DOWNLOAD:
HAL 1 - 220
HAL 221-444
VERSI ARAB
Syakhshiyah (kepribadian) pada setiap manusia terbentuk oleh ‘aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap)-nya. Bentuk tubuh, wajah, keserasian (fisik) dan sebagainya bukan unsur pembentuk syakhshiyah. Sebab semua itu hanyalah kulit (penampakan lahiriah) semata. Sangat dangkal jika ada yang beranggapan bahwa semua itu merupakan salah satu faktor yang membentuk dan mempengaruhi syakhshiyah.
Pertama:
Kedua:
21 Dzul Hijjah 1424 H
Daftar Isi ~ 7
HAL 1 - 220
HAL 221-444
VERSI ARAB
Syakhshiyah (kepribadian) pada setiap manusia terbentuk oleh ‘aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap)-nya. Bentuk tubuh, wajah, keserasian (fisik) dan sebagainya bukan unsur pembentuk syakhshiyah. Sebab semua itu hanyalah kulit (penampakan lahiriah) semata. Sangat dangkal jika ada yang beranggapan bahwa semua itu merupakan salah satu faktor yang membentuk dan mempengaruhi syakhshiyah.
‘Aqliyah (pola pikir) adalah cara yang
digunakan untuk memikirkan sesuatu; yakni cara mengeluarkan keputusan
hukum tentang sesuatu, berdasarkan kaidah tertentu yang diimani dan
diyakini seseorang. Ketika seseorang memikirkan sesuatu untuk
mengeluarkan keputusan hukum terhadapnya dengan menyandar kepada akidah
Islam, maka ‘aqliyah-nya merupakan ‘aqliyah Islamiyah (pola pikir Islami). Jika tidak seperti itu, maka ‘aqliyah-nya merupakan ‘aqliyah yang lain.
Sedangkan nafsiyah (pola sikap) adalah cara yang digunakan seseorang untuk memenuhi tuntutan gharizah (naluri) dan hajat al-’adhawiyah
(kebutuhan jasmani); yakni upaya memenuhi tuntutan tersebut berdasarkan
kaidah yang diimani dan diyakininya. Jika pemenuhan naluri dan
kebutuhan jasmani tersebut dilaksanakan dengan sempurna berdasarkan
akidah Islam, maka nafsiyah-nya dinamakan nafsiyah Islamiyah. Jika pemenuhan tersebut tidak dilakukan dengan cara seperti itu, berarti nafsiyah-nya merupakan nafsiyah yang lain.
Jika kaidah –yang digunakan– untuk ‘aqliyah dan nafsiyah seseorang jenisnya sama, siapa pun dia, maka syakhshiyah-nya pasti merupakan syakhshiyah yang khas dan unik. Ketika seseorang menjadikan akidah Islam sebagai asas bagi ‘aqliyah dan nafsiyah-nya, maka syakhshiyah-nya merupakan syakhshiyah Islamiyah. Namun, jika tidak demikian, berarti syakhshiyah-nya adalah syakhshiyah yang lain.
Karena itu (untuk membentuk syakhshiyah Islamiyah), tidak cukup hanya dengan ‘aqliyah Islamiyah,
di mana pemiliknya bisa mengeluarkan keputusan hukum tentang benda dan
perbuatan sesuai hukum-hukum syara’, sehingga dia mampu menggali hukum,
mengetahui halal dan haram; dia juga memiliki kesadaran dan pemikiran
yang matang, mampu menyatakan ungkapan yang kuat dan tepat, serta mampu
menganilisis berbagai peristiwa dengan benar. Semuanya itu belum cukup,
kecuali setelah nafsiyah-nya juga menjadi nafsiyah Islamiyah, sehingga bisa memenuhi tuntutan gharizah dan hajat al-’adhawiyah-nya
dengan landasan Islam. Dia akan mengerjakan shalat, puasa, zakat, haji,
serta melaksanakan yang halal dan menjauhi yang haram. Dia berada dalam
posisi yang memang disukai Allah, dan mendekatkan diri kepada-Nya,
melalui apa saja yang telah difardhukan kepadanya, serta berkeinginan
kuat untuk mengerjakan berbagai nafilah, hingga dia makin
bertambah dekat dengan Allah Swt. Dia akan menyikapi berbagai kejadian
dengan sikap yang benar dan tulus, memerintahkan yang makruf, dan
mencegah yang munkar. Juga mencintai dan membenci karena Allah, dan
senantiasa bergaul dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik.
