×

Kamis, 29 November 2018

Mengetahui Rijal = Setengah Ilmu Hadits, Lantas 1/2 Lagi Apa?

Sebelumnya kita sudah berusaha memahami penerimaan hadits al-rayah dan al-liwa yang mengandung lafazh "maktubun alaihi..." oleh al-'Allamah al-Muhaddits al-Musnid al-Sayyid Muhammad Abdul Hayy al-Kattani (w. 1382) dalam kitab Nizham al-Hukumah al-Nabawiyyah atau disebut dengan al-Taratib al-Idariyyah.

Kemudian kita juga mendapat informasi berharga terkait penerimaan al-Hafizh Muhammad bin Yusuf al-Syami al-Shalihi (w. 942 H) terhadap hadits tersebut dalam kitabnya, Subul al-Huda wa al-Rasyad. Kita juga sudah berusaha memahami penerimaan al-hafizh terkait hadits tersebut ketika beliau mengomentari sanadnya.

Sekarang kita akan melihat tahsin (penetapan hasan) hadits tersebut oleh pentahqiq kitab Akhlaq al-Nabi ﷺ wa Adabuhu. Kitab berdurasi 4 jilid ini disusun (tadwin al-hadits) oleh al-Hafizh Abi Muhammad Abdillah bin Muhammad bin Ja'far bin Hayyan al-Ashbahani atau dikenal dengan Imam Abu Syaikh al-Ashbahani (w. 369). Pada jilid ke-2 halaman 404-423 membahas terkait al-liwa dan al-rayah. Adapun muhaqqiq yang saya maksud adalah seorang doktor ilmu hadits yakni al-Syaikh al-Duktur Shalih Muhammad al-Wanyan.

Dalam tahqiqannya beliau mengatakan: "Setelah mengkaji sanad hadits ini, jelas bahwasannya sanad hadits ini dha'if karena ada Abbas bin Thalib yang dha'if, dan (kasimpulan) hadits ini adalag hasan dengan mutaba'ah dan syawahid". (Lihat tahqiq kitab Akhlaq al-Nabi ﷺ wa Adabuhu, hlm. 416)

Sebenarnya kalau kita lihat pada halaman 404-407 menampilkan takhrij yang cukup menarik. Menantang adrenalin para peneliti hadits. Kuncinya sabar dan perlahan. Jangan lupa diskusikan dalam daurah atau halqah hadits dengan para 'alim. Libatkan juga ilmu ushul al-fiqh.

Sekarang kita akan kenalan dengan beberapa rawi yang jadi sorotan kamera ulama:

1. Muhammad bin Abi Humaid. Rawi ini dinilai dha'if jiddan (sangat lemah) bahkan munkar. (Lihat Tahdzib al-Kamal, 25/112).

2. Ahmad bin Risydin yaitu Ahamd bin Muhammad bin al-Hajjaj bin Risydin. Imam al-Thabarani mengatakan dha'if, bahkan sebagian ulama menuduhnya berdusta. (Lihat Irsyad al-Qadhi wa al-Dani, 155; al-Lisan, 1/594).

3. Abbas bin Thalib. Berkata Abu Hatim:

ﺭﻭﻯ ﺣﺪﻳﺜﺎ ﻋﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ ﺯﺭﻳﻊ ﻓﺄﻧﻜﺮﻩ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻣﻌﻴﻦ ﻭﻭﻫﻰ اﻣﺮﻩ ﻗﻠﻴﻼ

“(Abbas) meriwayatkan hadits dari Yazid bin Zurai’, lalu diingkari oleh Yahya bin Ma’in dan beliau melemahkan keadaannya sedikit.”

Abu Zur’ah berkata: laisa bidzak (tidak kuat). (Lihat al-Jarh wa al-Ta’dil, 6/216)

Namun, Ibnu Hibban menilai tsiqah dan Ibnu Adi berkata:

اﻟﻌﺒﺎﺱ ﺑﻦ ﻃﺎﻟﺐ ﺻﺪﻭﻕ ﺑﺼﺮﻱ ﺳﻜﻦ ﻣﺼﺮ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ.

