×

Sabtu, 05 Oktober 2019

POLITIK DAN HUKUM PERTANAHAN

Oleh: Asep Kurniawan
Pendahuluan
Memperbincangkan persoalan pertanahan di Indonesia khususnya merupakan
isu yang seksi untuk terus digulirkan. Pasalnya persoalan seputar pertanahan (agraria) tak jua kunjung usai, bahkan kian hari dari rezim ke rezim berikutnya malah semakin memburuk. Meningkatnya angka penggusuran tanah, sengketa lahan, serta sejumlah masalah lainnya yang menyangkut pertanahan menjadi realitas yang tak dapat dipungkiri lagi, bukan lagi menjadi rahasia umum, dan bahkan jika dibiarkan berlarut-larut akan menjadi bom waktu yang akan meluluhlantakan negeri ini.

Realitas pengaturan pertanahan saat ini
Menyimak pernyataan Capres petahana, Jokowidodo dalam debat Capres (17/2/2019) yang menyebut Prabowo menguasai ratusan ribu hektar lahan dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) menjadi isu yang menarik untuk membuka kembali perbincangan mengenai politik dan hukum pertanahan di Indonesia sekaligus membuka tabir benang kusut penguasaan lahan produktif oleh beberapa gelintir kapitalis di Indonesia.
HGU sendiri sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 pasal 28. UUPA telah meninggalkan sejumlah permasalahan yang rumit bagi bangsa ini termasuk dalam hal HGU. Arahnya jelas, yaitu menuju kepada liberaslisasi kepemilikan lahan yang kian hari emakin menyulitkan dan memberatkan rakyat. Menjadi pembantu di negeri sendiri nampaknya merupakan ujaran yang tepat disandingkan pada rakyat di negeri ini.
Maraknya kasus penggusuran lahan di berbagai daerah, kota maupun kabupaten, juga merupakan realitas yang tidak dapat kita nafikan. Sekalipun dikemas manis pemberitaannya oleh media mainstream, namun pahitnya dampak yang dirasakan rakyat tak akan pernah hilang dan menjadi bukti yang tak terelakan lagi.
Penggusuran terhadap lahan milik warga dilakukan dengan beragam motif mulai dari pembangunan bandara, jalan tol, pusat-pusat perbelanjaan, dll dengan dalih relokasi ke hunian yang lebih layak.
Terkait dengan proyek bandara misalnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia(YLBHI) mengeluarkan sikap keras terkait proses pengosonganlahan dan rumah terdampak proyek bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kabupaten Kulo Progo, DIY. Melalui keterangan tertulis, YLHI bersama 15 lembaga Bantuan Hukum berpendapat teradi darurat pelanggaran hukum, konstitusi, dan HAM dalam proses pengosongan lahan dan rumah warga tersebut. (https://m.detik.com)
Di Jakarta sendiri, dalam buku yang berjudul “MASIH ADA (Laporan Pengusuran Paksa di Wilayah Jakarta Januari-September 2018)” yang diterbitkan oleh LBH Jakarta, menurut penelusuran LBH Jakarta, ditemukan 106 program dengan nilai anggaran Rp53.744.465.314 yang diduga mengimplementasikan penggusuran paksa di berbagai wilayah administrasi DKI Jakarta dengan rincian sebagai berikut:

Wilayah administrasi
Jumlah program
Anggaran (Rp)
Jakarta Pusat
13 program
5.962.070.304
Jakarta Timur
11 program
5.445.393.868
Jakarta Utara
16 program
7.299.401.800
Jakarta Selatan
14 program
9.516.957.660
Jakarta Barat
18 program
15.341.605.930
Kepulauan Seribu
5 program
639.348.222
Tidak diketahui
28 program
928.029.300
Total anggaran

53.744.465.314

Ilustrasi lainnya bisa kita lihat dalam tabel berikut:
Peristiwa
Daerah
Luas Tanah
Korban
Cileunyi
Bandung - Jabar
300 ha
1.000 KK
Grati
Pasuruan - Jatim
2.000 ha
4.000 KK
Nyamil
Blitar - Jatim
8.000 ha
12.000 KK
Sunggal
Medan - Sumut
167 ha
200 KK
Tanjung Bulan
Sumsel
12.000 ha
100.000 KK
Kedung Ombo
Jawa Tengah
4 Kecamatan
27.000 KK
Pulau Bintan
Kepulauan Riau
23.000 ha
14.000 KK
SUTET/SUTT
Jawa, Bali, Sumatera, dll
Ratusan desa

