×

Kamis, 29 November 2018

MANHAJ HADITS SYAIKH TAQIYYUDDIN AL-NABHANI (Kajian Kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1)

Oleh: Yuana Ryan Tresna

Manhaj Hadits yang Diadopsi Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani

Manhaj syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam ilmu hadits, dan dalam penerimaan dan penolakan hadits dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, kaidah dalam menerima dan menolak rawi hadits (kaidah al-jarh wa al-ta’dil) adalah sebagaimana pendapat jumhur para ulama hadits, yakni keberadaannya harus adil dan dhabith.

يُشترط فيمن يُحتج براويته أن يكون عدلاً ضابطاً لما يرويه. أما العدل فهو المسلم البالغ العاقل الذي سَلِمَ من أسباب الفسق وخوارم المروءة. وأما الضابط فهو المتيقظ غير المغفل، الحافظ لروايته إنْ روى مِن حفظه، الضابط لكتابته إن روى من الكتاب العالم بمعنى ما يرويه وما يحيل المعنى عن المراد، إن روي بالمعنى. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 329)

“Disyaratkan bagi orang yang periwayatannya dijadikan hujjah adalah seorang adil dan dhabithh terhadap apa yang diriwayatkannya. Adil adalah seorang muslim yang baligh, berakal dan selamat dari sebab-sebab kefasikan ataupun celah-celah muru’ah (wibawa). Sedangkan dhabithh adalah orang cerdas dan sigap, tidak pelupa, hafal terhadap periwayatannya (jika dia meriwayatkan dari hafalannya), dan cermat terhadap tulisannya (jika dia meriwayatkan dari kitabnya), mengetahui makna hadits yang diriwayatkannya dan makna yang melenceng dari yang dimaksudkannya kalau ia meriwayatkan dengan makna.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 329)

Kedua, periwayatan firqah-firqah dan madzhab-madzhab Islam termasuk ahli bid’ah diterima dengan syarat. Ini adalah pendapat jumhur ahli hadits, tidak diterima atau ditolak secara mutlak.

كل مسلم اجتمعت فيه شروط قبول الرواية بأن كان عدلاً ضابطاً، تُقبل روايته بغض النظر عن مذهبه وفرقته، إلا إن كان داعياً لفرقته أو مذهبه، لأن الدعوة للفرقة والمذهب لا تجوز. أمّا إن كان داعياً للإسلام ويشرح الأفكار التي يتبناها بادلتها، فإنه تقبل روايته، لأنه يكون حينئذ داعياً للإسلام وهذا لا يطعن بروايته. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 332)

“Setiap muslim yang terkumpul padanya syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, yaitu (rawi tersebut) adil dan dhabith, maka periwayatannya diterima tanpa melihat lagi madzhab dan kelompoknya, kecuali jika dia sebagai penyeru bagi kelompoknya atau madzhabnya, karena seruan untuk suatu kelompok atau suatu madzhab, tidak dibolehkan. Namun, jika dia sebagai penyeru untuk Islam, kemudian menjelaskan seluruh pemikiran yang diadopsinya beserta dalil-dalilnya, maka periwayatannya dapat diterima, karena dia adalah penyeru untuk Islam dan periwayatannya tidak dicela.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 332)

Ketiga, definisi hadits shahih dan hasan merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Khusus definisi hadits hasan, beliau menampilkan semua pendapat para ulama yang memang berbeda pendapat dalam mendefinisakan hadits hasan. Menampilkan semuanya tanpa menguatkan salah satunya, padahal definisi-definisi tersebut memiliki titik perbedaan yang cukup signifikan.

الصحيح: هو الحديث الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذاً ولا معللاً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 337)

“Shahih, adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan dari orang yang adil dan dhabith sampai akhir, tidak syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah) dan juga tidak ada ‘illat (cacat).” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 337)

الحسن: هو ما عرف مخرّجه واشتهر رجاله وعليه مدار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر العلماء ويستعمله عامة الفقهاء. أي أن لا يكون في إسناده من يُتَّهم بالكذب، ولا يكون حديثاً شاذاً. وهو نوعان:
أحدهما: الحديث الذي لا يخلو رجال إسناده من مستور لم تتحقق أهليته، غير أنه ليس مغفلاً كثير الخطأ، ولا هو متهماً بالكذب. ويكون متن الحديث قد روي مثله من وجه آخر فيخرج بذلك عن كونه شاذاً أو منكراً، ثانيهما: أن يكون راويه من المشهورين بالصدق والأمانة ولم يبلغ درجة رجال الصحيح في الحفظ والإتقان، ولا يُعد ما ينفرد به منكراً، ولا يكون المتن شاذاً ولا معللاً. فالحديث الحسن ما رواه عدل قل ضبطه متصل السند غير معلّل ولا شاذ. والحديث الحسن يُحتج به كما يُحتج بالصحيح سواء بسواء. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 338)

