ZAKAT FITRAH : SEPUTAR
BENTUK, TAKARAN, MUSTAHIQ, DAN WAKTU PELAKSANAANNYA
Pendahuluan
Sungguh zakat merupakan kewajiban pokok ajaran Islam yang harus dilaksanakan oleh kaum muslim, seperti halnya
kewajiban sholat, shaum, dan haji. Setelah wafatnya
Rasulullah saw, ada kelompok-
kelompok manusia yang menjadi murtad. Mereka ada dua golongan yaitu golongan yang mengaku
sebagai nabi dan golongan orang yang tidak mau membayar zakat. Kasus ini selanjutnya dibawa kepada
Khalifah Abu Bakar. Berdasarkan musyawarah dengan para shahabat, maka disepakati bahwa orang
murtad tersebut wajib
diperangi.
Maka tercatat dalam sejarah Islam adanya perang melawan orang- orang murtad.
Allah SWT berfirman:
“Wahai Muhammad ambillah dari
sebagian harta
mereka sebagai
sodaqoh (zakat), untuk
membersihkan dan mensucikan
mereka”. (QS. At-Taubah : 103)
Para ulama bersepakat, jika seseorang tidak mau membayar zakat, maka pemerintahan (Islam)
berhak
mengambil secara paksa sesuai takarannya.
Pengertian Zakat
Secara bahasa zakat berasal dari kata
ةاكز ىكزي اكز, yang berarti kesuburan, kesucian, keberkahan, dan
kebaikan, yang banyak. Sedangkan
menurut istilah adalah
bagian harta yang wajib
dikeluarkan.
Menurut Mazhab
Maliki, zakat adalah mengeluarkan sebagian harta yang telah
mencapai nisab (batas tertentu) kepada para mustahik (orang yang berhak
menerimanya) jika telah sempurna kepemilikannya
dan mencapai haul (setahun)
kecuali bagi pertambangan dan hasil pengolahan tanah.
Menurut Mazhab Hanafi, zakat adalah mengeluarkan harta yang wajib ditunaikan sesuai dengan nisab
yang diatur kepada orang-orang tertentu yang telah ditentukan syariat dengan mengharap
ridha Allah.
Menurut Mazhab Syafi’i, zakat adalah istilah
dari bagian harta dan badan yang dikeluarkan dengan
mengharap ridha Allah.
Menurut Mazhab Hambali, zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan dari sebagian harta yang
dimiliki untuk golongan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.
Merujuk kepada beberapa definisi para ulama
di atas, maka zakat merupakan pengeluaran sejumlah
harta
orang tertentu yang menjadi
hak
orang lain. Dengan berzakat harta tumbuh dan berkembang
sebab, harta yang dizakati menjadi suci, berkah, membawa kebaikan bagi hidup dan kehidupan.
Allah SWT berfirman:
“Barang siapa melaksanakan amal kebajikan (termasuk berzakat) maka akan diganjarkan oleh Allah
sepuluh kali lipat”.
(QS. Al-An’am : 160)
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir,
pada tiap-tiap bulir seratus
biji. Allah melipat gandakan (ganjaran)
bagi siapa
yang
Dia kehendaki, dan
Allah Maha Luas (karunia-
Nya) lagi Maha
Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 261)
Zakat Fitrah
Secara umum zakat terbagi dua, yaitu zakat fitrah (jiwa) dan zakat maal (harta). Selanjutnya akan dibahas lebih
jauh mengenai Zakat Fitrah.
Zakat fitrah (zakat badan/jiwa) adalah zakat yang wajib dikeluarkan satu
kali dalam setahun oleh
setiap
muslim mukallaf (orang yang dibebani kewajiban
oleh Allah) untuk
dirinya sendiri dan untuk setiap jiwa
yang menjadi tanggungannya.
Jumlahnya sebanyak
satu
sha’ ditunaikan
sebelum shalat Idul Fitri.

