Oleh: Asep Kurniawan
Pendahuluan
Memperbincangkan
persoalan pertanahan di Indonesia khususnya merupakan
isu yang seksi untuk
terus digulirkan. Pasalnya persoalan seputar pertanahan (agraria) tak jua
kunjung usai, bahkan kian hari dari rezim ke rezim berikutnya malah semakin
memburuk. Meningkatnya angka penggusuran tanah, sengketa lahan, serta sejumlah
masalah lainnya yang menyangkut pertanahan menjadi realitas yang tak dapat
dipungkiri lagi, bukan lagi menjadi rahasia umum, dan bahkan jika dibiarkan
berlarut-larut akan menjadi bom waktu yang akan meluluhlantakan negeri ini.
Realitas pengaturan pertanahan saat ini
Menyimak
pernyataan Capres petahana, Jokowidodo dalam debat Capres (17/2/2019) yang
menyebut Prabowo menguasai ratusan ribu hektar lahan dalam bentuk Hak Guna
Usaha (HGU) menjadi isu yang menarik untuk membuka kembali perbincangan
mengenai politik dan hukum pertanahan di Indonesia sekaligus membuka tabir
benang kusut penguasaan lahan produktif oleh beberapa gelintir kapitalis di
Indonesia.
HGU
sendiri sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor
5 tahun 1960 pasal 28. UUPA telah meninggalkan sejumlah permasalahan yang rumit
bagi bangsa ini termasuk dalam hal HGU. Arahnya jelas, yaitu menuju kepada
liberaslisasi kepemilikan lahan yang kian hari emakin menyulitkan dan
memberatkan rakyat. Menjadi pembantu di negeri sendiri nampaknya merupakan
ujaran yang tepat disandingkan pada rakyat di negeri ini.
Maraknya
kasus penggusuran lahan di berbagai daerah, kota maupun kabupaten, juga
merupakan realitas yang tidak dapat kita nafikan. Sekalipun dikemas manis
pemberitaannya oleh media mainstream, namun pahitnya dampak yang dirasakan
rakyat tak akan pernah hilang dan menjadi bukti yang tak terelakan lagi.
Penggusuran
terhadap lahan milik warga dilakukan dengan beragam motif mulai dari
pembangunan bandara, jalan tol, pusat-pusat perbelanjaan, dll dengan dalih
relokasi ke hunian yang lebih layak.
Terkait
dengan proyek bandara misalnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia(YLBHI)
mengeluarkan sikap keras terkait proses pengosonganlahan dan rumah terdampak
proyek bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kabupaten Kulo
Progo, DIY. Melalui keterangan tertulis, YLHI bersama 15 lembaga Bantuan Hukum
berpendapat teradi darurat pelanggaran hukum, konstitusi, dan HAM dalam proses
pengosongan lahan dan rumah warga tersebut. (https://m.detik.com)
Di
Jakarta sendiri, dalam buku yang berjudul “MASIH ADA (Laporan Pengusuran Paksa
di Wilayah Jakarta Januari-September 2018)” yang diterbitkan oleh LBH Jakarta, menurut
penelusuran LBH Jakarta, ditemukan 106 program dengan nilai anggaran
Rp53.744.465.314 yang diduga mengimplementasikan penggusuran paksa di berbagai
wilayah administrasi DKI Jakarta dengan rincian sebagai berikut:
Wilayah administrasi
|
Jumlah program
|
Anggaran (Rp)
|
Jakarta Pusat
|
13 program
|
5.962.070.304
|
Jakarta Timur
|
11 program
|
5.445.393.868
|
Jakarta Utara
|
16 program
|
7.299.401.800
|
Jakarta Selatan
|
14 program
|
9.516.957.660
|
Jakarta Barat
|
18 program
|
15.341.605.930
|
Kepulauan Seribu
|
5 program
|
639.348.222
|
Tidak diketahui
|
28 program
|
928.029.300
|
Total anggaran
|
|
53.744.465.314
|
Ilustrasi
lainnya bisa kita lihat dalam tabel berikut:
Peristiwa
|
Daerah
|
Luas Tanah
|
Korban
|
Cileunyi
|
Bandung - Jabar
|
300 ha
|
1.000 KK
|
Grati
|
Pasuruan - Jatim
|
2.000 ha
|
4.000 KK
|
Nyamil
|
Blitar - Jatim
|
8.000 ha
|
12.000 KK
|
Sunggal
|
Medan - Sumut
|
167 ha
|
200 KK
|
Tanjung Bulan
|
Sumsel
|
12.000 ha
|
100.000 KK
|
Kedung Ombo
|
Jawa Tengah
|
4 Kecamatan
|
27.000 KK
|
Pulau Bintan
|
Kepulauan Riau
|
23.000 ha
|
14.000 KK
|
SUTET/SUTT
|
Jawa, Bali, Sumatera, dll
|
Ratusan desa
|
|
Catatan: kasusu penggusuran tanah
lainnya masih berjumlah sangat banyak (sekitar 1.800 kasus yang tercatat) di
berbagai daerah dengan perkiraan
korban tidak kurang dari 3.000.000 jiwa. Motif umum penggusuran ini adalah
pengambilan hak tanah rakyat menjadi pabrik, pangkalan militer, waduk, dll.