“Hasan, adalah sesuatu (hadits) yang diketahui tempat periwayatannya dan terkenal para rawinya serta kebanyakan hadits bertumpu kepadanya. Hadits ini diterima oleh kebanyakan ulama dan digunakan oleh kebanyakan fuqaha’. Artinya, dalam isnadnya tidak terdapat orang yang dituduh dusta dan tidak terdapat pula haditsnya yang syadz. Hadits hasan ada dua macam: Pertama, hadits yang tidak lepas rijal al-isnad dari orang yang mastur (majhul hal), yang tidak layak kemampuannya, tidak pelupa, tidak sering salah dan juga tidak dituduh dusta. Selain itu matan haditsnya (yang serupa) telah diriwayatkan melalui jalur lain sehingga dapat mengeluarkannya dari syadz atau munkar; Kedua, rawinya terdiri dari orang-orang yang terkenal, jujur dan amanah, tetapi tidak sampai kepada tingkatan rawi hadits shahih dari segi al-hifzh wa al-itqan (hafalan dan keakuratannya). Hadits yang menyendiri dari kriteria rawi diatas ini tidak dianggap sebagai hadits munkar, dan matannya tidak menjadi syadz dan tidak pula menjadi mu’allal. Hadits hasan diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang dhabithnya, bersambung sanadnya tidak mu’allal dan tidak syadz. Hadits hasan dapat diambil hujjahnya sebagaimana hadits shahih, satu dengan lainnya sama saja.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)

Keempat, definisi hadits dha’if juga merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Hadits dha’if yang parah kelemahannya tidak bisa naik menjadi shahih atau hasan. Adapun yang kelemahannya ringan bisa naik dengan banyaknya jalan periwayatan (sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya).

الضعيف: هو ما لم يجمع فيه صفات الصحيح ولا صفات الحسن. ولا يحتج بالضعيف مطلقاً. ومن الخطأ القول أن الحديث الضعيف إذا جاء من طرق متعددة ضعيفة ارتقى إلى درجة الحسن أو الصحيح. فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً، ثم جاء من طرق أخرى من هذا النوع ازداد ضعفاً إلى ضعف. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 338)

“Dha’if, sesuatu (hadits) yang tidak terkumpul didalamnya sifat-sifat hadits shahih dan sifat-sifat hadits hasan. Hadits dha’if sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Merupakan sebuah kekeliruan anggapan bahwa hadits dha’if apabila datang dari jalur yang bermacam-macam yang sama-sama dha’if maka (hadits dha’if) meningkat derajatnya menjadi derajat hadits hasan atau hadits shahih. Apabila kelemahan hadits disebabkan oleh kefasikan perawinya atau karena tertuduh dusta secra nyata, kemudian datang dari jalur lain berupa hal yang serupa maka justru akan bertambah lemah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)

Kelima, bahwa hadits shahih dan hasan dapat dijadikan sebagai hujjah dan sebaliknya hadits dha’if tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Ini adalah kaidah umum para ulama hadits.

أن الحديث الصحيح والحديث الحسن هما اللذان يحتج بهما، والحديث الضعيف لا يُحتج به. والذي يجعل الحديث مقبولاً أو مردوداً هو النظر في السند والراوي والمتن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 339)

“Bahwa hadits shahih dan hadits hasan dapat dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan hadits dla’if tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Yang menjadikan suatu hadits bisa diterima atau ditolak adalah sanad, rawi dan matannya.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 339)

Keenam, kaidah penetapan shahih atau dha’if suatu hadits merujuk kepada kaidah para ahli hadits mu’tamad yaitu dengan mempertimbangkan banyaknya jalan (jam’u al-thuruq), dan melakukan i’tibar dengan mempertimbangkan mutabi’ dan syawahid yang memungkinkan hadits dha’if (yang tidak parah) naik menjadi hasan li ghairihi. Adapun dalam penerimaan hadits sebagai hujjah, merujuk pada manhaj para fuqaha’.

