×

Selasa, 20 Juni 2017

Khilafah Menjaga Keberagaman

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Isu yang terus ditiupkan oleh negara-negara kafir penjajah, dan antek-anteknya adalah Islam agama intoleran, eksklusif, anti-kebhinnekaan dan predikat negatif lainnya. Karena negara-negara kafir itu paham, jika umat Islam bersatu, dan Islam digunakan sebagai dasar persatuan mereka, pasti mereka akan merdeka, bangkit dan menjadi umat yang maju, serta menjadi adi daya dunia kembali. Raksasa tidur itu akan bangkit kembali.
Karena itu, berbagai serangan masif dilakukan terhadap Islam dan kaum Muslim agar mereka tidak bersatu. Serangan itu targetnya jelas, melakukan penyesatan berpikir dan politik umat, agar mereka tetap lemah, tak berdaya dan dijajah. Jumlah mereka banyak, tetapi seperti buih di tengah lautan.
Sesuai Fitrah Manusia

Manusia dilahirkan dengan fitrah yang sama, sama-sama membutuhkan satu dengan yang lain, lemah dan tidak berdaya. Karena itu, tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Mereka membutuhkan orang lain, membutuhkan komunitas. Komunitas ini tumbuh dan berkembang, karena manusia diciptakan berpasangan, laki dan perempuan. Dari pasangan ini lahir suku, kabilah dan bangsa. Karena itu, fitrah manusia diciptakan oleh Allah bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.
Meski demikian, Allah tidak menjadikan suku, kabilah dan bangsa ini sebagai standar tinggi, rendah, unggul dan tidaknya mereka. Tetapi, Allah telah menjadikan ketakwaan mereka sebagai standarnya. Karena itu, Nabi SAW mengecam kebanggaan jahiliyah, kebanggan kepada suku, kabilah dan bangsa.
Islam juga tidak menjadikan konsep nasionalisme sebagai pemersatu mereka. Karena persatuan seperti ini lemah. Sebaliknya, Islam menjadikan akidah Islam sebagai pemersatu mereka. Namun tidak berarti memaksa orang non-Muslim menjadi Muslim. Begitu juga sebaliknya. Tidak.
Mereka tetap dijaga dan dipertahankan identitas mereka, sebagai pemeluk agama mereka. Mereka tidak dipaksa murtad. Sebaliknya, mereka dibenarkan tetap memeluk agama mereka, makan, minum, berpakaian, menikah dan bercerai menggunakan agama mereka. Tetapi di luar itu, yang nota bene tidak diatur oleh agama mereka, mereka harus tunduk kepada hukum syariah. Ketundukan yang tidak membuat mereka kehilangan identitas agama mereka.

Kemajemukan Warga Negara
Inilah akidah yang menjadi dasar negara khilafah. Dengan dijadikannya akidah ini
sebagai dasar, sumber hukum, pemikiran dan peradaban, baik Muslim maupun non-Muslim, maka mempunyai kaidah dan standar berpikir yang sama dengan umat Islam. Pada saat yang sama, akidah juga menjadi kepemimpinan berpikir bangsa-bangsa yang hidup di bawah naungan khilafah. Karena itu, jangan heran, jika orang Kristen bisa menulis kitab fikih, seperti Syarah al-Majallah, dalam mazhab Hanafi, yang ditulis oleh Salim al-Baz. Ini bukti, bahwa akidah Islam menjadi standar dan kepemimpinan berpikir rakyatnya, baik Muslim maupun non-Muslim.
Keberhasilan Islam lainnya adalah meleburkan rakyat yang hidup di bawah naungan negara khilafah, meski mereka sangat heterogen dan majemuk. Mereka dilebur dalam satu wadah, masyarakat dan negara.
Kisah manis kerukunan umat beragama direkam dengan indah oleh Will Durant, dalam the Story of Civilization, ketika menggambarkan bagaimana keharmonisan antara pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen di Spanyol di era Khilafah Bani Umayyah. Will Durant menuturkan, orang-orang yang Yahudi yang ditindas oleh Romawi, membantu kaum Muslim yang datang untuk membebaskan Spanyol. Mereka pun hidup aman, damai dan bahagia bersama orang Islam di sana hingga abad ke-12 M.
Para pemuda Kristen yang dianugerahi kecerdasan pun mempelajari fikih dan bahasa Arab bukan untuk mengkritik atau meruntuhkannya, tetapi untuk mendalami keindahan gaya bahasanya yang luar biasa. Mereka pun membelanjakan banyak uang mereka untuk memenuhi perpustakaan mereka dengan referensi Islam dan bahasa Arab. [Will Durant, Qishat al-Hadharah, juz XIII/296-297].

