×

Rabu, 12 Desember 2018

TETAPNYA ENAM JENIS BARANG RIBAWI (Telaah kitab Syakhsiyah Islamiyah juz 3 tentang ‘illat)

TETAPNYA ENAM JENIS BARANG RIBAWI
(Telaah kitab Syakhsiyah Islamiyah juz 3 tentang ‘illat)

Oleh: Abdul Hanif


Sebelumnya, saya ingin menyampaikan bahwa pembahasan dalam tulisan ini bukan dalam rangka merinci hukum seputar riba secara utuh. Tulisan ini lebih kepada penegasan tentang 6 (enam) jenis barang riba dilihat dari tinjauan kajian ushul fiqih.

Terjadi kerancuan pemahaman saat menjelaskan tentang enam jenis barang

الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلاً بمثل، سواء بسواء، يداً بيد، فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم، إذا كان يداً بيد

”Emas ditukarkan dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum (al-burru bil burri), jewawut dengan jewawut (asy-sya’ir bi asy-sya’ir), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takarannya (mitslan bi mitslin sawa`an bi sawa`in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Dan jika berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin).” (HR Muslim no 1587)

الذهب بالذهب مثلاً بمثل، والفضة بالفضة مثلاً بمثل، والتمر بالتمر مثلاً بمثل، والبر بالبر مثلاً بمثل، والملح بالملح مثلاً بمثل، والشعير بالشعير مثلاً بمثل،  فمن زاد أو ازداد فقد أربى

”Emas ditukarkan dengan emas harus sama takarannya, perak ditukar dengan perak harus sama takarannya, kurma ditukar dengan kurma harus sama takarannya, gandum ditukar dengan gandum harus sama takarannya, garam ditukar dengan garam harus sama takarannya, dan jewawut ditukar dengan jewawut harus sama takarannya. Barang siapa yang memberi tambahan atau melebihkan takaran maka sungguh ia telah melakukan riba. (HR at-Tirmidzi)

Sebagian kalangan memahami bahwa selain keenam jenis barang riba tersebut, ada beberapa jenis barang yang bisa diqiyaskan (dianalogikan) dengan enam jenis barang riba tersebut sehingga dihukumi sama-sama jadi barang ribawi juga, misalnya beras sehingga jual beli maupun menukar beras haruslah kontan. Benarkah demikian?

Inilah fokus pembahasan dalam tulisan saya kali ini.

Dalam kitab Syakhsiyah Islamiyah juz 3 (Ushul Fiqih) dalam pembahasan tentang ‘illat, al ‘Alamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullahu ta’ala, telah menjelaskan secara gamblang mengenai hadis enam jenis barang riba yang dikupas dalam sudut pandang ushul fiqih.

Dalam kitab Syakhsiyah Islamiyah juz 3 halaman 361 fakroh pertama, beliau mengawalinya dengan pernyataan tentang tiga syarat ‘illat yang dapat dijadikan landasan dalam melakukan qiyas. Salah satu diantara ketiga syarat itu adalah bahwa ‘illat haruslah berupa sifat dan bukan perkara yang tetap (benda mati). Beliau kemudian mengutip hadis tentang 6 jenis riba yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi sebagai contoh untuk memberi gambaran tentang syarat ‘illat yang pertama.

الذهب بالذهب مثلاً بمثل، والفضة بالفضة مثلاً بمثل، والتمر بالتمر مثلاً بمثل، والبر بالبر مثلاً بمثل، والملح بالملح مثلاً بمثل، والشعير بالشعير مثلاً بمثل،  فمن زاد أو ازداد فقد أربى

”Emas ditukarkan dengan emas harus sama takarannya, perak ditukar dengan perak harus sama takarannya, kurma ditukar dengan kurma harus sama takarannya, gandum ditukar dengan gandum harus sama takarannya, garam ditukar dengan garam harus sama takarannya, dan jewawut ditukar dengan jewawut harus sama takarannya. Barang siapa yang memberi tambahan atau melebihkan takaran maka sungguh ia telah melakukan riba. (HR at-Tirmidzi)
Menurut beliau, hadis tersebut tidak mengandung ‘illat sama sekali dengan alasan bahwa barang-barang yang disebutkan dalam hadis tersebut merupakan lafadz tetap (jâmidah) berupa fisik atau benda mati dan bukan merupakan sifat. Dengan demikian, hadis tersebut memberikan batasan secara mutlak tentang jenis barang riba hanya enam jenis saja sesuai yang termaktub di dalam hadis tersebut.