Catatan: kasusu penggusuran tanah lainnya masih berjumlah sangat banyak (sekitar 1.800 kasus yang tercatat) di berbagai daerah  dengan perkiraan korban tidak kurang dari 3.000.000 jiwa. Motif umum penggusuran ini adalah pengambilan hak tanah rakyat menjadi pabrik, pangkalan militer, waduk, dll.
Sumber: www.geocities.com/frontnasional/kasusorba.htm
Di samping kasus penggusuran lahan dengan dalih relokasi, konversi lahan produktif pertanian pun tak kalah hangatnya, seolah saling bersaing untuk menjadi kasus yang viral.
Pertumbuhan penduduk yang pesat dan buruknya sistem penyebaran penduduk secara merata memaksa terjadinya konversi lahan produktif menjadi wilayah pemukiman warga dan tempat-tempat usaha.
Dalam batas-batas tertentu, konversi lahan pertanian sulit dihindarkan karena perubahan struktur perekonomian dan pertumbuhan penduduk yang berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan tanah untuk tempat tinggal, pengembangan prasarana perhubungan, dan lahan untuk pembangunan pabrik-pabrik dan prasarana sosial lainnya dengan laju dan pola yang tidak terkendali. Lahan-lahan pertanian produktif dengan investasi yang mahal banyak yang beralih fungsi. Sebagai ilustrasi, di pulau jawa saja dalam periode 1987-1992 rata-rata 23 ribu hektar sawah beralih fungsi. Meskipun dampak positif yang timbul akibat alih fungsi  ini tak dapat dipungkiri (penyerapan tenaga kerja, Produk Regional Bruto, penghematan devisa), akan tetapi karena pola sebarannya tak terkendali maka sejumlah dampak negatif tidak dapat dihindari seperti mubazirnya investasi di sektor pertanian, hilangnya mata pencaharian petani/buruh tani, kapasitas pasokan pangan berkurang, degradasi fungsi sawah sekitarnya, maupun tercabutnya kelembagaan penujang sistem pertanian produktif.



Berikut tabel estimasi konversi sawah menurut beberapa hasil penelitian dahulu
Tahun
Lokasi (cakupan)
Jenis Lahan
Estimasi (ha/tahun)
Referensi
1985-2000
Jawa Barat
Sawah
4.000
Delft Hydraulic (1989)
1981-1985
Jawa dan Bali
Sawah irigasi
13.400
BCEOM (1988)

Pulau Jawa
Sawah irigasi
20.000
JICA (1989)
1990-2000
Pulau Jawa
Sawah irigasi
22.500
Delft Hydraulic (1991)

Pulau Jawa
Sawah tadah hujan
8.200
Delft Hydraulic (1991)
Sumber: Workshop on Autonomous in Rice Held in Cipanas, West Java, 6-17 September 1991
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, luas lahan baku sawah terus menurun. Catatan mereka pada tahun 2018, luas lahan tinggal 7,1 juta hektare, turun dibanding tahun 2017 yang masih 7,75 juta hektare.
Angka luas lahan tersebut diperoleh dengan metodologi Kerangka Sampel Area (KSA) menggunakan data hasil citra satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi Geopasial (BIG). Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan penurunan luas lahan tersebut dipicu oleh gencarnya alih fungsi. “Pasti konversi lahan sawah juga mempengaruhi luasan lahan baku sawah saat ini yang 7,1 juta hektare” ujarnya. (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181025153705-92-341433/bps-sebut-luas-lahan-pertanian-kian-menurun)