Kunci Sukses Integrasi
Rasulullah SAW wafat setelah seluruh Jazirah Arab masuk Islam, dan tunduk di bawah naungan khilafah. Para Khulafa’ Rasyidin, selepas Nabi SAW mengikuti jejak baginda. Mereka membebaskan Irak yang penduduknya sangat heterogen. Ada yang beragama Nasrani, Mazdak, dan Zoroaster dan ada pula yang berbangsa Arab dan Persia. Setelah itu, Persi menyusul. Penduduknya terdiri dari orang-orang non-Arab, Yahudi dan Romawi, namun mereka memeluk agama yang dipeluk bangsa Persia.
Syam juga jatuh ke tangan para Khulafa’ Rasyidin. Ketika itu, Syam adalah koloni Romawi, berperadaban Romawi, dan memeluk Kristen. Penduduknya terdiri dari bangsa Suriah, Armenia, Yahudi, sebagian Romawi. Afrika Utara yang penduduknya Barbar dan di bawah kekuasaan Romawi akhirnya juga jatuh ke pangkuan kaum Muslim.
Setelah itu, dilanjutkan oleh khilafah-khilafah berikutnya. Menariknya, semua perbedaan itu berhasil dilebur dan diintegrasikan oleh Islam di bawah naungan khilafah. Mereka menjadi umat yang satu, yang disatukan oleh agama, bahasa, tsaqafah dan undang-undang.
Di balik kesuksesan itu, ada empat hal mendasar yang membuat proses integrasi berbagai bangsa dengan latar belakangnya yang sangat komplek itu berhasil diwujudkan: (1) Perintah Islam; (2) Pembauran kaum Muslim, sebagai penakluk dengan bangsa-bangsa taklukan di tempat tinggal mereka; (3) Masuknya penduduk negeri taklukan ke dalam Islam; (4) Orang-orang yang memeluk Islam diubah secara total dan beralih dari satu keadaan menjadi keadaan yang baru (Islam).
Visi dan Misi Integrasi
Visi Islam menjadi rahmat bagi semesta alam mengharuskan Islam diemban kepada bangsa dan umat lain. Karena itu, Islam mewajibkan dakwah dan jihad, tidak saja diemban oleh negara, tetapi juga individu. Dakwah dan jihad juga dijadikan sebagai metode untuk mengubah masyarakat, bangsa dan umat lain agar bersedia hidup di bawah naungan Islam. Meski tidak ada paksaan bagi bangsa dan umat lain untuk memeluk Islam. Bahkan, mereka berhak dilindungi; agama, harta dan kehormatannya, jika mereka bersedia tunduk kepada Islam, meski tidak harus menjadi Muslim.
Dengan begitu, mereka bisa menjadi warga negara Islam, yang hak-haknya dijamin oleh Islam. Mereka dilihat sebagai individu yang menjadi satu kesatuan dalam masyarakat, bukan dilihat sebagai kelompok, mazhab atau penganut agama tertentu. Karena itu, ketika mereka melakukan kesalahan, mereka pun dikenai sanksi yang sama dengan orang Islam. Begitu juga, ketika hak mereka yang terkait dengan agama, harta, jiwa, kehormatan dan sebagainya, jika dinodai, meski pelakunya Muslim, maka tetap akan dihukum dengan tegas dan seadil-adilnya.
Karena itu, tidak ada diskriminasi antara Muslim dan non-Muslim, sebagai warga negara. Mereka dijamin sandang, papan dan pangannya oleh negara. Juga pendidikan, kesehatan dan keamanannya pun dijamin. Faktor terbesar yang membawa kesuksesan dalam integrasi itu adalah pembauran kaum Muslim dengan bangsa dan masyarakat setempat.
Perombakan total yang diciptakan Islam dalam diri para pemeluknya dilakukan dengan mengangkat kesamaan akal mereka, lalu di tengah mereka ditanamkan akidah Islam. Di atas kaidah berpikir inilah, semua pemikiran mereka dibangun. Baik dan buruknya pemikiran dibangun dengan standar ini. Mereka mengalami transformasi akidah dan ritual, dari keimanan yang emosional menjadi keimanan yang rasional, dan dari menyembah berhala, api, trinitas dan bentuk penyembahan lainnya yang irasional menjadi menyembah Allah. []

