×

Rabu, 18 Oktober 2017

USLUB (TEKNIK) PENDIDIKAN RASULULLAH SAW


1.       Mengkritisi diri sendiri
Imam at Tirmidzi mengutip nasihat Umar ketika Muhasabah sebagai berikut:
Evaluasilah diri kalian sbelum kalian diminta pertanggungjawaban (oleh Allah). Dan hiasilah diri kalian untuk penampilan spektakuler itu. Sesungguhnya, hisab di hari kiamat itu hanya ringan bagi siapa saja yang telah mengevaluasi dirinya ketika di dunia. (HR. Tirmidzi – mengenai sifat kiamat – no. 2383)
2.       Pengalihan
Yang dimaksud pengalihan di sini adalah upaya seorang pendidik dalam rangka mengalihkan peserta didiknya dari sifat tercela menjadi sifat terpuji.
Sulaiman bin Surad menuturkan:
Ada dua laki laki saling memaki di sisi Nabi SAW. Salah seorang diantara mereka marah, dan kemarahannya memuncak hingga wajahnya tegang dan berubah. Nabi SAW kemudian bersabda, “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui kata-kata yang seandainya diucapkan, pasti akan menghilangkan kemarahan yang dihadapi dari dirinya”. Laki laki itu kemudian menuju ke sana, dan diberi tahu sabda Nabi SAW, seraya berkata, “berlindunglah kepada Allah dari syetan”.
3.       Pengulangan
Bicara dengan perlahan. Dari Aisyah r.a., Rasulullah SAW tidak pernah melafalkan seperti pelafalan kalian ini. Tetapi, Beliau berbicara dengan ungkapan yang antara satu dengan lainnya mempunyai jeda, sehingga bias dilafalkan oleh orang yang duduk mendengarkannya. (HR. Muslim, no. 4871; Tirmidzi, no. 3572)
4.       Menggunakan skema dan alat peraga
Sabda Nabi SAW ketika menjelaskan surat al-An’am 153 kepada para sahabat:
“ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah, dan jangan mengikuti jalan yang lain sehingga kalian terpecah belah dari jalannya”. Beliau SAW membuat garis berbentuk tulang ikan dengan tangannya.
5.       Petunjuk praktis
Pendidik memberikan tata cara praktis pelaksanaan suatu perbuatan. Nabi SAW bersabda, “dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”.
6.       Dialog
Dialog merupakan salah satu teknik yang bermanfaat bagi pendidik untuk menanamkan nilai-nilai tertentu.
7.       Kisah keteladanan
Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah. (TQS. Al-Ahzab: 21)
8.       Persahabatan
Tempat tinggal seseorang mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap tingkah lakunya. Sebab, seseorang akan terpengaruh dengan orang yang ada di sekitarnya.
Nabi Saw bersabda, “Bagaimana ada suatu kaum yang mengerjakan shalat bersama kami tetapi tidak menyempurnakan thaharahnya”. (HR. an-Nasa’I, no. 938)
9.       Berbicara dengan bijak
Kebanyakan kata-kata Nabi merupakan kata-kata hikmah.
10.   Memberi nasihat secara langsung
Ketika Ibnu Abbas dibonceng di belakang Nabi Saw, beliau memberikan nasihat kepadanya, “Wahai bocah, saya ajarkan kepadamu suatu pesan, jagalah Allah, maka Dia pasti akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapatiNya mengarahkanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah, dan jika meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. (HR. Tirmidzi, no. 2440)

Disarikan dari buku “Membangun Kepribadian Pendidik Umat” karya KH. Hafidz Abdurrahman, MA.

Tsaqofah Rasa Official
t.me/tsaqofahrasa
@tsaqofahrasa

Selasa, 17 Oktober 2017

"Membangun Rumah Tangga SAMARO & Mabda'i: gak perlu ribet"

Tsaqofah Rasa Official:
[Tsaqofah Rasa]

Cara orang berpikir utk membangun rumah tangga tentu akan beragam bergantung pada persepsi setiap orang. Ada berpikir simple, ribet, kepengen pasangan yg sempurna, dll.
Wajar sih punya ragam pemikiran seperti itu, manusiawi, wong manusia dibekali gharizah alias naluri oleh Allah Swt. Tapi pertanyaannya adalah, apakah ragam itu menjadi justifikasi bagi setiap orang?

Islam sebagai ajaran yang sempurna telah memberikan panduan yang paripurna, tak terkecuali dalam hal rumah tangga.