Akar Permasalahan
Akar permasalahan tanah pada hakikatnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu sistem yang rusak dan birokrasi (pejabat/petugas) yang korup.
Sistem yang rusak merupakan konsekuensi karena diterapkannya aturan pertanahan yang tidak bersumber pada wahyu, yakni Al-Quran dan As-Sunnah. Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria sejatinya telah melahirkan permasalahan tak berkesudahan di bidang pengaturan pertanahan. Lebih dari itu, Undang-Undang Pokok Agraria sejatinya merupakan produk warisan penjajah Belanda yang masih dipelihara oleh bangsa ini. Wajar jika kemudian lahir beragam masalah yang tak kunjung usai karena memang penjajah meninggalkan produk pemikirannya untuk menjadikan bangsa ini tetap terjajah.
Sementara adanya pejabat/petugas yang korup dapat dibuktikan dengan banyaknya mafia yang berkeliaran dalam berbagai kasus pertanahan. Persengketaan lahan dan bangunan kerap terjadi akibat adanya surat kepemilikan yang ganda yang memaksanya harus masuk ke ranah proses hukum di pengadilan perdata.
Konflik agrasia selamanya akan terus bergulir dan tidak mustahil akan menjadi bom waktu jika akar permasalahannya tidak segera diselesaikan, yakni karut-marutnya sistem politik pertanahan yang diejawantahkan dalan Undang-Undang Pokok Agraria.

Solusi Islam
Islam telah memberikan hukm yang jelas seputar pengaturan tanah/lahan. Hukum berkaitan dengan tanah meliputi raqabah (berkaitan dengan zat atau benda) dan manfaat (kegunaan). Islam telah memperbolehkan memiliki lahan dan kegunaannya. Islam juga menentukan hukum bagi masing-masing kepemilikan.
Sebuah negeri yang ditaklukan melalui peperangan, maka lahan/tanah tersebut menjadi milik negara (baitul mal). Tanah tersebut dianggap sebagai tanah kharijiyah.
Apabila negeri tersebut penduduknya sudah terlebih dahulu masuk islam, maka lahan tersebut adalah milik penduduk setempat. Dan status tanah tersebut adalah usyriyah.
Usyr merupakan hasil tanah, yaitu pungutan yang diambil oleh negara dari pengelola tanah sebesar 1/10 dari hail panen riil apabila tanamannya diairi dengan air tadah hujan, dan negara mengambil 1/20 apabila tanamannya diairi dengan pengairan teknis (buatan).
Usyr dianggap sebagai zakat dan diserahkan ke baitul mal dan dibagikan kepada delapan asnaf.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (TQS. At-Taubah: 60)
Sdangkan kharaj adalah harta yang diambil negara dari pemilik tanah setempat dengan kadar tertentu yang telah ditentukan dan dibatasi oleh negara, yang umumnya sesuai dengan perkiraan penghasilan tanah, bukan penghasilan riilnya. Tanah tersebut diperkirakan berdasarkan kandungannya, sehingga pemilik tanah setempat serta baitul mal tidak terzalimi. Kharaj dipungut dari pemilik tanah, setahun sekali, baik ditanami maupun tidak, baik subur maupun kering.
Islam telah membagi jenis kepemilikan menjadi tiga jenis
1.      Kepemilikan individu (milkiyah fardiyah)
2.      Kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah)
3.      Kepemilikan negara (milkiyah daulah)
Berikut beberapa contoh kepemilikan tanah berdasarkan manfaatnya (sebagai sebuah catatan)
No
Uraian
Lokasi
Luas (m2)
Hak Milik
1
Pantai