PANDUAN ZAKAT FITRAH



ZAKAT FITRAH : SEPUTAR BENTUK, TAKARAN, MUSTAHIQ, DAN WAKTU PELAKSANAANNYA 
Pendahuluan
Sungguh zakat merupakan kewajiban pokok ajaran Islam yang harus dilaksanakan oleh kaum muslim, seperti halnya kewajiban sholat, shaum, dan haji. Setelah wafatnya Rasulullah saw, ada kelompok- kelompok manusia yang menjadi murtad. Mereka ada dua golongan yaitu golongan yang mengaku sebagai nabi dan golongan orang yang tidak mau membayar zakat. Kasus ini selanjutnya dibawa kepada Khalifah Abu Bakar. Berdasarkan musyawarah dengan para shahabat, maka disepakati bahwa orang murtad tersebut wajib diperangi. Maka tercatat dalam sejarah Islam adanya perang melawan orang- orang murtad.

Allah SWT berfirman:

“Wahai   Muhammad   ambillah   dari   sebagian   harta   mereka   sebagai   sodaqoh   (zakat),   untuk
membersihkan dan mensucikan mereka. (QS. At-Taubah : 103)

Para ulama bersepakat, jika seseorang tidak mau membayar zakat, maka pemerintahan (Islam) berhak mengambil secara paksa sesuai takarannya.

Pengertian Zakat



Secara bahasa zakat berasal dari kata


ةاكز ىكزي اكز, yang berarti kesuburan, kesucian, keberkahan, dan


kebaikan, yang banyak. Sedangkan menurut istilah adalah bagian harta yang wajib dikeluarkan.

Menurut Mazhab Maliki, zakat adalah mengeluarkan sebagian harta yang telah mencapai nisab (batas tertentu) kepada para mustahik (orang yang berhak menerimanya) jika telah sempurna kepemilikannya dan mencapai haul (setahun) kecuali bagi pertambangan dan hasil pengolahan tanah.

Menurut Mazhab Hanafi, zakat adalah mengeluarkan harta yang wajib ditunaikan sesuai dengan nisab
yang diatur kepada orang-orang tertentu yang telah ditentukan syariat dengan mengharap ridha Allah.

Menurut Mazhab Syafi’i, zakat adalah istilah dari bagian harta dan badan yang dikeluarkan dengan mengharap ridha Allah.

Menurut Mazhab Hambali, zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan dari sebagian harta yang dimiliki untuk golongan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.

Merujuk kepada beberapa definisi para ulama di atas, maka zakat merupakan pengeluaran sejumlah harta orang tertentu yang menjadi hak orang lain. Dengan berzakat harta tumbuh dan berkembang sebab, harta yang dizakati menjadi suci, berkah, membawa kebaikan bagi hidup dan kehidupan.

Allah SWT berfirman:

“Barang siapa melaksanakan amal kebajikan (termasuk berzakat) maka  akan diganjarkan oleh Allah
sepuluh kali lipat. (QS. Al-An’am : 160)

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus


biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-
Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 261)

Zakat Fitrah

Secara  umum  zakat  terbagi dua, yaitu zakat fitrah  (jiwa) dan zakat maal (harta). Selanjutnya akan dibahas lebih jauh mengenai Zakat Fitrah.