Demikian juga tidak cukup jika nafsiyah-nya merupakan nafsiyah Islamiyah, sementara ‘aqliyah-nya
tidak. Akibatnya, bisa jadi beribadah kepada Allah dengan kebodohan,
yang justru menyebabkan pelakunya akan tersesat dari jalan yang lurus.
Misalnya, berpuasa pada hari yang diharamkan; shalat pada waktu yang
dimakruhkan, dan bersikap lemah terhadap orang yang melakukan
kemunkaran, bukannya mengingkari dan mencegahnya. Bisa jadi dia akan
bermuamalah dan bersedekah dengan riba, dengan anggapan, bisa
mendekatkan diri kepada Allah, justru pada saat di mana sebenarnya dia
telah tenggelam dalam kubangan dosanya. Dengan kata lain, dia telah
melakukan kesalahan tapi menyangka telah melakukan kebajikan. Akibatnya,
dia memenuhi tuntutan gharizah dan hajat al-’udhawiyah tidak sesuai dengan perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya saw.
Sesungguhnya syakhshiyah Islamiyah ini tidak akan berjalan dengan lurus, kecuali jika ‘aqliyah orang tersebut adalah ‘aqliyah Islamiyah, yang
mengetahui hukum-hukum yang memang dibutuhkannya, dengan senantiasa
menambah ilmu-ilmu syariah sesuai dengan kemampuannya. Pada saat yang
sama, nafsiyah-nya juga merupakan nafsiyah Islamiyah,
sehingga dia akan melaksanakan hukum-hukum syara’, bukan sekadar untuk
diketahui, tetapi untuk diterapkan dalam segala urusannya, baik dengan
Penciptanya, dengan dirinya sendiri, maupun dengan sesamanya, sesuai
dengan cara yang memang disukai dan diridhai oleh Allah Swt.
Jika ‘aqliyah dan nafsiyah-nya telah terikat dengan Islam, berarti dia telah menjelma menjadi syakhshiyah Islamiyah,
yang akan melapangkan jalannya menuju kebaikan di tengah-tengah
berbagai kesulitan, dan dia pun tidak pernah takut terhadap celaan orang
yang mencela, semata-mata karena Allah.
Hanya saja, tidak berarti dalam diri
prilakunyatidak akan pernah ada kecacatan. Tetapi (kalaulah ada),
kecacatan tersebut tidak akan mempengaruhi syakhshiyah-nya
selama kecacatannya bukan perkara pangkal (dalam kepribadiannya),
melainkan pengecualian (kadang terjadi, kadang tidak). Alasannya, karena
manusia bukanlah malaikat. Dia bisa saja melakukan kesalahan, lalu
memohon ampunan dan bertaubat. Bisa juga dia melakukan kebenaran, lalu
memuji Allah atas kebaikan, karunia, dan hidayah-Nya.
Ketika seorang muslim meningkatkan tsaqafah Islamnya untuk meningkatkan ‘aqliyah-nya, dan meningkatkan ketaatannya untuk memperkuat nafsiyah-nya;
ketika dia berjalan menuju puncak kemuliaan, dan teguh dalam mengarungi
puncak kemuliaan, bahkan semakin tinggi, dari yang tinggi ke yang lebih
tinggi lagi; dalam kondisi seperti ini, dia bisa menguasai kehidupan
(dunia) dengan sesungguhnya, serta memperoleh kebahagian akhirat melalui
segala usahanya ke sana, dengan keyakinan penuh. Dia akan menjadi orang
yang senantiasa dekat dengan mihrab, pada saat yang sama menjadi pahlawan perang (jihad). Predikatnya yang tertinggi adalah bahwa dia merupakan hamba Allah Swt., Penciptanya.