Negara
2
Gurun


Negara
3
Tanah mati


Negara
4
Tanah endapan air


Negara
5
Lahan minyak


Umum
6
Hutan


Umum
7
Ladang batu bara, dll


Umum
8
Fasilitas umum


Umum
9
Pasar


Umum
10
Lahan pertanian


Individu/Negara
11
Lahan usaha, toko, dll


Individu/Negara

Islam telah menetapkan sebab-sebab kepemilikan yaitu dengan sebab membeli, warisan, hibah, menghidupkan tanah mati, memagari tanah, dan pemberian negara secara Cuma-Cuma.
Terkait dengan menghidupkan tanah mati, Rasulullah SAW bersabda:
من أحيا أرضا ميتة فهي له
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Sedangkan memagari tanah adalah membuat batas-batas tanah yang menunjukkan atas pembagian tanah dan membatasinya dengan batas-batas tertentu.
Rasulullah SA bersabda:
“Siapa saja yang membatasi tanah dengan dinding, maka ia berhak atas tanah itu” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Sedangkan tanah yang diberikan negara secara Cuma-Cuma adalah tanah yang sudah dihidupkan, tapi tidak ada pemiliknya.
Kepemilikan tanah memaksa pemiliknya untuk menggarapnya. Jika dia mengabaikannya dan menyia-nyiakannya selama tiga tahun, maka tanah itu diambil paksa oleh negara dan diberikan kepada orang lain. Jika tidak digarap dalam kurun waktu tiga tahun, maka kepemilikannya menjadi batal. Rasulullah SAW bersabda:
“Sebelumnya tanah itu milik Allah dan RasulNya, kemudian setelah itu milik kalian. Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka ia menjadi miliknya. Dan tidak ada hak bagi yang memagari (setelah menelantarkannya) selama tiga tahun” (HR. Baihaqi)
Selain itu, islam juga telah melarang pemilik tanah untuk menyewakan lahannya (lahan pertanian).
“Rasulullah SAW melarang menyewakan tanah. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, kalau begitu kami akan menyewakannya dengan bibit.” Beliau menjawab, “Jangan”. Bertanya (sahabat), “Kami akan menyewakannya dengan jerami”. Beliau menjawab, “Jangan.” Bertanya (sahabat), “Kami akan menyewakannya dengan yang ada di rabi’ yang mengalir.” Beliau menjawab, “Jangan. Kamu tanami atau kau berikan tanah itu kepada saudaramu” (HR. An-Nasa’i)
Dalam hadis Abu Dawud diriwayatkan:
“Bahwa dia telah menanami sebidang tanah, lalu Rasulullah SAW melewatinya, ketika itu dia (Rafi’) sedang mengairinya. Rasulullah bertanya kepadanya, “Milik siapa tanaman ini?” Dia menjawab, “Tanamanku dengan benihku, kerjaku, dan (hasilnya) sebagian untukku sedang sebagian lagi untuk si fulan.” Beliau bersabda, “Kalian berdua telah berbuat riba. Kembalikan tanah itu pada pemiliknya dan ambilah biaya yang telah kamu keluarkan.” (HR. Abu Dawud)
Dengan demikian, hukum pengelolaan tanah milik individu dapat dirangkum sebagai berikut:
1.      Pemilik tanah wajib mengelola dan tidak boleh menelantarkannya.
2.      Jika lebih dari tiga tahun ditelantarkan, maka negara akan megambil dan menyerahkannya kepada yang mampu mengelola.
3.      Tanah harus dikelola oleh pemiliknya atau diserahkan kepada yang lain dan dilarang disewakan.
Sedangkan untuk lahan milik umum sebagai berikut:
1.      Dikelola negara untuk kemakmuran rakyat
2.      Negara tidak dibenarkan menjual atau menyerahkan kepada individu tertentu.
Rasulullah SAW bersabda:
المسلمون شركاء في ثلاث الماء والكلاء والنار وثنمنه حرم
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang gembalaan dan api. Dan menghargakan (memperjualbelikanya) adalah haram.” (HR. Ibn Majah)
Untuk lahan milik negara adalah sebagai berikut:
1.      Dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat.
2.      Diberikan kepada rakyat yang membutuhkan.
Studi komparatif UUPA dengan Syariah Islam
No
Uraian
UUPA
Syariah
1
Status tanah
Tidak mengenal kharijiyah dan usyriyah
Khrijiyah dan usyriyah
2
Kepemilikan tanah
Tidak dibedakan antara raqabah dan manfaat
Dibedakan antara raqabah dan mafaat
3
Rincian kepemilikan tanah
a.    Hak milik
b.    HGU
c.     Hak guna bangunan
d.    Hak pakai
e.    Hak sewa
f.      Hak membuka tanah
g.    Hak memungut hasil hutan
h.    Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53
Kepemilikan tanah:
a.    Kepemilikan individu
b.    Kepemilikan umum
c.     Kepemilikan negara
4
Pembatasan kepemilikan tanah
Diatur dengan luas maksimum berdasakan peraturan perundangan (pasal 17)
Dengan kewajiban kemampuan mengelola. Apabila ditelantarkan lebih dari tiga tahun maka hilang kepemilikannya
5
Fungsi tanah
Sebagai fungsi sosial (pasal 6)
Sesuai dengan kepemilikan lahan tanah

 
×
Judul