Zakat fitrah (zakat badan/jiwa) adalah zakat yang wajib dikeluarkan satu kali dalam setahun oleh setiap muslim mukallaf (orang yang dibebani kewajiban oleh Allah) untuk dirinya sendiri dan untuk setiap jiwa yang menjadi tanggungannya. Jumlahnya sebanyak satu sha ditunaikan sebelum shalat Idul Fitri.

e


1
 
407


Dari Ibnu Umar ra. : Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha' kurma atau satu sha' tepung kepada kaum muslimin, baik hamba sahaya dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, yang kecil maupun dewasa. Dan beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat (idul fitri). [H.R Bukhari: 1407]

Ukuran Besaran Zakat Fitrah

Dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu ia berkata: “Kami memberikan zakat fitrah di zaman Nabi sebanyak  1 sha dari makanan 1 sha kurma 1 sha gandum ataupun 1 sha kismis (anggur kering)”. [HR. Bukhari, Kitab Zakat no. 1508 dan 1506, diriwayatkan juga oleh Muslim no. 2280]

Berdasarkan hadits ini jelas sekali bahwa Nabi SAW menentukan ukuran zakat  fitrah adalah 1 sha. Tapi berapa 1 sha itu? Satu sha sama dengan 4 mud. Sedangkan 1 mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang. Berapa bila diukur dengan kilogram? Para ulama berbeda pendapat ketika mengukurnya dengan kilogram.

·
Mazhab Maliki
: 1 mud = 6,75 ons @ 1 sha = 27 ons (2,7 kg)
·
Mazhab Syafi’i
: 1 sha = 2,75 kg
·
Mazhab Hambali
: 1 sha = 2,75 kg
·
Mazhab Hanafi
: 1 sha = 3,8 kg

Berdasarkan penafsiran hadits Tsa'labah bin Shair al-Uzry, dan demikian pula sha' (gantang) yang dimiliki oleh Umar ra. (Fiqh Islam wa'adilatuhu, wahbahAz-Zuhaily 2 : 909)

Satu sha menurut  Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad adalah 8 rithl ukuran Irak. Satu rithl Irak sama dengan 130 dirham atau sama dengan 3800 gram (3,8 kg).

Sedangkan di Indonesia sendiri 1 sha = 2,5 kg. Pembakuan 2,5 kg ini barang kali untuk mencari angka tengah tengah antara pendapat yang menyatakan 1 sha adalah 2,75 kg, dengan 1 sha sama dengan di bawah 2,5 kg. Sebab menurut kitab al-Fiqh al-Manhaj, Juz I, hal 548, 1 sha adalah 2,4 kg. Ada juga yang berpendapat 2176 gram (2,176 kg). Di dalam kitab al Syarqawi, op cit, juz I hal. 371, Al-Nawawi menyatakan 1 sha sama dengan   683 5/7 dirham. Jika di konversi dalam satuan gram, hasilnya tidak jauh dari 2176 gram.


Zakat Fitrah dengan Makanan atau Uang

Dalam  menunaikan  ibadah  zakat  fitrah  ini  memang  terdapat  perbedaan  pendapat  dikalangan  para ulama. Ada yang melarang zakat fitrah menggunakan uang, tetapi ada pula yang membolehkan.

Al-Imam  An-Nawawy  menukilkan  dalam  Syarah  Muslim  (VII/53)  bahwa  jumhur  ulama  (kecuali  Abu
Hanifah) tidak membolehkan zakat fitrah yang dibayarkan dengan uang.