فلا يرد حديث لأنه لم يستوف شروط الصحيح ما دام سنده ورواته ومتنه مقبولة، أي متى كان حسناً بأن كل رجاله أقل من رجال الصحيح، أو كان فيه مستور أو كان فيه سيء الحفظ ولكن تقوى بقرينة ترجح قبوله، كان يتقوى بمتابع أو شاهد، أي براوٍ ظن تفرده، أو حديث آخر، فلا يتنطع في رد الحديث ما دام يمكن قبوله حسب مقتضيات السند والراوي والمتن. ولا سيما إذا قبله أكثر العلماء واستعمله عامة الفقهاء فإنه حري بالقبول، ولو لم يستوف شروط الصحيح لأنه يدخل في الحسن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 342)

“Suatu hadits tidak tertolak karena tidak terpenuhinya syarat-syarat hadits shahih, selama sanadnya dan para rawinya serta matannya diterima, yakni ketika haditsnya itu hasan di mana para rawinya lebih rendah sedikit dari para rawi hadits shahih, atau dalam hadits tersebut terdapat mastur atau butruk hafalannya, akan tetapi diperkuat dengan indikasi yang mengutamakan penerimaannya. Seperti halnya diperkuat dengan adanya mutabi’ atau syahid, yaitu dengan adanya seorang rawi yang diduga menyendiri, atau dengan adanya hadits lain. Jadi, tidak sembarangan menolak hadits. Selama bisa diterima sesuai ketentuan-ketentuan sanad, rawi dan matannya. Terlebih lagi jika telah diterima oleh sebagian besar ulama, dan sebagian fuqaha’ pun menggunakannya, maka hadits tersebut telah terpilih dan layak diterima, walaupun tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, hanya termasuk hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 342)

Ketujuh, kaidah dalam menghukumi hadits (al-hukm ‘ala al-hadits) sangat kompleks, tidak hanya karena pertimbangan satu sanad. Lemahnya satu sanad belum tentu hadits tersebut lemah, karena boleh jadi ada sanad lain yang kuat atau menguatkan. Belum lagi dengan meneliti semua sanad yang ada dan membandingkan matan-matannya secara komprehensif. Ini adalah manhajnya para ulama hadits mutaqaddimin dan muta’akhirin.

تعتبر قوة السند شرطاً في قبول الحديث، إلا أنه ينبغي أن يعلم أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعين الحكم بضعفه في نفسه. إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يُروى إلا من هذا الوجه. فمن وجد حديثاً بإسناد ضعيف فالأحوط أن يقول أنه ضعيف بهذا الإسناد ولا يحكم بضعف المتن مطلقاً من غير تقييد. ولذلك رد الإسناد لا يقتضي رد الحديث. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 345)

“Kekuatan sanad dianggap sebagai syarat dalam penerimaan hadits. Hanya saja patut diketahui bahwa lemahnya sanad hadits tidak mengharuskan menghukumi hadits tersebut juga lemah. Kadangkala hadits memiliki sanad yang lain, kecuali seorang imam menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak diriwayatkan kecuali melalui jalur ini. Maka barangsiapa yang mendapatkan suatu hadits dengan sanad yang lemah lebih baik berhati-hati mengatakan bahwa hadits ini lemah dengan sanad ini. Tidak boleh menghukumi secara mutlak dengan lemahnya matan tanpa batasan. Jadi, penolakan terhadap sanad tidak otomatis menolak hadits.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 345)

Kedelapan, dalil bagi hukum syara’ (bukan perkara aqidah) cukup dengan hadits ahad (yang berfaidah zhanni) dengan syarat keberadaannya maqbul (shahih atau hasan). Ini adalah perkara yang sudah disepakati dan diketahui.

أما الحكم الشرعي فيكفي أن يكون دليله ظنياً. ولذلك فإنه كما يصلح أن يكون الحديث المتواتر دليلاً على الحكم الشرعي كذلك يصلح أن يكون خبر الآحاد دليلاً على الحكم الشرعي. إلا أن خبر الآحاد الذي يصح أن يكون دليلاً على الحكم الشرعي هو الحديث الصحيح والحديث الحسن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 346)

“Adapun hukum syara’ dalilnya cukup dengan dalil yang bersifat zhanni. Dengan demikian, hadits mutawatir dapat dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’, begitu juga khabar ahad layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’. Hanya saja khabar ahad yang layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’ adalah hadits shahih dan hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)

Kesembilan, metode penerimaan terhadap suatu hadits adalah cukup bahwa hadits tersebut dinilai maqbul oleh sebagian ulama hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Oleh karena itu, suatu kemestian untuk hati-hati dalam menolak suatu hadits hanya karena ada ulama yang melemahkannya.

وكل من يستدل به لا يعتبر أنه استدل بدليل شرعي. إلا أن اعتبار الحديث صحيحاً أو حسناً إنما هو عند المستدل به إن كانت لديه الأهلية لمعرفة الحديث، وليس عند جميع المحدثين. ذلك أن هناك رواة يُعتبرون ثقة عند بعض المحدثين، ويُعتبرون غير ثقة عند البعض، أو يعتبرون من المجهولين عند بعض المحدثين، ومعروفين عند البعض الآخر. وهناك أحاديث لم تصح من طريق وصحت من طريق أخرى. وهنالك طرق لم تصح عند البعض وصحت عند آخرين. وهناك أحاديث لم تعتبر عند بعض المحدثين وطعنوا بها، واعتبرها محدثون آخرون واحتجوا بها. وهناك أحاديث طعن بها بعض أهل الحديث، وقبلها عامة الفقهاء واحتجوا بها. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 346)