|
Dari Ibnu Umar ra. : Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah berupa satu
sha' kurma atau
satu sha'
tepung
kepada
kaum
muslimin, baik hamba sahaya dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, yang kecil maupun
dewasa. Dan
beliau memerintahkan
agar ditunaikan sebelum orang-orang
keluar untuk melaksanakan shalat (idul fitri). [H.R Bukhari:
1407]
Ukuran Besaran Zakat Fitrah
Dari Abu Sa’id
radhiallahu
‘anhu
ia berkata: “Kami memberikan zakat fitrah di zaman
Nabi sebanyak 1 sha’ dari makanan
1 sha’ kurma 1 sha’ gandum ataupun
1 sha’ kismis (anggur kering)”. [HR. Bukhari,
Kitab Zakat no. 1508
dan 1506, diriwayatkan juga oleh Muslim no. 2280]
Berdasarkan hadits ini jelas sekali bahwa
Nabi SAW menentukan ukuran zakat fitrah
adalah 1 sha’. Tapi berapa 1 sha’ itu? Satu sha’ sama
dengan 4 mud. Sedangkan 1 mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang. Berapa bila diukur dengan kilogram? Para ulama berbeda pendapat
ketika mengukurnya dengan kilogram.
·
|
Mazhab
Maliki
|
: 1 mud = 6,75
ons @ 1 sha’ = 27
ons (2,7 kg)
|
·
|
Mazhab Syafi’i
|
: 1 sha’ = 2,75 kg
|
·
|
Mazhab Hambali
|
: 1 sha’ = 2,75 kg
|
·
|
Mazhab Hanafi
|
: 1 sha’ = 3,8 kg
|
Berdasarkan penafsiran hadits
Tsa'labah bin Shair al-Uzry, dan demikian pula sha' (gantang) yang dimiliki
oleh Umar ra. (Fiqh Islam wa'adilatuhu, wahbahAz-Zuhaily
2 : 909)
Satu sha’ menurut
Imam Abu Hanifah
dan Imam Muhammad adalah 8
rithl ukuran Irak. Satu rithl Irak sama dengan 130 dirham atau
sama dengan 3800 gram (3,8 kg).
Sedangkan di Indonesia sendiri
1 sha’ = 2,5 kg. Pembakuan 2,5 kg ini barang kali untuk mencari angka tengah tengah antara pendapat yang menyatakan 1 sha’ adalah 2,75 kg, dengan 1 sha’ sama dengan di
bawah 2,5 kg. Sebab menurut kitab al-Fiqh al-Manhaj,
Juz
I, hal 548, 1 sha’ adalah 2,4 kg. Ada juga
yang berpendapat 2176 gram (2,176 kg).
Di
dalam kitab al Syarqawi, op cit, juz I hal.
371,
Al-Nawawi
menyatakan 1 sha’ sama
dengan 683 5/7 dirham. Jika di konversi dalam satuan gram, hasilnya tidak jauh dari 2176 gram.
Zakat Fitrah dengan Makanan atau Uang
Dalam menunaikan ibadah zakat
fitrah ini memang terdapat
perbedaan
pendapat dikalangan
para
ulama.
Ada yang melarang zakat fitrah menggunakan uang, tetapi ada pula yang membolehkan.
Al-Imam An-Nawawy
menukilkan
dalam Syarah
Muslim (VII/53) bahwa jumhur
ulama (kecuali Abu
Hanifah) tidak membolehkan zakat fitrah yang dibayarkan dengan uang.
Hal ini berdasarkan
hadist dari Abu Sa’id ra, ia berkata: “Kami memberikan zakat fitrah di zaman Nabi
sebanyak 1 sha’ dari makanan 1 sha’ kurma 1 sha’ gandum ataupun 1 sha’ kismis (anggur kering)”. [HR. Bukhari Kitabu Zakat no. 1508
dan 1506, diriwayatkan juga oleh Muslim no. 2280}
Hadits tentang zakat fitrah menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mensyariatkan untuk ditunaikan dalam bentuk makanan. Selain
itu
amalan Rasulullah SAW dan para sahabatnya
menunjukkan bahwa mereka selalu
menunaikan zakat fitrah berupa makanan, padahal kita mengetahui bahwa di masa Rasulullah
SAW pun
telah
beredar uang dinar dan dirham. Namun beliau dan
para
sahabatnya tetap menunaikan zakat fitrah dengan bahan makanan, tidak dengan dinar dan
dirham.