|
Sumber:
www.geocities.com/frontnasional/kasusorba.htm
Di
samping kasus penggusuran lahan dengan dalih relokasi, konversi lahan produktif
pertanian pun tak kalah hangatnya, seolah saling bersaing untuk menjadi kasus
yang viral.
Pertumbuhan
penduduk yang pesat dan buruknya sistem penyebaran penduduk secara merata
memaksa terjadinya konversi lahan produktif menjadi wilayah pemukiman warga dan
tempat-tempat usaha.
Dalam
batas-batas tertentu, konversi lahan pertanian sulit dihindarkan karena
perubahan struktur perekonomian dan pertumbuhan penduduk yang berimplikasi pada
meningkatnya kebutuhan tanah untuk tempat tinggal, pengembangan prasarana
perhubungan, dan lahan untuk pembangunan pabrik-pabrik dan prasarana sosial
lainnya dengan laju dan pola yang tidak terkendali. Lahan-lahan pertanian
produktif dengan investasi yang mahal banyak yang beralih fungsi. Sebagai
ilustrasi, di pulau jawa saja dalam periode 1987-1992 rata-rata 23 ribu hektar
sawah beralih fungsi. Meskipun dampak positif yang timbul akibat alih
fungsi ini tak dapat dipungkiri
(penyerapan tenaga kerja, Produk Regional Bruto, penghematan devisa), akan
tetapi karena pola sebarannya tak terkendali maka sejumlah dampak negatif tidak
dapat dihindari seperti mubazirnya investasi di sektor pertanian, hilangnya
mata pencaharian petani/buruh tani, kapasitas pasokan pangan berkurang,
degradasi fungsi sawah sekitarnya, maupun tercabutnya kelembagaan penujang
sistem pertanian produktif.
Berikut tabel estimasi konversi sawah menurut beberapa
hasil penelitian dahulu
Tahun
|
Lokasi (cakupan)
|
Jenis Lahan
|
Estimasi (ha/tahun)
|
Referensi
|
1985-2000
|
Jawa Barat
|
Sawah
|
4.000
|
Delft Hydraulic (1989)
|
1981-1985
|
Jawa dan Bali
|
Sawah irigasi
|
13.400
|
BCEOM (1988)
|
|
Pulau Jawa
|
Sawah irigasi
|
20.000
|
JICA (1989)
|
1990-2000
|
Pulau Jawa
|
Sawah irigasi
|
22.500
|
Delft Hydraulic (1991)
|
|
Pulau Jawa
|
Sawah tadah hujan
|
8.200
|
Delft Hydraulic (1991)
|
Sumber: Workshop on Autonomous in Rice Held in Cipanas, West Java, 6-17
September 1991
Badan
Pusat Statistik (BPS) menyebut, luas lahan baku sawah terus menurun. Catatan
mereka pada tahun 2018, luas lahan tinggal 7,1 juta hektare, turun dibanding
tahun 2017 yang masih 7,75 juta hektare.
Angka luas lahan tersebut diperoleh
dengan metodologi Kerangka Sampel Area (KSA) menggunakan data hasil citra
satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi
Geopasial (BIG). Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan penurunan luas lahan
tersebut dipicu oleh gencarnya alih fungsi. “Pasti konversi lahan sawah juga
mempengaruhi luasan lahan baku sawah saat ini yang 7,1 juta hektare” ujarnya. (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181025153705-92-341433/bps-sebut-luas-lahan-pertanian-kian-menurun)
Akar Permasalahan
Akar
permasalahan tanah pada hakikatnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu
sistem yang rusak dan birokrasi (pejabat/petugas) yang korup.
Sistem
yang rusak merupakan konsekuensi karena diterapkannya aturan pertanahan yang
tidak bersumber pada wahyu, yakni Al-Quran dan As-Sunnah. Lahirnya
Undang-Undang Pokok Agraria sejatinya telah melahirkan permasalahan tak
berkesudahan di bidang pengaturan pertanahan. Lebih dari itu, Undang-Undang
Pokok Agraria sejatinya merupakan produk warisan penjajah Belanda yang masih
dipelihara oleh bangsa ini. Wajar jika kemudian lahir beragam masalah yang tak
kunjung usai karena memang penjajah meninggalkan produk pemikirannya untuk
menjadikan bangsa ini tetap terjajah.