Di dalam buku ini, kami mempersembahkan kepada kaum
Muslim umumnya, dan para pengemban dakwah khususnya, beberapa pilar
pengokoh nafsiyah Islamiyah, supaya lisan para pengemban dakwah —yang sedang berjuang untuk menegakkan Khilafah— senantiasa basah dengan dzikir
kepada Allah; hatinya senantiasa dipenuhi dengan ketakwaan kepada
Allah; anggota badannya senantiasa bergegas melaksanakan berbagai
kebaikan. Membaca al-Quran dan mengamalkannya, serta mencintai Allah dan
Rasul-Nya. Suka dan benci karena Allah. Senantisa mengharapkan rahmat
Allah, dan takut akan azab-Nya. Bersabar sembari terus melakukan
instrospeksi, disertai kepatuhan penuh kepada Allah dan bertawakal
kepada-Nya. Konsisten dalam memegang kebenaran, bagai gunung yang tinggi
menjulang. Bersikap lemah-lembut dan penuh kasih sayang kepada
orang-orang Mukmin, dan bersikap keras dan terhormat di hadapan
orang-orang kafir. Dia tidak terpengaruh oleh caci maki orang yang
mencaci maki, semata karena Allah; akhlaknya baik, tutur katanya manis,
hujjahnya kuat, dan senantiasa menyerukan kepada yang makruf dan
mencegah kemunkaran. Dia melangkah dan beramal di dunia, sementara kedua
matanya senantiasa menatap nun jauh di sana (negeri akhirat), surga
yang luasnya seluas langit dan bumi, yang telah disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa.
Tak lupa, kami juga ingin mengingatkan para
pengemban dakwah yang tengah berjuang demi melanjutkan kembali kehidupan
Islam di muka bumi ini dengan menegakkan negara Khilafah Rasyidah. Kami
ingin mengingatkan mereka tentang kondisi riil tempat mereka berkiprah.
Sesungguhnya goncangan yang bertubi-tubi dari musuh-musuh Allah dan
Rasul-Nya sedang mengepung mereka. Sementara, jika mereka tidak bersama
Allah di tengah malam dan di ujung-ujung waktu siang hari, bagaimana
mungkin mereka bisa membuka jalan di tengah-tengah berbagai kesulitan?
Bagaimana mungkin mereka bisa meraih apa yang mereka harapkan? Bagaimana
mungkin mereka bisa mendaki tempat yang tinggi dan menuju ke tempat
yang lebih tinggi lagi? Bagaimana dan bagaimana?
Terakhir, hendaknya para pengemban dakwah kembali
menelaah dan menghayati dua hadits yang bisa menerangi dan membimbing
jalan mereka untuk meraih tujuan mereka. Cahaya itu kelak akan
membimbing kedua kaki mereka.
Pertama:
»أَوَّلُ دِيْنِكُمْ
نُبُوَّةٌ وَرَحْمَةٌ ثُمَّ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ …
ثُمَّ تَعُوْدُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ «
Permulaan agama kalian adalah kenabian dan
rahmat, kemudian Khilafah yang mengikuti metode kenabian… kemudian akan
kembali lagi Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian.
Dalam hadits ini terdapat kabar gembira, bahwa
Khilafah akan kembali lagi dengan izin Allah. Tetapi, Khilafah tersebut
akan kembali seperti Khilafah yang pertama, yaitu kekhilafahan para
Khalifah yang mendapatkan petunjuk, para sahabat Rasulullah saw. Maka,
siapa saja yang berambisi untuk mengembalikan-nya, dan rindu untuk
melihatnya, hendaklah dia melangkahkan langkahnya ke sana, disertai
keyakinan, agar dia bisa seperti para sahabat Rasulullah saw. atau
orang-orang seperti mereka.