Rasulullah SAW berzakat dengan kurma atau gandum atau kismis,
tetapi jumhur ulama sepakat
boleh menggantinya dengan
makanan pokok setempat.
Ini adalah pendapat jumhur
ulama
(Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah) dan pendapat
yang rajih (kuat).
Adapun Imam Hanafi, Imam
Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam
Ibnu Taimiyah membolehkan zakat fitrah
dengan uang dengan dasar bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Cukupkanlah mereka (fakir miskin) pada
hari ini, (hari raya
Idul Fitri)”. [HR.
Daruquthni dan Baihaqi].
Mencukupkan kebutuhan fakir miskin pada hari
raya tidak mesti dengan makanan pokok, bisa
juga dengan uang,
bahkan dengan uang lebih baik karena dapat digunakannya untuk makan dan lain-lain. Karena bisa jadi
pada
hari itu
dirinya tidaklah membutuhkan beras, tetapi butuh pakaian, daging, atau lainnya. Jika
diberi beras, maka mungkin dia
harus menjualnya kepada orang
lain untuk ditukarkan
dengan kebutuhan yang dia perlukan pada hari itu.
Khalifah Umar bin Abdul
Aziz, Hasan al Basri, Abu Ishak, Atho', Ats-Tsauri membolehkan berzakat fitrah dengan uang. Diakui,
bahwa uang sudah ada beredar
pada
masa Rasulullah SAW dalam bentuk dinar (emas) dan dirham (perak), meskipun itu bukan mata uang Arab tapi adalah mata uang Romawi dan Parsi. Oleh karena jarangnya beredar mata
uang tersebut di kalangan arab dan sulit ditemukan maka Rasulullah SAW tidak menggunakan mata uang untuk zakat fitrah
karena
dikhawatirkan
akan menyulitkan kaum muslimin (lihat: Fikih Zakat, Yusuf Qardawi, 2 : 949).
Menurut Prof. Dr.
Yuruf Qardawi, bahwa Rasul SAW tidak mencontohkan berzakat dengan
uang karena
nilai mata uang berubah-ubah sesuai dengan perubahan masa. Lain halnya berzakat dengan takaran
satu
sha' (gantang) makanan
pokok
tidak akan
berubah untuk selama-lamanya.
Ibnu Taimiyah
berkata bahwa beliau lebih gemar memberi 'cash' (uang) zakat al-fitr nya
di
kawasan metropolitan
seperti Damsyik, ditempat
beliau tinggal, kepada orang miskin.
Nasihat dari Sheikh Al-Qardhawi, "Terdapat beberapa pendapat tentang bolehnya
menggunakan uang
atau tidak. Maka
seseorang Islam itu
harus mengambil pendapat seorang
ulama
yang
paling mantap dihatinya, dan berpandangan ulama tersebut lebih
mengerti tentang agama, lebih mengerti sumber-
sumbernya, lebih
mengetahui maksudnya, tidak mengikut hawa nafsu dan
tidak
menjual dunia
dengan
keuntungan dunianya atau
dunia orang lain".
Karena itu dalam permasalahan di atas, seseorang tidak boleh mengecam ijtihad yang telah diperselisihkan oleh Imam-Imam yang membolehkan zakat dikeluarkan
dengan uang.
Umat Islam
dibolehkan bertaklid jika kemampuannya hanya sampai
disitu, yaitu tidak memiliki alat-alat ijtihad dan syarat-syaratnya. Ini karena sesuai dengan firman Allah di surah al-Baqarah ayat 286: "Allah tidak membebankan
kepada seseorang melainkan dengan
apa
yang ia mampu...".
Sheikh Al-Qardhawi dalam nasihatnya juga memetik kata-kata mashur
Imam As-Syafi’i : "Pendapatku
adalah benar dan ada kemungkinan salah. Dan
pendapat selain dari aku adalah
salah
namun ada kemungkinan benar."