Hal ini berdasarkan hadist dari Abu Sa’id ra, ia berkata: “Kami memberikan zakat fitrah di zaman Nabi sebanyak 1 sha dari makanan 1 sha kurma 1 sha gandum ataupun 1 sha kismis (anggur kering)”. [HR. Bukhari Kitabu Zakat no. 1508 dan 1506, diriwayatkan juga oleh Muslim no. 2280}

Hadits tentang zakat fitrah menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mensyariatkan untuk ditunaikan dalam bentuk makanan. Selain itu amalan Rasulullah SAW dan para sahabatnya menunjukkan bahwa mereka selalu menunaikan zakat fitrah berupa makanan, padahal kita mengetahui bahwa di masa Rasulullah SAW pun telah beredar uang dinar dan dirham. Namun beliau dan para sahabatnya tetap menunaikan zakat fitrah dengan bahan makanan, tidak dengan dinar dan dirham.

Rasulullah SAW berzakat dengan kurma atau gandum atau kismis, tetapi jumhur ulama sepakat boleh menggantinya dengan makanan pokok setempat.
Ini adalah pendapat jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) dan pendapat yang rajih (kuat). Adapun Imam Hanafi,  Imam  Tsauri, Imam  Bukhari,  dan Imam  Ibnu Taimiyah  membolehkan zakat fitrah
dengan uang dengan dasar bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Cukupkanlah mereka (fakir miskin) pada
hari ini, (hari raya Idul Fitri)”. [HR. Daruquthni dan Baihaqi].

Mencukupkan kebutuhan fakir miskin pada hari raya tidak mesti dengan makanan pokok, bisa juga dengan uang, bahkan dengan uang lebih baik karena dapat digunakannya untuk makan dan lain-lain. Karena bisa jadi pada hari itu dirinya tidaklah membutuhkan beras, tetapi butuh pakaian, daging, atau lainnya. Jika diberi beras, maka mungkin dia harus menjualnya kepada orang lain untuk ditukarkan dengan kebutuhan yang dia perlukan pada hari itu.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Hasan al Basri, Abu Ishak, Atho', Ats-Tsauri membolehkan berzakat fitrah dengan uang. Diakui, bahwa uang sudah ada beredar pada masa Rasulullah SAW dalam bentuk dinar (emas) dan dirham (perak), meskipun itu bukan mata uang Arab tapi adalah mata uang Romawi dan Parsi. Oleh karena jarangnya beredar mata uang tersebut di kalangan arab dan sulit ditemukan maka Rasulullah  SAW  tidak  menggunakan  mata  uang   untuk  zakat  fitrah  karena  dikhawatirkan  akan menyulitkan kaum muslimin (lihat: Fikih Zakat, Yusuf Qardawi, 2 : 949).

Menurut Prof. Dr. Yuruf Qardawi, bahwa Rasul SAW tidak mencontohkan berzakat dengan uang karena nilai mata uang berubah-ubah sesuai dengan perubahan masa. Lain halnya berzakat dengan takaran satu sha' (gantang) makanan pokok tidak akan berubah untuk selama-lamanya.

Ibnu Taimiyah berkata bahwa beliau lebih gemar memberi 'cash' (uang) zakat al-fitr nya di kawasan metropolitan seperti Damsyik, ditempat beliau tinggal, kepada orang miskin.

Nasihat dari Sheikh Al-Qardhawi, "Terdapat beberapa pendapat tentang bolehnya menggunakan uang atau tidak. Maka seseorang Islam itu harus mengambil pendapat seorang ulama yang paling mantap dihatinya, dan berpandangan ulama tersebut lebih mengerti tentang agama, lebih mengerti sumber-


sumbernya, lebih mengetahui maksudnya, tidak mengikut hawa nafsu dan tidak menjual dunia dengan keuntungan dunianya atau dunia orang lain".

Karena itu dalam permasalahan di atas, seseorang tidak boleh mengecam ijtihad yang telah diperselisihkan oleh Imam-Imam yang membolehkan zakat dikeluarkan dengan uang.

Umat Islam dibolehkan bertaklid jika kemampuannya hanya sampai disitu, yaitu tidak memiliki alat-alat ijtihad dan syarat-syaratnya. Ini karena sesuai dengan firman Allah di surah al-Baqarah ayat 286: "Allah tidak membebankan kepada seseorang melainkan dengan apa yang ia mampu...".

Sheikh Al-Qardhawi dalam nasihatnya juga memetik kata-kata mashur Imam As-Syafi’i : "Pendapatku adalah benar dan ada kemungkinan salah. Dan pendapat selain dari aku adalah salah namun ada kemungkinan benar."

Jadi zakat fitrah dalam bentuk uang adalah boleh menurut mazhab Iman Hanafi walaupun jumhur ulama melarangnya. Yang menjadi catatan penting adalah jika kita ingin zakat fitrah dengan uang (mengikuti kebolehan Imam Hanafi) maka praktek zakat fitrahnya harus mengikuti aturan mazhab Imam Hanafi, walaupun dalam praktek ibadah lainnya mengikuti mazhab lainnya, seperti mazhab Imam Syafii.

Adapun ketentuan zakat fitrah menurut Imam Hanafi adalah bahwa zakat fitrah dikeluarkan dengan ukuran takaran 1 sha = 3,8 kg bukan 2,5 kg atau 2,7 kg.

Jelas kalau kita mau membayar dengan uang, maka mestinya kita harus memakai ukuran takaran Imam Hanafi, yaitu 3,8 kg seharga makanan pokok. Tetapi kalau kadarnya memakai 2,5 kg (memakai ukuran Indonesia) atau kurang lebih 2,75 kg (menurut jumhur ulama), maka kalau mengacu kepada persoalan di atas, akan masuk ke dalam katagori talfiq, sebab dia melakukakan intiqal al-madzhab (pindah madzhab) dalam satu rangkaian ibadah (qadhiyah).

Praktek seperti ini menjadi tidak sah menurut semua madzhab. Hanafi menyatakan tidak sah karena ukurannya tidak memakai 3,8 kg dan madzhab yang lain (Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) juga menyatakan tidak sah karena pembayarannya tidak dengan makanan pokok.

Atau juga bisa masuk tasahul, kalau niat dari seseorang itu hanya mencari yang mudah dan ringan saja. Bagi orang awam tidak harus mengetahui semuanya tapi cukup mengikuti salah satunya. Kalau mau pindah ke yang lain maka ikuti aturan-aturannya. Misalnya bagi mereka yang mengikuti Hanafi, maka pakai semua aturan dalam satu rangkaian ibadah menurut Imam Hanafi (tidak sepotong-potong), demikian pula kalau menginginkan menggunakan madzhab lain.

Mustahiq Zakat Fitrah

Ketentuan pembagian zakat



“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu'allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit  utang, *7+  untuk  jalan Allah dan *8+ untuk mereka yang sedang dalam  perjalanan.” (QS. At Taubah: 60)


Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama”, ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama terkait dengan mustahiq zakat fitrah, apakah sama dengan mustahiq zakat mal atau berbeda?

Yang jelas mereka sepakat bahwa zakat fitrah didistribusikan kepada orang-orang fakir di kalangan kaum muslimin.  Nabi  saw.  bersabda,  "Cukupilah  mereka  agar  mereka  tidak  meminta-minta  pada  hari tersebut."

Adapun mengenai golongan lainnya mereka berbeda pendapat. Imam al-Kharaqi al-hambali berpandangan bahwa zakat fitrah diberikan kepada orang-orang yang boleh diberi zakat mal." Pendapat serupa dinyatakan oleh Ibnu Qudamah dengan alasan bahwa keduanya sama-sama berupa zakat sehingga ia juga tercakup dalam ayat 60 surat at-Taubah.

Sementara itu, Syeikhul Islam memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, distribusi zakat fitrah hanya tertuju kepada fakir miskin saja, sementara muallaf dan golongan lainnya tidak. Hal ini dengan mengacu pada sabda Nabi di atas, "Cukupilah mereka agar mereka tidak meminta-minta pada hari tersebut."


Ulama Malikiyah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat fithri hanyalah khusus untuk fakir miskin saja (lihat : Al Mawsuah Al Fiqhiyah, 2/8287). Karena dalam hadits disebutkan:


Zakat fithri sebagai makanan untuk orang miskin.”