“Setiap orang yang menggunakan dalil tersebut tidak dianggap telah mengambil dalil syara’. Hanya saja anggapan suatu hadits sebagai hadits shahih atau hadits hasan ketika ada orang yang berdalil dengan hadits tersebut dan memiliki keahlian untuk mengetahui suatu hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Di sana terdapat para rawi yang dianggap tsiqah oleh sebagian ulama hadits tetapi tidak dianggap tsiqah oleh sebagian yang lain, atau mereka dianggap orang-orang yang majhul oleh sebagian ulama hadits tetapi dianggap orang-orang yang tidak ma’ruf oleh sebagian yang lain. Terdapat juga hadits-hadits yang tidak shahih melewati satu jalur tetapi shahih menurut jalur yang lain. Di sana terdapat jalur-jalur yang tidak shahih menurut sebagian akan tetapi shahih menurut sebagian yang lain. Ada pula hadits-hadits yang tidak dijadikan rujukan menurut sebagian ulama hadits dan mereka mencelanya, sedangkan ulama hadits lain menganggapnya (menerimanya) dan bisa digunakan sebagai hujjah. Juga ada hadits-hadits yang sebagian ahli hadits mencelanya tetapi diterima oleh mayoritas para fuqaha’ dan mereka menggunakannya sebagai hujjah." (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)

Kesepuluh, prinsip kehati-hatian, dimana harus perlahan dalam mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah dalam penolakan hadits.

فيجب التأني والتفكير في الحديث قبل الإقدام على الطعن فيه أو رده. والمتتبع للرواة وللأحاديث يجد الاختلاف في ذلك بين المحدثين كثيراً، والأمثلة على ذلك كثيرة جداً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 347)

“Jadi harus perlahan-lahan dan mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah pada pencelaan atau penolakan. Orang yang mengamati para perawi dan hadits-hadits akan menemukan banyaknya pertentangan dalam masalah ini di kalangan ulama hadits. Contoh mengenai hal ini sangat banyak.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 347)

Kesebelas, sebagaimana pendapat jumhur fuqaha’, maka sah bagi seseorang untuk berdalil dengan suatu hadits selama dianggap maqbul (shahih dan hasan) menurut sebagian ulama hadits.

ويجوز الاستدلال بأي حديث إذا كان معتبراً عند بعض المحدثين وكان مستوفياً شروط الحديث الصحيح أو الحديث الحسن، ويعتبر دليلاً شرعياً على أن الحكم حكم شرعي. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 350)

“Boleh berdalil dengan hadits apapun dibolehkan selama keberadaannya dianggap (diterima) oleh sebagian ulama hadits, mencukupi atau memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan, dan hal itu dianggap sebagai dalil syara’, sehingga dengan sendirinya berarti telah berhukum dengan hukum syara’.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 350)

Itulah manhaj syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam ushul hadits dan dalam penerimaan dan penolakan suatu hadits, adalah manhaj pemilik Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.

Kenaikan Derajat Hadits Karena Banyaknya Jalan

Merujuk manhaj yang diterangkan sebelumnya, masih ada yang menyangka kalau syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani berpendapat bahwa hadits dha’if tidak bisa naik menjadi hasan lighairihi. Dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337), Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani rahimahullahu ta’ala menerangkan,

ولا يحتج بالضعيف مطلقاً

Karena memang teori dasarnya hadits dha’if itu tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh diamalkan. Faktanya, dalam pengamalan hadits dha’if, para ulama merinci lagi dan diantara mereka terbagi menjadi 3 pendapat. Teorinya, hadits shahih itu wajib diamalkan. Faktanya, ada hadits shahih yang mukhtalif dengan kategori mansukh dan marjuh yang ghair ma’mul (tidak bisa diamalkan).

Masih dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337) disebutkan,

ومن الخطأ القول أن الحديث الضعيف إذا جاء من طرق متعددة ضعيفة ارتقى إلى درجة الحسن أو الصحيح. فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً، ثم جاء من طرق أخرى من هذا النوع ازداد ضعفاً إلى ضعف.

Jadi itu (tidak bisanya hadits dha'if naik menjadi hasan atau shahih) terjadi pada hadits yang kedha’ifannya parah. Ungkapan,

فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً

Memberikan keterangan bahwa kedha'ifan hadits karena fasiknya rawi atau karena rawi tertuduh dusta (muttaham bi al-kadzib) menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah hadits munkar dan matruk. Artinya hadits yang dimaksud adalah yang kedha'ifannya sangat berat.

Jumhur ahli hadits sepakat bahwa hadits yang kedha’ifannya parah tidak bisa naik menjadi hasan atau shahih.