Jadi zakat fitrah dalam bentuk uang adalah boleh menurut mazhab Iman Hanafi walaupun jumhur ulama
melarangnya. Yang menjadi
catatan penting
adalah jika kita ingin zakat fitrah dengan uang (mengikuti kebolehan Imam Hanafi) maka praktek zakat fitrahnya
harus
mengikuti aturan mazhab Imam Hanafi, walaupun dalam praktek ibadah lainnya
mengikuti mazhab lainnya, seperti mazhab Imam Syafi’i.
Adapun ketentuan zakat fitrah menurut Imam Hanafi
adalah bahwa zakat fitrah dikeluarkan dengan ukuran
takaran
1 sha’ = 3,8 kg bukan 2,5
kg atau 2,7 kg.
Jelas kalau kita mau membayar dengan uang, maka mestinya kita harus
memakai ukuran takaran Imam Hanafi, yaitu 3,8 kg seharga makanan pokok. Tetapi kalau kadarnya memakai 2,5 kg (memakai ukuran
Indonesia)
atau
kurang lebih 2,75 kg (menurut jumhur
ulama),
maka kalau mengacu kepada persoalan di
atas, akan masuk
ke
dalam katagori talfiq, sebab dia melakukakan intiqal al-madzhab (pindah madzhab)
dalam satu rangkaian
ibadah (qadhiyah).
Praktek seperti ini menjadi tidak
sah menurut semua madzhab.
Hanafi menyatakan tidak sah karena
ukurannya tidak
memakai 3,8 kg dan madzhab yang lain
(Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) juga menyatakan tidak sah karena pembayarannya tidak
dengan makanan pokok.
Atau juga bisa masuk tasahul, kalau niat dari seseorang itu hanya mencari
yang mudah dan ringan
saja. Bagi orang awam tidak harus mengetahui semuanya tapi cukup mengikuti salah satunya. Kalau
mau pindah ke yang lain maka ikuti aturan-aturannya. Misalnya bagi mereka yang mengikuti Hanafi, maka
pakai semua aturan dalam satu rangkaian ibadah menurut Imam Hanafi
(tidak sepotong-potong), demikian
pula
kalau menginginkan menggunakan madzhab lain.
Mustahiq Zakat Fitrah
Ketentuan pembagian zakat

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang
fakir, [2] orang-orang
miskin, [3] amil
zakat, [4] para
mu'allaf yang
dibujuk
hatinya, [5] untuk
(memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, *7+ untuk jalan Allah dan *8+ untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.” (QS. At Taubah: 60)
Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama”, ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk
delapan golongan tersebut, tidak untuk
yang lainnya.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama terkait
dengan mustahiq zakat fitrah, apakah
sama dengan mustahiq
zakat mal atau
berbeda?
Yang jelas mereka sepakat bahwa zakat fitrah didistribusikan kepada orang-orang fakir di kalangan kaum muslimin. Nabi
saw. bersabda, "Cukupilah
mereka agar
mereka tidak meminta-minta pada
hari tersebut."
Adapun mengenai golongan lainnya mereka berbeda pendapat. Imam al-Kharaqi al-hambali berpandangan bahwa zakat fitrah diberikan kepada orang-orang yang
boleh diberi zakat mal." Pendapat serupa dinyatakan oleh Ibnu Qudamah dengan alasan bahwa keduanya sama-sama berupa
zakat
sehingga ia juga tercakup dalam ayat
60 surat at-Taubah.
Sementara itu, Syeikhul Islam memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, distribusi
zakat fitrah hanya
tertuju kepada fakir miskin saja, sementara muallaf dan golongan lainnya tidak. Hal ini dengan mengacu
pada sabda Nabi di atas, "Cukupilah
mereka agar mereka
tidak
meminta-minta pada hari
tersebut."

“Zakat fithri sebagai makanan untuk orang
miskin.”