Alasan lainnya dikemukan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah : Nabi SAW memberi petunjuk bahwa zakat fitrah hanya khusus diserahkan pada orang-orang miskin dan beliau sama sekali tidak membagikannya pada 8 golongan penerima zakat satu per satu. Beliau pun tidak memerintahkan untuk menyerahkannya pada 8 golongan tersebut. Juga tidak ada satu orang sahabat pun yang melakukan seperti ini, begitu pula orang-orang setelahnya” (Zaadul Ma’ad, 2/17).
Pendapat terakhir ini yang lebih tepat, yaitu zakat fitrah hanya khusus untuk orang fakir miskin. Pengertian fakir adalah  orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk
memenuhi penghidupannya.

·    Imam Hanafi : Orang faqir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari satu nishob.
·    Imam  Maliki  :  Orang  faqir  adalah  orang  yang  mempunyai  harta,  sedangkan  hartanya  tidak mencukupi untuk keperluannya selama satu tahun.
·    Imam Syafi’i : Orang faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha atau mempunyai harta kurang dari ½ (seperdua) keperluannya dan tidak ada orang yang menanggungnya.
·    Imam Hambali : Orang faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau mempunyai harta kurang dari ½ (seperdua) keperluannya.

Sedangkan miskin adalah orang yang mempunyai sedikit harta untuk dapat menutupi kebutuhannya, akan tetapi tidak mencukupi.

·    Imam Hanafi : Orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu apapun.
·    Imam Maliki : Orang miskin ialah orang yang tidak mempunyai sesuatu apapun.


·    Imam  Syafi’i  :  Orang  miskin  adalah  orang  yang  mempunyai  harta  tetapi  tidak  mencukupi kebutuhannya.
·    Imam  Hambali :  Orang miskin adalah  orang yang mempunyai harta tetapi tidak mencukupi kebutuhannya.

Dengan demikian fakir dan miskin adalah golongan yang tidak mendapati sesuatu yang mencukupi kebutuhan mereka. Adapun batasan dikatakan fakir menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah adalah orang yang tidak punya harta dan usaha yang dapat memenuhi kebutuhannya. Seperti kebutuhannya, misal sepuluh ribu rupiah tiap harinya, namun ia sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut atau ia hanya dapat memenuhi kebutuhannya kurang dari separuh. Sedangkan miskin adalah orang yang hanya dapat mencukupi separuh atau lebih dari separuh kebutuhannya, namun tidak bisa memenuhi seluruhnya.

Waktu Pelaksanaan Zakat Fitrah


Waktu pembayaran zakat fitrah ada dua macam: (1) waktu afdhal yaitu mulai dari terbit fajar pada hari idul fitri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat id; (2) waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum id sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar [lihat: Minhajul Muslim, 231].


Yang menunjukkan waktu afdhal adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, ia berkata,




Barangsiapa yang menunaikan zakat fitrah sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827)

Sedangkan  dalil  yang  menunjukkan  waktu  dibolehkan  yaitu  satu  atau  dua  hari  sebelum  adalah disebutkan dalam shahih Al Bukhari,



Dan Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya 'Idul Fithri.” (HR. Bukhari no. 1511)

Ada  juga  sebagian  ulama  yang  membolehkan  zakat  fithri  ditunaikan  tiga  hari  sebelum  Idul  Fithri. Riwayat yang menunjukkan dibolehkan hal ini adalah dari Nafi’, ia berkata,



“’Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari
sebelum hari raya Idul Fitri.” (HR. Malik dalam Muwathonya, 1/285, no. 629)


Zakat fitrah berkaitan dengan waktu idul fitri, maka tidak semestinya diserahkan jauh hari sebelumnya. Sebagaimana pula telah dijelaskan bahwa zakat fitrah ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan orang miskin agar mereka bisa bersuka ria di hari idul fitri. Jika ingin ditunaikan lebih awal, maka sebaiknya ditunaikan dua atau tiga hari sebelum hari idul fitri.


WalLahu a’lam bi ash-shawab.

 
×
Judul