Secara praktik, syaikh Taqiyyuddin mengambil beberapa hadits dha’if yang diriwayatkan dengan banyak jalan (sehingga derajatnya naik menjadi hasan). Bahkan hadits yang jumhur ahli hadits menolaknya (hadits ajtahidu ra’yi Mu’adz bin Jabal dan hadits ihtimam bi amri al-muslimin), beliau menerimanya karena diterima oleh para fuqaha’, adanya jalan lain, atau bil makna disebutkan dalam hadits shahih. Lebih menarik lagi, dalam kitab al-Nizham al-Iqtishadi dan al-Nizham al-Ijtima’i, menunjukkan bagaimana manhaj syaikh Taqiyuddin dalam menerima sebuah hadits dan menjadikannya sebagai hujjah.

Ada beberapa hadits yang kontroversial di kalangan ahli hadits yang beliau terima, karena secara makna shahih, atau ada jalan lain, atau para fuqaha telah menerimanya. Manhaj ini selaras dengan manhajnya Sunan Arba'ah (lihat Syuruth A'imah al-Khamsah wa al-Sittah). Inilah yang dinyatakan dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 337),

الحسن: هو ما عرف مخرّجه واشتهر رجاله وعليه مدار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر العلماء ويستعمله عامة الفقهاء

dengan kesimpulan,

والحديث الحسن يُحتج به كما يُحتج بالصحيح سواء بسواء.

Karena memang manhaj beliau rahimahullahu ta'ala dalam penerimaan dan penolakan hadits adalah (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm.345),

تعتبر قوة السند شرطاً في قبول الحديث، إلا أنه ينبغي أن يعلم أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعين الحكم بضعفه في نفسه. إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يُروى إلا من هذا الوجه. فمن وجد حديثاً بإسناد ضعيف فالأحوط أن يقول أنه ضعيف بهذا الإسناد ولا يحكم بضعف المتن مطلقاً من غير تقييد

Dalam penilaian riwayat tafarrud, syaikh Taqiyyuddin termasuk yang menerima riwayat yang menyendiri asalkan tsiqah, meski yang lain tidak ada yang meriwayatkannya, dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 339) disebutkan,

وليس من الشاذ أن يروي الثقة ما لم يرو غيره. لأن ما رواه الثقة يُقبل ولو لم يروه غيره، ويُحتج به

Terakhir, penjelasan yang lebih terang adalah sebagaimana ungkapan Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani masih di kitab yang sama (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 341), menjelaskan manhaj beliau dalam penerimaan suatu hadits dha’if dengan katsrah al-thuruq,

فلا يرد حديث لأنه لم يستوف شروط الصحيح ما دام سنده ورواته ومتنه مقبولة، أي متى كان حسناً بأن كل رجاله أقل من رجال الصحيح، أو كان فيه مستور أو كان فيه سيء الحفظ ولكن تقوى بقرينة ترجح قبوله، كان يتقوى بمتابع أو شاهد، أي براوٍ ظن تفرده، أو حديث آخر، فلا يتنطع في رد الحديث ما دام يمكن قبوله حسب مقتضيات السند والراوي والمتن. ولا سيما إذا قبله أكثر العلماء واستعمله عامة الفقهاء فإنه حري بالقبول، ولو لم يستوف شروط الصحيح لأنه يدخل في الحسن

Perhatikan ungkapan berikut,

كان يتقوى بمتابع أو شاهد

Adanya syahid dan mutabi’ itu jelas sekali karena banyak jalan (jalur lain). Itu bentuk I’tibar dengan katsrah al-thuruq.

Jadi jelaslah bahwa syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani menerima teori kenaikan derajat hadits dari dha’if menjadi hasan (maqbul) karena banyaknya jalan sepanjang kedha'ifannya tidak parah.

Catatan Akhir

Manhaj ushul hadits, penetapan keshahihan dan kedha’ifan hadits, dan penerimaan dan penolakan sebagai hujjah syaikh Taqiyyuddin berpijak pada manhaj ulama ahli hadits yang mu’tamad dan mu'tabar, manhaj Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.


Yogyakarta, 10 Nopember 2018

Mengetahui Rijal = Setengah Ilmu Hadits, Lantas 1/2 Lagi Apa?

Sebelumnya kita sudah berusaha memahami penerimaan hadits al-rayah dan al-liwa yang mengandung lafazh "maktubun alaihi..." oleh al-'Allamah al-Muhaddits al-Musnid al-Sayyid Muhammad Abdul Hayy al-Kattani (w. 1382) dalam kitab Nizham al-Hukumah al-Nabawiyyah atau disebut dengan al-Taratib al-Idariyyah.

Kemudian kita juga mendapat informasi berharga terkait penerimaan al-Hafizh Muhammad bin Yusuf al-Syami al-Shalihi (w. 942 H) terhadap hadits tersebut dalam kitabnya, Subul al-Huda wa al-Rasyad. Kita juga sudah berusaha memahami penerimaan al-hafizh terkait hadits tersebut ketika beliau mengomentari sanadnya.

Sekarang kita akan melihat tahsin (penetapan hasan) hadits tersebut oleh pentahqiq kitab Akhlaq al-Nabi ﷺ wa Adabuhu. Kitab berdurasi 4 jilid ini disusun (tadwin al-hadits) oleh al-Hafizh Abi Muhammad Abdillah bin Muhammad bin Ja'far bin Hayyan al-Ashbahani atau dikenal dengan Imam Abu Syaikh al-Ashbahani (w. 369). Pada jilid ke-2 halaman 404-423 membahas terkait al-liwa dan al-rayah. Adapun muhaqqiq yang saya maksud adalah seorang doktor ilmu hadits yakni al-Syaikh al-Duktur Shalih Muhammad al-Wanyan.

Dalam tahqiqannya beliau mengatakan: "Setelah mengkaji sanad hadits ini, jelas bahwasannya sanad hadits ini dha'if karena ada Abbas bin Thalib yang dha'if, dan (kasimpulan) hadits ini adalag hasan dengan mutaba'ah dan syawahid". (Lihat tahqiq kitab Akhlaq al-Nabi ﷺ wa Adabuhu, hlm. 416)

Sebenarnya kalau kita lihat pada halaman 404-407 menampilkan takhrij yang cukup menarik. Menantang adrenalin para peneliti hadits. Kuncinya sabar dan perlahan. Jangan lupa diskusikan dalam daurah atau halqah hadits dengan para 'alim. Libatkan juga ilmu ushul al-fiqh.

Sekarang kita akan kenalan dengan beberapa rawi yang jadi sorotan kamera ulama:

1. Muhammad bin Abi Humaid. Rawi ini dinilai dha'if jiddan (sangat lemah) bahkan munkar. (Lihat Tahdzib al-Kamal, 25/112).

2. Ahmad bin Risydin yaitu Ahamd bin Muhammad bin al-Hajjaj bin Risydin. Imam al-Thabarani mengatakan dha'if, bahkan sebagian ulama menuduhnya berdusta. (Lihat Irsyad al-Qadhi wa al-Dani, 155; al-Lisan, 1/594).

3. Abbas bin Thalib. Berkata Abu Hatim:

ﺭﻭﻯ ﺣﺪﻳﺜﺎ ﻋﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ ﺯﺭﻳﻊ ﻓﺄﻧﻜﺮﻩ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻣﻌﻴﻦ ﻭﻭﻫﻰ اﻣﺮﻩ ﻗﻠﻴﻼ

“(Abbas) meriwayatkan hadits dari Yazid bin Zurai’, lalu diingkari oleh Yahya bin Ma’in dan beliau melemahkan keadaannya sedikit.”

Abu Zur’ah berkata: laisa bidzak (tidak kuat). (Lihat al-Jarh wa al-Ta’dil, 6/216)

Namun, Ibnu Hibban menilai tsiqah dan Ibnu Adi berkata:

اﻟﻌﺒﺎﺱ ﺑﻦ ﻃﺎﻟﺐ ﺻﺪﻭﻕ ﺑﺼﺮﻱ ﺳﻜﻦ ﻣﺼﺮ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ.

"Abbas bin Thalib seorang yang shaduq, orang Basrah tinggal di Mesir, tidak mengapa dengannya." (Ucapan beliau ini dalam biografi Zakariya bin Yahya).

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata setelah membawakan salah satu haditsnya yang diingkari oleh Ibn Ma’in dan Ahmad bin Hanbal:

ﻗﻠﺖ: ﻓﺎﻟﻈﺎﻫﺮ ﺃﻥ اﻟﻌﺒﺎﺱ ﺳﺮﻗﻪ ﺃﻳﻀﺎ..

"Saya (Ibnu Hajar) katakan: yang nampaknya Abbas ini juga yang mencuri hadits ini. (Lihat al-Lisan, 4/408)

Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar menghukumi hadits Ibnu Abbas di atas: sanadnya wahin (sangat lemah). (Fath al-Bari, 6/127)

4. Muhammad bin Abi al-Sari yaitu Muhammad bin al-Mutawaqqil al-Asqalani. Ibnu Ma’in dan al-Dzahabi menilai tsiqah. Abu Hatim berkata: layyin al-hadits (lemah haditsnya). Ibnu Adi berkata: katsir al-Ghalath (banyak kelirunya). Berkata Masalamah bin Qasim: banyak kelirunya, dan (keadaannya) tidak mengapa. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyimpulkan keadaannya: shaduq arif, memiliki banyak kekeliruan. (Lihat Tahdzib al-Kamal, 26/355; Tahdzib al-Tahdzib, 9/424)

5. Ibrahim bin al-Hajjaj al-Sami adalah. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam al-Taqrib: tsiqah, kadang keliru sedikit.