Alasan lainnya dikemukan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah :
“Nabi SAW memberi petunjuk
bahwa zakat
fitrah hanya khusus diserahkan pada orang-orang miskin
dan
beliau sama sekali
tidak
membagikannya pada 8 golongan penerima zakat satu per satu. Beliau pun tidak
memerintahkan untuk
menyerahkannya pada
8 golongan tersebut. Juga tidak ada satu orang sahabat pun yang melakukan seperti
ini,
begitu pula orang-orang setelahnya” (Zaadul Ma’ad, 2/17).
Pendapat terakhir ini yang lebih tepat, yaitu zakat fitrah hanya khusus untuk orang fakir miskin. Pengertian fakir adalah orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk
memenuhi penghidupannya.
· Imam Hanafi : Orang faqir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari satu nishob.
· Imam Maliki
:
Orang faqir adalah orang
yang
mempunyai harta, sedangkan
hartanya
tidak mencukupi untuk keperluannya selama satu tahun.
· Imam Syafi’i : Orang faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha atau mempunyai
harta kurang dari ½
(seperdua)
keperluannya dan tidak ada orang yang menanggungnya.
· Imam Hambali : Orang faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau mempunyai harta kurang dari ½ (seperdua) keperluannya.
Sedangkan miskin adalah orang yang mempunyai sedikit harta untuk
dapat menutupi kebutuhannya, akan tetapi tidak mencukupi.
· Imam Hanafi : Orang miskin adalah orang yang tidak
mempunyai sesuatu apapun.
· Imam Maliki : Orang miskin ialah orang yang tidak
mempunyai sesuatu apapun.
· Imam Syafi’i : Orang miskin
adalah
orang
yang
mempunyai
harta tetapi tidak mencukupi
kebutuhannya.
· Imam Hambali :
Orang miskin adalah orang yang mempunyai harta tetapi tidak mencukupi
kebutuhannya.
Dengan demikian
fakir dan miskin adalah golongan yang tidak mendapati sesuatu yang mencukupi
kebutuhan mereka. Adapun batasan dikatakan fakir menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah adalah orang
yang
tidak punya harta dan usaha yang dapat memenuhi kebutuhannya. Seperti kebutuhannya, misal sepuluh ribu rupiah
tiap harinya, namun ia
sama
sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut atau ia hanya dapat memenuhi kebutuhannya kurang dari separuh. Sedangkan miskin adalah orang
yang hanya dapat mencukupi separuh
atau
lebih dari separuh kebutuhannya, namun
tidak bisa memenuhi seluruhnya.
Waktu Pelaksanaan Zakat Fitrah
Waktu pembayaran zakat fitrah ada dua macam:
(1)
waktu afdhal yaitu mulai dari terbit fajar pada hari idul fitri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat id; (2) waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari
sebelum id sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar [lihat: Minhajul Muslim, 231].

“Barangsiapa
yang
menunaikan zakat fitrah sebelum
shalat maka
zakatnya
diterima
dan
barangsiapa
yang menunaikannya
setelah
shalat maka itu hanya dianggap
sebagai sedekah di antara berbagai
sedekah.” (HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no.
1827)

“Dan
Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang
yang berhak menerimanya dan
dia
mengeluarkan
zakatnya
itu sehari atau
dua hari sebelum hari Raya
'Idul Fithri.” (HR. Bukhari no. 1511)

“’Abdullah bin ‘Umar memberikan
zakat fitrah atas apa
yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari
sebelum hari raya
Idul Fitri.” (HR. Malik dalam Muwatho’nya, 1/285, no.
629)
Zakat fitrah berkaitan dengan waktu idul fitri, maka tidak semestinya diserahkan jauh hari sebelumnya. Sebagaimana pula telah dijelaskan bahwa zakat fitrah
ditunaikan untuk
memenuhi kebutuhan orang miskin agar mereka bisa bersuka ria di hari idul fitri. Jika ingin ditunaikan lebih awal, maka sebaiknya
ditunaikan dua atau
tiga
hari sebelum hari idul fitri.
WalLahu a’lam bi ash-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar