang menjaga tsaqâfah dan identitas umat sekaligus membawa penerapannya ke seluruh dunia. Pada masa lalu, seluruh umat manusia di dalam Khilafah Islam dipengaruhi oleh tsaqâfah Islam. Ini karena tsaqâfah Islam dibawa oleh tentara yang sekaligus ulama yang tinggal di wilayah taklukan. Mereka mengajarkan Islam dan bahasa Arab. Bahkan mereka membuka sekolah selain membuka pelajaran di masjid-masjid. Sekolah-sekolah ini diberi nama dengan nama para sultan dan khalifah yang mendirikannya, seperti sekolah “Shalahiyah” di Yerusalem yang dinisbatkan kepada Shalahudin Al-Ayyubi. Kala itu bentuk peradaban dan ilmu-ilmu yang tidak bertentangan dengan Islam dipelajari dan diambil. Rasulullah saw. pun pernah mengirim orang untuk belajar industri manjanik ke negara yang sudah sukses membuatnya. Namun, Rasulullah saw. tidak mengirim orang untuk mempelajari moral dan nilai-nilai serta budaya Persia dan Romawi. Khalifah Umar bin al-Khattab pernah memasukkan format daftar kepegawaian ke dalam administrasi Khilafah Islam yang diambil dari Persia tanpa mentransfer budaya mereka.
Khilafah Islam akan memprioritaskan pendidikan dan menjalankan tanggungjawabnya. Ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasul saw. sebagai kepala Negara Islam di Madinah saat menetapkan tebusan bagi tahanan di Perang Badar dengan mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang Muslim. Sebagai kepala Negara Islam, Rasulullah saw. menggratiskan biaya pendidikan dengan pembiayaan dari Baitul Mal.
Pada era Kekhilafahan Islam, Khilafah juga menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan yaitu laboratorium, perpustakaan dan sarana lainnya pengetahuan. Khilafah pun mengawasi kurikulum di sekolah-sekolah dan universitas serta membuat satu kurikulum standar untuk negeri dan swasta. Khilafah tidak mengizinkan pendirian sekolah yang mengajarkan tsaqâfah Barat di negeri kaum Muslim. Khilafah pun memutus mata rantai lembaga-lembaga misionaris dan sejenisnya yang terjun dalam lembaga pendidikan dan berusaha untuk merusak anak-anak kita.
Khilafah Islam akan menyiapkan anak-anak Muslim menjadi ilmuwan, termasuk spesialis di semua bidang kehidupan baik dalam hukum Islam, ilmu fikih dan peradilan ataupun dalam sains seperti teknik, kimia, fisika, kedokteran dan sebagainya. Mereka akan menjadi ulama dan ilmuwan yang mumpuni untuk membawa Khilafah Islam menduduki posisi pertama di dunia sekaligus menjadi pemimpin dan berpengaruh karena ideologinya. Itulah Khilafah Rasyidah ‘ala minhâj an-Nubuwwah yang akan tegak kembali—dengan izin Allah SWT—untuk kedua kalinya, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
«…ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»
…Kemudian akan datang Khilafah yang berjalan di atas metode kenabian (HR Ahmad). []

sumber: https://hizbut-tahrir.or.id/2017/03/11/pendidikan-islam-menjaga-tsaqafah-dan-identitas-umat/

 
×
Judul