6. Hayyan bin Ubaidillah. Periwayatannya tidak bisa diterima jika berkesendirian. (Lihat al-Lisan, 3/309; al-Dhu’afa li al-Uqaili, 1/319). Namun ulama ada yang menilai tsiqah (Ibnu Hibban), shaduq (Abu Hatim), dan laisa bihi ba'sun (al-Bazar). Dengan berpijak pada penilaian tsiqah dan shaduq, sebenarnya tafarrudnya Hayyan bin Ubaidillah tidak memadharatkan hadits karena keadaannya tsiqah atau shaduq (lihat Muqaddimah Ibn Shalah). Demikian juga ikhtilath nama antara Hayyan bin Ubaidillah (حيان) dan Hibban bin Yassar (حبان) sudah dijelaskan oleh para ulama, semisal dalam Tarikh al-Kabir, Tahdzib al-kamal, al-Kamil fi al-Dhu’afa, Mizan al-I’tidal, dll.

7. Yazid bin Hayyan. Berkata Al-Bukhari: dia memiliki kekeliruan yang banyak. (Lihat Tahdzib al-Kamal, 32/113).

Jika mengetahui rijal adalah 1/2 dari ilmu hadits, lantas apa setengahnya lagi? Kalau boleh saya mengajukan nominasi salah satunya adalah i'tibar untuk menemukan mutaba'ah dan syawahid berikut keahlian menelusur jalur-jalurnya. Dengan ilmu ini, hadits yang asal sanadnya dhaif bisa menjadi hasan, dan yang asal sanadnya shahih bisa menjadi dha'if. Karena denganya adalah kunci dalam memahami mukhalafah al-tsiqat, ziyadah al-tsiqat, syadz, munkar, dan illat, baik pada sanad maupun matan.

Kerangka fiqih dan ushulnya juga dapat mengantarkan kepada kita tentang objek bahasannya.

Demikianlah beberapa tambahan dari saya masih terkait dengan maqbulnya hadits al-liwa dan al-rayah dengan lafazh "maktubun alaihi..." yang terinspirasi oleh tahqiqan kitab Akhlaq Nabi ﷺ.

Yuana Ryan Tresna

Bandung, 10 Rabi'ul Awwal 1440 H/18 Nopember 2018.

Jumat, 23 November 2018


HUKUM LAW of ATTRACTION (LoA) DALAM ISLAM

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr wb.
Ust. Pernah dengar ada LoA (Law of Attraction)? Bagaimana pandangannya dari sisi akidah?
(Sigit Dwi Mulyanto, Sleman, Jogjakarta. 20 Oktober 2018)

Jawab:

Realitas Law of Attraction (LoA)
Law of Attraction (LoA) seringkali diartikan sebagai hukum gaya tarik terhadap sesuatu berdasarkan cara pandang dan cara kita berpikir terhadap sesuatu. Law of Atraction bukanlah suatu hal yang baru dalam dunia motivasi. Law of Atraction sudah ada sejak lama di dunia barat. Referensi utanmanya dapat kita rujuk pada buku yang berjudul “The Secret” yang menyatakan bahwa pikiran anda adalah tuhan anda.
Law of Attraction sudah berkembang hampir ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali di Indonesia. Hanya saja, keberadaan Law of Attraction memunculkan pertanyaan mendasar, terutama bagi kaum muslim. Apakah Law of Atraction (LoA) itu sesuai dengan Islam ataukan bertentangan.
Secara garis besar, Law of Attraction merupakan suatu cara sekaligus pandangan bagaimana kita menarik dan menghadirkan objek dan hal-hal tertentu (yang kita pikirkan) ke dalam hidup kita. Law of Attraction dapat secara umum meliputi tigal hal penting. Pertama, Atensi (perhatian). Yang dimaksud atensi di sini adalah memberikan perhatian lebih (fokus) pada objek atau hal-hal tertentu yang kita inginkan, baik pada hal-hal positif atau negatif dan itu akan memberikan pengaruh pada cara pandang.
Kedua, Koneksi yang dimaksud koneksi adalah berupa padangan adanya koneksi (hubungan) diri kita dengan suatu objek yang sudah kita berikan atensi. Ringkasnya dalam unsur koneksi ini, objek yang kita fokuskan akan hadir mengelilingi keseharian kita meskipun objek atau hal-hal tertentu belum kita miliki.   
Ketiga ,Vibrasi. Menurut paham yang diajarkan dalam Law of Attraction, ketika kita telah memberikan atensi terhadap objek atau hal-hal tertentu, kemudian terjadi koneksi antara diri kita dengan objek atau hal-hal tertentu, maka alam semesta akan memberikan vibrasi dan mewujudkan apa yang kita pikirkan dan kita inginkan.
Dapat dipahami bahwa dalam ajaran LoA, jelas-jelas menafikan unsur yang Maha Ghaib yakni Allah Swt dalam memberikan keputusan (takdir) terhadap manusia. Para penggiat LoA meyakini sepenuhnya pada kekuatan pikiran dan alam semesta dalam mewujudkan harapan dan impian.

Pandangan Islam
Dilihat dari sisi fakta realitas LoA, maka LoA merupakan hadharah yakni suatu pandangan hidup yang didasarkan pada paham dan peradaban tertentu yang bukan berasal dari Islam serta bukan dihasilkan dan dibangun di atas aqidah islam.
Keyakinan kuat bahwa alam akan memberikan apa yang kita pikirkan, kita beri atensi, dan kita fokuskan dengan mengesampingkan bahkan menafikan keberadaan Allah sebagai al-Hakim yang memberikan keputusan pada manusia, jelas bertentangan dengan aqidah islam. Aqidah islam telah mengajarkan kita untuk meyakini sepenuhnya bahwa hasil (baik dan buruknya) itu semua berasal dari Allah dan kita wajib beriman.
Memang, dalam islam kita diajarkan untuk melakukan hukum kausalitas (sebab akibat), misalnya bekerja untuk memenuhi nafkan keluarga, berjihad untuk menaklukan musuh-musuh islam yang merintangi dakwah, berdakwah untuk menyebarluaskan islam, menuntut ilmu untuk bisa paham dan beramal saleh, dll.
Hukum kausalitas (sebab akibat) dilhat dari realitas jelas berbeda dengan Law of Attraction (LoA) atau daya tarik alam.
Hukum kausalitas dalam islam didasarkan pada fakta realitas yang terindra untuk mewujudkan suatu tujuan serta dengan batasan-batasan syariat berupa halal dan haram. Misalnya bekerja untuk memenuhi nafkan dengan jalan yang halal. Sedangkan dalam Law of Attraction hanya disasarkan pada asumsi-asumsi yang tidak ada realitasnya atau pada perkara yang realitasnya tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.
Terkait kausalitas, Allah Swt berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. (TQS. Ar-Ra’du [13]: 11)

Dalam pandangan islam, manusia memiliki rule of game (aturan main) untuk memberikan dan menetukan sifat terpuji (hasan) dan tercela (qobih) pada benda maupun perbuatan berdasarkan dengan fakta yang terindra dan kesesuaian dengan fitrah manusia. Misal menolong adalah terpuji sedangkan membunuh adalah tercela. Tetapi manusia tidak akan mampu menentukan pahala dan dosa serta halal dan haram pada benda dan perbuatan karena realitas pahala dan dosa tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Yang berhak menentukan pahala dan dosa atas sesuatu adalah Allah Swt. Apa yang dipandang baik dan terpuji oleh manusia belum tentu baik dan terpuji menurut Allah begitupun apa yang dipandang buruk dan tercela oleh manusia belum tentu buruk dan tercela di sisi Allah. Misalnya membunuh adalah perbuatan buruk dan tercela. Tetapi membunuh dalam medan perang saat berjihad adalah perbuatan terpuji di sisi Allah. Contoh lain adalah menolong yang merupakan perbuatan terpuji menurut akal manusia tetapi menolong dalam keharaman, misalnya pinjam meminjam dengan bunga (riba) adalah perbuatan dosa di sisi Allah.
Dengan demikian, penentuan takdir baik dan buruk, sukses dan gagal, rejeki, dll itu semua adalah hak Allah untuk menentukannya, bukan alam semesta.
Allah Swt berfirman:
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (TQS. At-Taubah [9]: 51)
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?. (TQS. An-Nisa [4]: 78)

kesimpulan
Dari paparan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa Law of Attraction bertentangan dengan islam karena beberapa hal.
1.       Merupakan produk hadharah barat yang berasal dari peradaban barat.
2.       Menafikan peran dan fungsi Allah sebagai penentu takdir manusia serta penentu nilai perbuatan (halal, haram, pahala, dan dosa). LoA sepenuhnya meyakini kekuatan diri dan alam semesta dalam mewujudkan harapan dan impian dan tidak lagi mempedulikan halal dan haram serta pahala dan dosa.
3.       LoA hanya didasarkan pada asumsi-asumsi semata, bukan berdasarkan pada fakta yang terindra, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai hukum kausalitas (sebab akibat).


Saudaramu,
Abdul Hanif
0853 1792 9443

 
×
Judul