×

Kamis, 31 Januari 2019

KONTROVERSI RUU PKS


DOWNLOAD FILE RUU PKS>>  RUU PKS

(RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sejak Januari 2016, DPR setuju RUU ini masuk Prolegnas 2015-2019.
RUU yang ditargetkan ketok palu tahun 2018 ini dibahas oleh Komisi VIII yakni bidang agama, sosial dan pemberdayaan perempuan.
RUU PKS muncul didasari tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Pada catatan tahunan 2017 Komnas Perempuan, tercatat 348.446 kasus kekerasan yang dilaporkan selama tahun 2017. Angka tersebut naik 74 persen dari tahun 2016 sebanyak 259.150 (www.komnasperempuan.go.id).
Kekerasan seksual tak hanya marak di Indonesia, namun menjadi masalah dunia. Data dari PBB menyebutkan 35 persen perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan secara fisik dan seksual. 120 juta perempuan di dunia pernah dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dan tindakan seksual lainnya. (Serambinews.com)
Draft RUU PKS
Draft RUU PKS memantik kontroversi. Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama sejumlah lembaga di ruang rapat Fraksi PKS menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus diwaspadai karena dinilai sarat dengan konsep Barat yang liberal (Hidayatullah.com, 31/5/2016 )
Baca: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Perlu Diwaspadai
Berikut adalah pasal-pasal yang kontroversial  dalam RUU PKS :
Pasal 5
(1) Setiap orang dilarang melakukan kekerasan seksual dalam segala bentuknya.
(2) Bentuk Kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi; a. Pelecehan seksual, b. Kontrol seksual , c. Perkosaan, d. Eksploitasi seksual,  e. Penyiksaan seksual, dan f. Perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh, seksualitas dan/atau organ reproduksi sebagai sasaran
(3) Setiap tindakan persetujuan diam-diam atau pembiaran yang dilakukan oleh lembaga negara, korporasi, dan lembaga masyarakat, yang berakibat terjadinya kekerasan seksual sebagaimana dimaksud ayat (2) merupakan tindak pidana kelalaian. Perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh dan seksualitas atau organ reproduksi sebagai sasaran, dan/atau merendahkan martabat kemanusiaan
Pasal 6
(1) Tindak pidana pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) huruf a adalah tindakan menghina dan/atau menyerang tubuh dan seksualitas seseorang.
(2) Bentuk-bentuk tindak pidana pelecehan seksual sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat  2) huruf a meliputi: a. Pelecehan fisik; b. Pelecehan lisan; c. Pelecehan isyarat; d. Pelecehan tertulis atau gambar; dan e. Pelecehan psikologis atau emosional
Pasal 7
(1) Tindak pidana kontrol seksual sebagaimana pasal 5 ayat (2) huruf b adalah tindakan yang dilakukan dengan paksaan, ancaman kekerasan, atau tanpa kesepakatan dengan tujuan melakukan pembatasan, pengurangan, penghilangan dan atau pengambilalihan hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat.
(2) Kontrol Seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu; b. Pemaksaan kehamilan; c. Pemaksaan aborsi;d. Pemaksaan sterilisasi; dan e. Pemaksaan perkawinan.
Pasal 8
(1) Tindak pidana perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c adalah tindakan seksual dengan menggunakan alat kelamin atau anggota tubuh lainnya atau benda ke arah dan/atau ke dalam organ tubuh yaitu pada vagina, anus, mulut, atau anggota tubuh lain, dilakukan dengan cara paksa, atau kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau tekanan psikis, atau bujuk rayu, atau tipu muslihat, atau terhadap seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya.
(2) Tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan.
Baca: DPR: RUU Penghapusan KS Tumpang Tindih dengan UU Lain
 Aroma Kebebasan Seksual