"Abbas bin Thalib seorang yang shaduq, orang Basrah tinggal di Mesir, tidak mengapa dengannya." (Ucapan beliau ini dalam biografi Zakariya bin Yahya).

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata setelah membawakan salah satu haditsnya yang diingkari oleh Ibn Ma’in dan Ahmad bin Hanbal:

ﻗﻠﺖ: ﻓﺎﻟﻈﺎﻫﺮ ﺃﻥ اﻟﻌﺒﺎﺱ ﺳﺮﻗﻪ ﺃﻳﻀﺎ..

"Saya (Ibnu Hajar) katakan: yang nampaknya Abbas ini juga yang mencuri hadits ini. (Lihat al-Lisan, 4/408)

Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar menghukumi hadits Ibnu Abbas di atas: sanadnya wahin (sangat lemah). (Fath al-Bari, 6/127)

4. Muhammad bin Abi al-Sari yaitu Muhammad bin al-Mutawaqqil al-Asqalani. Ibnu Ma’in dan al-Dzahabi menilai tsiqah. Abu Hatim berkata: layyin al-hadits (lemah haditsnya). Ibnu Adi berkata: katsir al-Ghalath (banyak kelirunya). Berkata Masalamah bin Qasim: banyak kelirunya, dan (keadaannya) tidak mengapa. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyimpulkan keadaannya: shaduq arif, memiliki banyak kekeliruan. (Lihat Tahdzib al-Kamal, 26/355; Tahdzib al-Tahdzib, 9/424)

5. Ibrahim bin al-Hajjaj al-Sami adalah. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam al-Taqrib: tsiqah, kadang keliru sedikit.

6. Hayyan bin Ubaidillah. Periwayatannya tidak bisa diterima jika berkesendirian. (Lihat al-Lisan, 3/309; al-Dhu’afa li al-Uqaili, 1/319). Namun ulama ada yang menilai tsiqah (Ibnu Hibban), shaduq (Abu Hatim), dan laisa bihi ba'sun (al-Bazar). Dengan berpijak pada penilaian tsiqah dan shaduq, sebenarnya tafarrudnya Hayyan bin Ubaidillah tidak memadharatkan hadits karena keadaannya tsiqah atau shaduq (lihat Muqaddimah Ibn Shalah). Demikian juga ikhtilath nama antara Hayyan bin Ubaidillah (حيان) dan Hibban bin Yassar (حبان) sudah dijelaskan oleh para ulama, semisal dalam Tarikh al-Kabir, Tahdzib al-kamal, al-Kamil fi al-Dhu’afa, Mizan al-I’tidal, dll.

7. Yazid bin Hayyan. Berkata Al-Bukhari: dia memiliki kekeliruan yang banyak. (Lihat Tahdzib al-Kamal, 32/113).

Jika mengetahui rijal adalah 1/2 dari ilmu hadits, lantas apa setengahnya lagi? Kalau boleh saya mengajukan nominasi salah satunya adalah i'tibar untuk menemukan mutaba'ah dan syawahid berikut keahlian menelusur jalur-jalurnya. Dengan ilmu ini, hadits yang asal sanadnya dhaif bisa menjadi hasan, dan yang asal sanadnya shahih bisa menjadi dha'if. Karena denganya adalah kunci dalam memahami mukhalafah al-tsiqat, ziyadah al-tsiqat, syadz, munkar, dan illat, baik pada sanad maupun matan.

Kerangka fiqih dan ushulnya juga dapat mengantarkan kepada kita tentang objek bahasannya.

Demikianlah beberapa tambahan dari saya masih terkait dengan maqbulnya hadits al-liwa dan al-rayah dengan lafazh "maktubun alaihi..." yang terinspirasi oleh tahqiqan kitab Akhlaq Nabi ﷺ.

Yuana Ryan Tresna

Bandung, 10 Rabi'ul Awwal 1440 H/18 Nopember 2018.

0 komentar:

Posting Komentar

 
×
Judul