Kedua:
»إِنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ
قَالَ: مَنْ أَهَانَ لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ باَرَزَنِىْ فِي الْعَدَاوَةِ،
ابْنَ آدَمَ لَنْ تُدْرِكَ مَا عِنْدِي إِلاَّ بِأَدَاءِ مَا افْتَرَضْتُهُ
عَلَيْكَ، وَلا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ
حَتَّى أُحِبُّهُ فَأَكُوْنَ قَلْبَهُ الَّذِي يَعْقِلُ بِهِ، وَلِسَانَهُ
الَّذِي يَنْتِقُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، فَإِذَا
دَعَانِيْ أَجَبْتُهُ، وَإِذَا سَأَلَنِيْ أَعْطَيْتُهُ، وَإَذَا
اسْتَنْصَرَنِيْ نَصَرْتُهُ، وَأَحَبُّ عِبَادَةِ عَبْدِيْ إِلَيَّ
االنَّصِيْحَةُ«
Sesungguhnya Allah Swt. berfirman, “Barangsiapa
menghinakan wali (kekasih)-Ku, ia telah terang-terangan memusuhi-Ku.
Wahai Anak Adam, engkau tidak akan mendapatkan apa saja yang ada pada-Ku
kecuali dengan melaksanakan perkara yang telah Aku fardhukan kepadamu.
Hamba-Ku yang terus-menerus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan
melaksanakan ibadah sunah, maka pasti Aku akan mencintainya. Maka (jika
Aku telah mencintainya) Aku akan menjadi hatinya yang ia berpikir
dengannya; Aku akan menjadi lisannya yang ia berbicara dengannya; dan
Aku akan menjadi matanya yang ia melihat dengannya. Jika ia berdoa
kepada-Ku, maka pasti Aku akan mengabulkannya. Jika ia meminta
kepada-Ku, maka pasti Aku akan memberinya. Jika ia meminta pertolongan
kepada-Ku, maka pasti Aku akan menolongnya. Ibadah hamba-Ku yang paling
Aku cintai adalah memberikan nasihat.” (Dikeluarkan oleh ath-Thabrâni dalam kitab al-Kabir)
Hadits ini berisi penjelasan mengenai jalan untuk
meraih pertolongan dan bantuan Allah, serta dukungan dari sisi-Nya
dengan mendekatkan diri kepada-Nya, dan memohon pertolongan kepada-Nya.
Dialah Dzat yang Maha Kuat dan Perkasa. Siapa saja yang membela Allah,
dia tidak akan pernah dihinakan. Sebaliknya, siapa saja yang
menghina-Nya, maka dia tidak akan pernah diberi pertolongan. Dia sangat
dekat dengan hamba-Nya, ketika dia berdoa kepada-Nya. Dia Maha
mengabulkan doa hamba-Nya, ketika dia memohon untuk dikabulkan. Dialah
Dzat yang Maha Perkasa di atas hamba-Nya. Dialah Dzat yang Maha Lembut
dan Maha Mengetahui.
Karena itulah wahai saudaraku, bersegeralah kalian
menggapai ridha dan ampunan Allah, juga menggapai surga dan
pertolongan-Nya, serta keberuntungan di dunia dan akhirat. Allah Swt.
berfirman:
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
Dalam yang demikian itu hendaklah orang-orang yang berlomba bersegera mengadakan perlombaan. (TQS. al-Muthafifîn [83]: 26)
21 Dzul Hijjah 1424 H
12 Februari 2004 M
Daftar Isi ~ 7
Pendahuluan ~ 9
- Bersegera Melaksanakan Syariat ~ 16
- Memelihara Al-Quran ~ 30
- Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya ~ 40
- Cinta dan Benci karena Allah ~ 55
- Takut kepada Allah dalam Kondisi Tersembunyi dan Terang-terangan ~ 87
- Menangis karena Takut dan Ingat kepada Allah ~ 103
- Mengharapkan Rahmat Allah dan Tidak Pustus Asa dari Rahmat-Nya ~ 111
- Sabar Menghadapi Cobaan dan Ridha terhadap Qadha ~ 120
- Doa, Zikir, dan Istighfar ~ 139
- Tawakal dan Ikhlash ~ 153
- Konsisten dalam Kebenaran ~ 164
- Lemah Lembut terhadap kaum Mukmin dan Keras terhadap Kaum Kafir ~ 200
- Merindukan Surga dan Berlomba dalam Kebaikan ~ 221
- Orang yang Paling Baik Akhlaknya ~ 272
- Adab Berbicara ~ 402
- Berbahagialah Orang-orang yang Terasing. Mereka Memperbaiki Apa-apa yang Dirusak Manusia ~ 432
0 komentar:
Posting Komentar