Frasa kontrol seksual  pada pasal 5 ayat (2) huruf b yang dikategorikan kekerasan seksual artinya mendorong setiap orang untuk bebas memilih aktivitas seksual tanpa ada kontrol dari pihak lain. Pihak yang melakukan kontrol seksual justru bisa dipidanakan. Orang tua tidak boleh melarang anak lajangnya melakukan hubungan seks bebas karena bisa terkategori kontrol sosial. Aktivitas LGBT juga terlindungi dengan frasa ini.
Kebebasan seksual ini makin nampak pada pasal 7 ayat (1) yaitu adanya hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat. Artinya kebebasan seksual harus dilindungi. Termasuk ketika memilih seks bebas, kumpul kebo, zina dan seks menyimpang semisal LGBT.
Lebih jauh lagi, pada pasal 7 ayat (2) dinyatakan bahwa Kontrol Seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu;  Maka orang tua tidak boleh mendisiplinkan anaknya berhijab untuk menutup aurat. Karena termasuk kontrol seksual dalam hal busana.
Seorang laki-laki tidak harus berpakaian laki-laki, namun boleh berpakaian perempuan. Demikian juga sebaliknya. Perempuan boleh berpakaian laki-laki. Karena melarangnya termasuk kontrol seksual. Para perempuan juga berhak berbaju seksi dan minim,  karena itu dianggap hak yang dilindungi undang-undang.
Pasal 8 ayat (2) menyebutkan bahwa Tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan.Sesuai pasal ini, seorang istri bisa sesuka hatinya memilih untuk melayani suami atau tidak. Jika suami memaksa untuk berhubungan, maka terkategori pemerkosaan.
Baca: Penghapusan Kekerasan Seksual: Sebuah Kritik
Aurat
Asal muasal maraknya kekerasan seksual adalah tidak dijalankannya syariat Islam untuk mengatur interaksi sosial masyarakat. Aurat perempuan dipertontonkan dimana-mana dengan vulgar. Pornografi menyeruak hingga ke ujung jari (gadget). Anak-anak sejak dini sudah terpapar pornografi. Saat ini bukan lagi zaman dimana orang mencari konten pornografi. Tapi konten pornografi yang mendatangi kita. Tanpa diminta.
Di sisi lain, aturan tentang pornografi dan pornoaksi sangat lemah. Karena definisi porno juga makin liberal. Video seorang anak perempuan yang mengakses pornografi dari gadget saat sedang bersama orangtuanya membuat kita miris. Pornografi sudah sejauh itu menguasai alam pikiran anak kita.
Akibatnya muncul penyakit masyarakat berupa seks bebas. Jika bisa terpenuhi suka sama suka menjadi zina dan prostitusi. Jika tak terpenuhi, menjadi perkosaan. Akibat zina dan perkosaan, muncuk kehamilan tak diinginkan (KTD).  Lanjutannya adalah aborsi.
Maka upaya menghentikan kekerasan seksual dengan mengusung kebebasan seksual ibarat mengaduk lumpur. Makin memperkeruh masalah. Kekerasan seksual akan makin marak, seiring kebebasan seksual makin digemakan.
Kekerasan seksual akan terselesaikan tuntas dengan penerapan syariat Islam. Laki-laki dan perempuan diperintahkan menutup aurat ( An nuur 30, 31 dan al Ahzab 59) dan juga menundukkan pandangan (an nuur 30 dan 31). Sehingga pintu pertama zina sudah tertutup.
Islam juga melarang khalwat sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda :”Janganlah sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang perempuan, kecuali [perempuan itu] disertai mahramnya.”
Ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan) juga dilarang sebagaimana hadits dari Abu Hurairah RA : Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah yang paling depan, dan seburuk-buruknya adalah yang paling belakang. Sebaik-baik shaf untuk wanita adalah yang paling belakang, dan seburuk-buruknya adalah yang paling depan.” (HR Muslim, no 440).
Syariat pergaulan ini sangat bagus jika dilegislasi menjadi qanun (undang-undang). Beserta dengan sistem sanksinya.    Perilaku liwath (LGBT) juga diberantas, dengan dakwah masif dan juga sanksi yang berat. Penerapan syariat inilah yang akan menyelesaikan persoalan kekerasan seksual. Bukan justru mengusung kebebasan seksual. *
Pengasuh Majelis Taklim Al Bayyinah Sidoarjo
Rep: Ahmad
Editor: Cholis Akbar

sumber https://www.hidayatullah.com/artikel/mimbar/read/2018/03/22/138540/aroma-kebebasan-seksual-di-balik-ruu-penghapusan-seksual.html

 
×
Judul