Sementara
adanya pejabat/petugas yang korup dapat dibuktikan dengan banyaknya mafia yang
berkeliaran dalam berbagai kasus pertanahan. Persengketaan lahan dan bangunan
kerap terjadi akibat adanya surat kepemilikan yang ganda yang memaksanya harus
masuk ke ranah proses hukum di pengadilan perdata.
Konflik
agrasia selamanya akan terus bergulir dan tidak mustahil akan menjadi bom waktu
jika akar permasalahannya tidak segera diselesaikan, yakni karut-marutnya
sistem politik pertanahan yang diejawantahkan dalan Undang-Undang Pokok Agraria.
Solusi Islam
Islam
telah memberikan hukm yang jelas seputar pengaturan tanah/lahan. Hukum
berkaitan dengan tanah meliputi raqabah (berkaitan dengan zat atau benda) dan
manfaat (kegunaan). Islam telah memperbolehkan memiliki lahan dan kegunaannya.
Islam juga menentukan hukum bagi masing-masing kepemilikan.
Sebuah
negeri yang ditaklukan melalui peperangan, maka lahan/tanah tersebut menjadi
milik negara (baitul mal). Tanah tersebut dianggap sebagai tanah kharijiyah.
Apabila
negeri tersebut penduduknya sudah terlebih dahulu masuk islam, maka lahan
tersebut adalah milik penduduk setempat. Dan status tanah tersebut adalah
usyriyah.
Usyr
merupakan hasil tanah, yaitu pungutan yang diambil oleh negara dari pengelola
tanah sebesar 1/10 dari hail panen riil apabila tanamannya diairi dengan air
tadah hujan, dan negara mengambil 1/20 apabila tanamannya diairi dengan
pengairan teknis (buatan).
Usyr
dianggap sebagai zakat dan diserahkan ke baitul mal dan dibagikan kepada
delapan asnaf.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ
وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي
الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً
مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (TQS. At-Taubah: 60)
Sdangkan
kharaj adalah harta yang diambil negara dari pemilik tanah setempat dengan
kadar tertentu yang telah ditentukan dan dibatasi oleh negara, yang umumnya
sesuai dengan perkiraan penghasilan tanah, bukan penghasilan riilnya. Tanah
tersebut diperkirakan berdasarkan kandungannya, sehingga pemilik tanah setempat
serta baitul mal tidak terzalimi. Kharaj dipungut dari pemilik tanah, setahun
sekali, baik ditanami maupun tidak, baik subur maupun kering.
Islam
telah membagi jenis kepemilikan menjadi tiga jenis
1.
Kepemilikan individu (milkiyah fardiyah)
2.
Kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah)
3.
Kepemilikan negara (milkiyah daulah)
Berikut
beberapa contoh kepemilikan tanah berdasarkan manfaatnya (sebagai sebuah
catatan)
No
|
Uraian
|
Lokasi
|
Luas (m2)
|
Hak Milik
|
1
|
Pantai
|
|
|
Negara
|
2
|
Gurun
|
|
|
Negara
|
3
|
Tanah mati
|
|
|
Negara
|
4
|
Tanah endapan air
|
|
|
Negara
|
5
|
Lahan minyak
|
|
|
Umum
|
6
|
Hutan
|
|
|
Umum
|
7
|
Ladang batu bara, dll
|
|
|
Umum
|
8
|
Fasilitas umum
|
|
|
Umum
|
9
|
Pasar
|
|
|
Umum
|
10
|
Lahan pertanian
|
|
|
Individu/Negara
|
11
|
Lahan usaha, toko, dll
|
|
|
Individu/Negara
|
Islam
telah menetapkan sebab-sebab kepemilikan yaitu dengan sebab membeli, warisan,
hibah, menghidupkan tanah mati, memagari tanah, dan pemberian negara secara
Cuma-Cuma.
Terkait
dengan menghidupkan tanah mati, Rasulullah SAW bersabda:
من أحيا أرضا ميتة فهي له
Siapa saja yang menghidupkan tanah
mati, maka tanah itu menjadi miliknya.
(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Sedangkan
memagari tanah adalah membuat batas-batas tanah yang menunjukkan atas pembagian
tanah dan membatasinya dengan batas-batas tertentu.