Maka kita tidak dapat mengatakan keharaman riba dalam emas, misalnya, karena alasan bahwa pada emas terdapat aspek kesamaan jenis barang yang mempengaruhi, dengan kata lain emas merupakan logam mulia sehingga kita mencoba menghukumi seluruh logam mulia (platinum, rhodium, dll) sebagai barang riba. Atau misalnya menyamakan beras dengan jewawut dan gandum karena sama-sama barang yang ditakar, lalu kita menyimpulkan bahwa beras juga sama-sama barang riba karena sama-sama ditakar sebagaimana halnya jewawut dan gandum.

Analogi seperti itu jelas keliru dan bukan merupakan analogi (qiyas) yang syar’i karena tidak memenuhi syarat ‘illat yaitu harus berupa sifat bukan berupa sesuatu yang tetap (fisik benda). Dengan kata lain, analogi (qiyas) semacam itu merupakan perkara yang cacat ilmu dan metode istinbath (penggalian) hukum syara’.

Dengan demikian, tidak terdapat ‘illat pada enam jenis barang dalam hadis tersebut karena semuanya merupakan isim jâmidah yang menunjukkan kepada fisik benda dan bukan menunjukkan kepada sifat. Oleh karena itu, maka tidak boleh dilakukan qiyas (analogi) untuk memberikan status hukum yang sama terhadap barang lain dengan status barang riba.
Lebih lanjut, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan hadis tersebut bahwa kata ziyadah (tambahan/kelebihan) dalam hadis tersebut tidak dapat dijadikan ‘illat. Alasannya karena redaksi ‘زاذ او ازداد’ (tambahan/kelebihan) merupakan perkara yang telah ditentukan pada masing-masing jenis barang yang disebutkan dalam hadis tersebut atau dengan kata lain merupakan pembatasan pada keenam jenis barang tersebut. Artinya, haramnya riba pada enam jenis barang tersebut karena adanya tambahan saat transaksi penukaran. Sedangkan redaksi مثلاً بمثل (harus sama takarannya) bukan merupakan sifat dan juga bukan merupakan ‘illat untuk pengharaman dalam hadis tersebut dan tidak mungkin pula dapat dipahami dari redaksi tersebut adanya ‘illat baik secara lugah (aspek bahasa) maupun aspek syar’i, sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa pada keenam jenis barang ribawi tersebut tidak dilakukan analogi (qiyas). Dengan demikian, penetapan hukum barang ribawi semata-mata berdasarkan kepada lafadz jamidah (aspek fisik bendanya) semata, bukan berdasarkan ‘illat.

Kesimpulannya adalah bahwa jatuhnya status keharaman pada enam jenis barang ribawi tersebut semata-mata karena aspek lafadz jamidah pada hadis tersebut, bukan bedasarkan ‘illat. Hal tersebut karena pada hadis tersebut tidak terdapat syarat-syarat ‘illat diantaranya dalah sifat (benda/barang). Dengan demikian, tidak boleh melakukan analogi (qiyas) pada keenam jenis barang ribawi tersebut terhadap barang lainnya. Sehingga kita tidak bisa menganalogikan beras kepada jewawut atau gandum, platinum kepada emas atau perak, dll.

Transaksi pertukaran dan jual beli barang ribawi (emas, perak, kurma, garam, gandum, jewawut) harus dengan takaran yang sama dan dilakukan secara kontan.

Semoga tidak ada yang salah kaprah lagi dalam memahami enam jenis barang ribawi.

Wallahu a’lam bi ashshawwab

Semoga catatan kecil ini dapat memberi manfaat. Untuk membahas ‘illat secara detail butuh ruang dan forum khusus, dan tulisan ini tidak dimaksudkan untuk itu.

Saudaramu,
Abdul Hanif
085317929443

Referensi:
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Kitab syakhsiyah Islamiyah juz III, Darul Ummah.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Kitab Mafahim Hizbut Tahrir, Darul Ummah.
Syaikh ‘Atha bin Khalil, Taysir al Wushul Ila al Wushul, Darul ummah.
riba yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam at-Tirmidzi. Enam jenis barang riba tersebut adalah emas, perak, kurma, gandum, jewawut, dan garam. Berikut kutipan hadisnya, Rasulullah SAW bersabda:

 
×
Judul