Terlalu banyak teori yang bertele tele yang sebenarnya dapat kita peroleh seiring perjalanan dan pengalaman berumah tangga sementara hal hal pokok dan penting malah terabaikan, justru itulah yang akan menyebabkan rumah tangga jadi tak jelas arah tujuan, bahkan bisa berakhir tragis.

Berbicara soal rumah tangga tentu tak hanya berbicara faktor faktor internal, melainkan juga berbicara soal faktor faktor eksternal yang cukup signifikan memengaruhi suasana rumah tangga.

Ada dua jenis kehidupan yg perlu dipahami. Pertama kehidupan khusus yaitu lingkup kehidupan yang apabila kita hendak masuk ke dalamnya diperlukan ijin. Misal di rumah, sholahiyah sepenuhnya ada pada pemilik rumah.
Kedua, lingkup kehidupan umum, yaitu lingkup kehidupan dimana seseorang dapat masuk ke dalamnya tanpa memerlukan ijin. Misal di pasar, jalan, dll.

Terkait lingkup kehidupa khusus, maka perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
1. Pahami masing masing hak dan kewajiban pasutri, lalu jangan dilanggar.
2. Bagi istri, jika ada tamu yang bkn mahrom maka wajib menutup aurat secara sempurna (pakai jilbab & kerudung), jaga sikap (jangan oces alias caper, banyak tingkah), jgn bertabarruj.
3. Jangan mengijinkan tamu bkn mahrom ke dalam rmh ketika suami tdk ada.
4. Pahami betul siapa saja yang terkategori mahrom. Jgn sampai berkholwat dgn selain mahram apapun alasannya, karena jelas haram.

Jika di lingkup kehidupan umum:
1. Perempuan jgn bertabarruj, dan memakai wewangian yg dpt tercium oleh laki laki lain karena dosanya sama dengan zina. Terus wajib menutup aurat secara sempurna.
2. Jangan berkholwat dgn selain mahram.
3. Hindari ikhtilat (bercampur baur antara pria dan wanita yg bkn mahrom) kecuali dlm perkara yg diperbolehkan oleh syariah, misal dalam ibadah haji dan jual beli.
4. Berinteraksi dengan lawan jenis itu seperlunya saja tanpa tebar pesona apalagi main mata, cipika cipiki, dll.
5. Tundukkan pandangan sebagaimana perintah dalam al Quran.
6. Selebihnya tambahin sendiri ya...

Terakhir yg tak kalah penting ialah amar ma'ruf nahyi munkar, saling nasehatin.

Semenjak sblm nikah dulu, ada satu kitab yg hingga saat ini sy jadikan rujukan, baik dlm pergaulan maupun rmh tangga. Namanya kitab "Nizamul Ijtima'i fil Islam", mantap dech pokoknya...


Kamis, 12 Oktober 2017

BEDA “IMRA’AH, ZAUJAH, SHAHIBAH” DALAM AL-QUR’AN


Al-Qur’an menggunakan ketiga lafadz, Imra’ah, Zaujah, Shahibah, tetapi apa konotasi masing-masing sama, atau berbeda? Terkadang isteri disebut Zaujah, kadang Imra’ah, mengapa dibedakan?

Mari kita cerna dan analisis dengan baik, perbedaan masing-masing lafadz ini dalam al-Qur’an:

Pertama, imra’ah [perempuan]. Jika dia mempunyai hubungan fisik, antara pria dan wanita, tetapi tidak ada keharmonisasn dan kecocokan pemikiran, maka perempuan ini disebut imra’ah.

Kedua, zaujah [perempuan yang menjadi isteri]. Jika ada hubungan fisik, saling mengasihi, karena adanya kecocokan pemikiran, keharmonisan dan cinta kasih. Perempuan ini disebut zaujah [isteri/pasangan hidup].

Mari kita perhatikan, ketika Allah menyebut:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ

“Allah telah membuat perumpamaan bagi orang Kafir perempuan [isteri] Nuh dan perempuan [isteri] Luth.” [Q.s. at-Tahrim: 10]

Allah tidak menyebut, “Zaujah Nuh”, atau “Zaujah Luth.” Karena adanya perbedaan akidah di antara keduanya. Mereka, Nuh dan Luth ‘alaihima as-salam, adalah para Nabi, dan beriman, sementara isteri-isteri mereka tidak beriman.