Rasulullah
SA bersabda:
“Siapa saja yang membatasi tanah dengan
dinding, maka ia berhak atas tanah itu” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Sedangkan
tanah yang diberikan negara secara Cuma-Cuma adalah tanah yang sudah
dihidupkan, tapi tidak ada pemiliknya.
Kepemilikan
tanah memaksa pemiliknya untuk menggarapnya. Jika dia mengabaikannya dan
menyia-nyiakannya selama tiga tahun, maka tanah itu diambil paksa oleh negara
dan diberikan kepada orang lain. Jika tidak digarap dalam kurun waktu tiga
tahun, maka kepemilikannya menjadi batal. Rasulullah SAW bersabda:
“Sebelumnya tanah itu milik Allah dan
RasulNya, kemudian setelah itu milik kalian. Siapa saja yang menghidupkan tanah
mati, maka ia menjadi miliknya. Dan tidak ada hak bagi yang memagari (setelah
menelantarkannya) selama tiga tahun”
(HR. Baihaqi)
Selain
itu, islam juga telah melarang pemilik tanah untuk menyewakan lahannya (lahan
pertanian).
“Rasulullah SAW melarang menyewakan
tanah. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, kalau begitu kami akan menyewakannya
dengan bibit.” Beliau menjawab, “Jangan”. Bertanya (sahabat), “Kami akan
menyewakannya dengan jerami”. Beliau menjawab, “Jangan.” Bertanya (sahabat),
“Kami akan menyewakannya dengan yang ada di rabi’ yang mengalir.” Beliau
menjawab, “Jangan. Kamu tanami atau kau berikan tanah itu kepada saudaramu” (HR. An-Nasa’i)
Dalam
hadis Abu Dawud diriwayatkan:
“Bahwa dia telah menanami sebidang
tanah, lalu Rasulullah SAW melewatinya, ketika itu dia (Rafi’) sedang
mengairinya. Rasulullah bertanya kepadanya, “Milik siapa tanaman ini?” Dia
menjawab, “Tanamanku dengan benihku, kerjaku, dan (hasilnya) sebagian untukku
sedang sebagian lagi untuk si fulan.” Beliau bersabda, “Kalian berdua telah
berbuat riba. Kembalikan tanah itu pada pemiliknya dan ambilah biaya yang telah
kamu keluarkan.” (HR. Abu Dawud)
Dengan demikian, hukum pengelolaan
tanah milik individu dapat dirangkum sebagai berikut:
1.
Pemilik tanah wajib mengelola dan tidak boleh
menelantarkannya.
2.
Jika lebih dari tiga tahun ditelantarkan, maka negara
akan megambil dan menyerahkannya kepada yang mampu mengelola.
3.
Tanah harus dikelola oleh pemiliknya atau diserahkan
kepada yang lain dan dilarang disewakan.
Sedangkan untuk lahan milik umum
sebagai berikut:
1.
Dikelola negara untuk kemakmuran rakyat
2.
Negara tidak dibenarkan menjual atau menyerahkan kepada
individu tertentu.
Rasulullah
SAW bersabda:
المسلمون شركاء في ثلاث الماء والكلاء والنار وثنمنه حرم
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang
gembalaan dan api. Dan menghargakan (memperjualbelikanya) adalah haram.” (HR. Ibn Majah)
Untuk lahan milik negara adalah sebagai
berikut:
1.
Dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat.
2.
Diberikan kepada rakyat yang membutuhkan.
Studi komparatif UUPA dengan Syariah
Islam
No
|
Uraian
|
UUPA
|
Syariah
|
1
|
Status tanah
|
Tidak mengenal kharijiyah dan
usyriyah
|
Khrijiyah dan usyriyah
|
2
|
Kepemilikan tanah
|
Tidak dibedakan antara raqabah dan
manfaat
|
Dibedakan antara raqabah dan mafaat
|
3
|
Rincian kepemilikan tanah
|
a. Hak milik
b. HGU
c. Hak guna bangunan
d. Hak pakai
e. Hak sewa
f. Hak membuka tanah
g. Hak memungut hasil hutan
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam Undang-Undang
serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53
|
Kepemilikan tanah:
a. Kepemilikan individu
b. Kepemilikan umum
c. Kepemilikan negara
|
4
|
Pembatasan kepemilikan tanah
|
Diatur dengan luas maksimum
berdasakan peraturan perundangan (pasal 17)
|
Dengan kewajiban kemampuan mengelola.
Apabila ditelantarkan lebih dari tiga tahun maka hilang kepemilikannya
|
5
|
Fungsi tanah
|
Sebagai fungsi sosial (pasal 6)
|
Sesuai dengan kepemilikan lahan tanah
|
0 komentar:
Posting Komentar