Begitu juga ketika Allah menyebut:

وَقَالَتِ امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّي وَلَكَ ۖ

“Dan berkatalah perempuan [isteri] Fir'aun, “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu.” [Q.s. al-Qasas: 09]

Tidak menyebut, “Zaujah Fir’aun”, karena Fir’aun tidak beriman, atau Kafir, sementara isterinya telah beriman. 

Sementara itu, perhatikanlah beberapa posisi, ketika al-Qur’an yang mulia menggunakan lafadz, “Zaujah” [isteri/perempuan yang menjadi pasangan hidup], Allah berfirman:

ﻭَﻗُﻠْﻨَﺎ ﻳَﺎ آﺩَﻡُ ﺍﺳْﻜُﻦْ ﺃَﻧْﺖَ ﻭَﺯَﻭْﺟُﻚَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ

“Dan Kami [Allah] berfiman, “Wahai Adam, tinggallah kamu dan isterimu di surga.” [Q.s. al-Baqarah: 35]

ﻳﺎَ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻗُﻞْ ِﻷﺯْﻭَﺍﺟِﻚَ

“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu...” [Q.s. al-Ahzab: 28]

Itu semua, karena Allah SWT ingin menunjukkan adanya kecocokan pemikiran dan keharmonisan yang sempurna di antara keduanya..

Namun, adakalanya Allah menggunakan lafadz, “imra’ah” [perempuan], dengan konotasi isteri yang agamanya sama, sebagaimana yang digunakan melalui lisan Nabi Zakaria ‘alaihissalam, meski pemikirannya sama, dan ada keharmonisan di antara keduanya. Allah SWT berfirman:

ﻭَﻛَﺎﻧَﺖْ ﺍِﻣْﺮَﺃَﺗِﻲْ ﻋَﺎﻗِﺮﺍً‏

“Isteriku adalah wanita yang mandul.“ [Q.s. Maryam: 05]

Apa pasalnya? Ternyata, saat itu ada kemungkinan sedang terjadi masalah dalam hubungan antara Zakaria dengan isterinya, karena masalah kemandulan. Maka, Nabi Zakaria mengadukan harapannya kepada Allah SWT. Namun, setelah Allah menganugerahkan putra kepadanya, yaitu Sayyidina Yahya ‘alaihissalam, maka ungkapan al-Qur’an yang digunakan juga berbeda. Allah berfirman:

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ ۚ

“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung.“ [Q.s. al-Anbiya’: 90]

Dalam konteks yang lain, Allah SWT juga menelanjangi rumah tanggal Abu Lahab, seraya berfirman:

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

“Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.” [Q.s. al-Lahab: 4]

Al-Qur’an ingin menunjukkan, bahwa di antara mereka sebenarnya tidak ada kesepahaman dan kecocokan.

Ketiga, lafadz “Shahibah” [pendamping]. Al-Qur’an menggunakan lafadz, “Shahibah” ketika hubungan secara fisik dan pemikiran antara suami isteri tersebut telah putus. Karena itu, hampir sebagian besar untuk menggambarkan fenomena pada Hari Kiamat, al-Qur’an menggunakan lafadz, “Shahibah”.  Allah SWT berfirman:

ﻳَﻮْﻡَ ﻳَﻔِﺮُّ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀُ ﻣِﻦْ ﺃَﺧِﻴْﻪِ ﻭَﺃُﻣِّﻪِ وَﺃَﺑِﻴْﻪِ ﻭَﺻَﺎﺣِﺒَﺘِﻪِ ﻭَﺑَﻨِﻴْﻪِ

“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya.” [Q.s. ‘Abasa: 24-26]

Karena hubungan fisik dan pemikiran di antara keduanya telah terputus. Pertama, karena kematian, dan kedua karena huru hara pada Hari Kiamat. Untuk menegaskan itu, Allah SWT dengan tegas berfirman:

أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُن لَّهُ صَاحِبَةٌ ۖ

“Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri?” [Q.s. al-An’am: 101]

Mengapa Allah tidak menggunakan lafadz, “Zaujah” atau “Imra’ah”? Itu semua untuk menafikan adanya hubungan fisik dan pemikiran, dengan penafian secara pasti, baik secara global maupun detail.

Maha Suci Allah SWT,
Mukjizat al-Qur’an yang luar biasa.

Taqorrub Ila Allah: Kunci Kemenangan

Oleh: Asep Kurniawan (Abdul Hanif)

www.jendela-informasi.blogspot.com
telegram: t.me/tsaqofahrasa


وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ آمِنُونَ
“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).” (QS. Saba [34]: 37)

Taqarrub berasal dari akar kata qaruba (قَرُبَ-يَقْرُبُ-قُرْبَاً-قَرِيْبٌ),  artinya = dekat. Kata  taqarrub dalam bahasa Arab (تَقَرَّبَ – يَتَقَرَّبُ – تَقَرُّباً - مُتَقَرِّبٌ  ) artinya = mendekat. Taqarrub  ilallah (اَلتَّقَرُّبُ إِلىَ اللهِ), artinya = mendekatkan diri kepada Allah. Kita  aktif mendekatkan diri, Allah yang kita dekati berjanji akan mendekati kita. Rasulullah saw bersabda:

]عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمَ فِيْماَ يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّوَجَلَّ قَالَ: إِذَا تَقَرَّبَ الْعَبْدُ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَ إِذاَ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا مِنْهُ باَعًا، وَ اِذَا أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً[

“Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta; jika ia mendekati-Ku sehasta, aku akan mendekatinya sedepa; jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan mendekatinya dengan berlari”  (Shahih Bukhari XI/199)

Wilayah taqarrub ilallah
Yaitu saat kita berhubungan dengan Allah, diri sendiri dan juga manusia yang lainnya, maka:
1.    Utamakan seluruh kewajiban

»وَمَاتَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ«
“Dan tiada bertaqarrub (mendekat) kepada-Ku seorang hamba dengan sesuatu yang lebih Ku sukai dari pada menjalankan kewajibannya ”  (Shahih Bukhari Juz XI, hal. 299, 297 )

2.    Sempurnakan dengan amalan-amalan nafilah (sunnah)

»وَمَايَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذاَ أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِيْ َلأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي َلأُعِيْذَنَّهُ«
“Tiada henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah nafilah sehingga Aku mencintanya. Kalau Aku sudah mencintainya, maka aku akan menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya dan Aku akan menjadi penglihatannya yang ia melihat dengannya; dan Aku akan menjadi tangannya yang ia pergunakan; dan Aku akan menjadi kakinya yang ia berjalan dengannya. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya akan Kuberi apa yang ia minta; dan jika ia memohon perlindungan pada-Ku niscaya Aku lindungi”  (lihat Fathul Baari, Syarah Shahih Bukhari, XI/341-345,)
3.    Jangan terlena dengan perbuatan yang mubah
Abu Bakar r.a pernah berkata:
كنا ندع سبعين باباً من الحلال مخافة أن نقعوا في باب الحرام
“kami sengaja meninggalkan 70 jalan kehalalan (mubah) karena khawatir terjerumus ke dalam jalan yang haram”.
4.    Jauhi seluruh perkara yang makruh dan haram serta wasilah (pelantara) yang menghantarkan pada keharaman
Sebagaimana kaidah ushul fiqh:
الوسيلة ألى الحرام حرام
Segala sesuatu yang dapat menghantarkan pada keharaman, maka hukumnya haram. (lihat kitab syakhsiyyah islamiyyah juz III; lihat juga taysir al wusul ila al ushul)

Manifestasi dari taqorrub ilallah adalah ketundukan dan ketaatan totalitas terhadap seluruh syariah islam, tidak hanya dalam wilayah ibadah ritual (shalat, zakat, haji, shaum) saja.
Dengan demikian, taqorrub ilallah adalah kunci bagi kita untuk meraih kemenangan baik di dunia maupun di akhirat (berupa surga Allah). maka seyogyanya setiap perjuangan untuk meninggikan kalimah Allah di muka bumi haruslah disertai dengan taqorrub kepada Allah Swt. Dalam sejarah, Umar bin Khaththab digambarkan:  pada siang hari ia ibarat singa di padang pasir sedangkan pada malam harinya ia mencucurkan iar mata. Begitu juga dengan para sahabat yang lainnya.
Dengan taqorrub, maka akan terbangun semangat iman dan juang yang tinggi. Dengan taqorrub pula maka akan terbangun kecintaan kepada Allah dan RasulNya, sehingga akan hilang segala lelah dan penat dalam menjalani kehidupan ini.

Jika engkau merasa lelah dalam berjuang menegakkan agama Allah, maka ingatlah kematian niscaya rasa lelah itu akan hilang seketika

 
×
Judul