×

Senin, 18 Juli 2016

BERSAHABAT DENGAN ISTRI



DOWNLOAD ARTIKELNYA DI SINI>>> BERSAHABAT DENGAN ISTRI (revisi)
 

BERSAHABAT DENGAN ISTRI

Oleh: Asep Kurniawan, S.Pd
Terwujudnya rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah serta ideologis merupakan harapan setiap pasangan suami istri yang telah menunaikan akad pernikahan sebagai suatu ikatan sakral dalam hidup.
Mewujudkan bahtera rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah serta ideologis tentu bukan perkara yang mudah, butuh perjuangan dan keseriusan dari pasutri (pasangan suami istri) untuk meraih apa yang menjadi tujuan dari pernikahan. Tak semudah membalikan telapak tangan tentunya, upaya perjuangan untuk meraihnya tentu saja tak seindah yang dibayangkan. Akan banyak rintangan yang harus dihadapi oleh pasangan suami istri sepanjang perjalanannya membina rumah tangga. Pahit manis dan asam garam kehidupan pastilah akan dicicipi oleh siapa saja yang senantiasa berupaya untuk mewujudkan tatanan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. 

Setiap rintangan yang menghalangi upaya perjuangan membangun kehidupan rumah tangga yang ideal dan ideologis tentu saja tidak akan dapat dilewati dengan baik manakala tidak ada kerjasama yang kompak diantara pasangan suami istri tersebut. Kerjasama di dalam rumah tangga tentu saja mutlak dibutuhkan dalam rangka membangun soliditas untuk meraih kemuliaan dalam kehidupan berumah tangga.

Bersahabat dengan istri

kehidupan suami istri merupakan jalinan kehidupan persahabatan antara suami dengan istri, bukan jalinan kehidupan antara majikan dan budak, atasan dan bawahan, pesuruh dan yang disuruh. Persahabatan antara suami istri di dalam mahligai kehidupan berumah tangga memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Melalui pola persahabatan, maka suami istri akan saling memahami hak dan kewajiban satu sama lain, saling membantu dan tolong menolong diantara keduanya dalam kebaikan, saling menasehati dalam kebaikan dan kebenaran, saling mendorong dan memotivasi dalam ketaatan kepada Allah dan rasulNya, dan saling meringankan beban,"berat sama dipikul ringan sama dijinjing".

Allah Swt berfirman:

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (TQS. At-Taubah [9]: 71)

Secara garis besar, persahabatan suami istri dapat terealisasi dalam bebrapa hal berikut.

Pertama, Merumuskan dan menetapkan tujuan dalam pernikahan. Pernikahan haruslah dilandasi dengan keimanan dan mengharap ridho Allah Swt, dalam artian bahwa pernikahan yang dilakukan adalah dalam rangka melaksanakan salah satu syariah yang telah Allah dan rasulNya tetapkan, bukan dalam rangka sekedar memenuhi gharizatul jinsi (naluri seksual). 

Allah Swt berfirman:

Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. (TQS. Ar-Ra'du [13]: 38)
Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (nikahilah) seorang saja. (TQS. an-Nisa [4]: 3)

Anas bin Malik radhiyallahul 'anhu berkata: Tiga orang sahabat datang ke rumah istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakan tentang ibadah Rasulullah. Setelah mereka diberi tahu, mereka menganggap ibadah Rasulullah sedikit, mereka mengatakan: Akan tetapi mana posisi kita dibandingkan dengan Rasulullah? Beliau telah diampuni dosanya yang terdahulu dan yang akan datang.
Seorang dari mereka berkata: Kalau aku akan salat malam selamanya.
Yang lainnya berkata: Kalau aku akan puasa seumur hidup dan tidak akan berbuka.
Dan yang lainnya lagi berkata: Kalau aku akan meninggalkan wanita dan tidak akan menikah selamanya.
Kemudian Rasulullah mendatangi mereka dan bersabda:

«أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي» [صحيح البخاري ومسلم]

"Kaliankah yang mengatakan ini dan itu? Adapun aku demi Allah, sesungguhnya aku adalah yang paling takut kepada Allah dari kalian dan yang paling bertaqwa kepada-Nya, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, salat malam dan tidur, dan aku menikahi wanita, maka barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku maka ia bukan dari golonganku". [HR. Bukhari dan Muslim]

Suami istri tentu harus menetapkan tujuan dan langkah-langkah apa yang akan dilakukan agar rumah tangganya dapat menjadi rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Kesepahaman pun mutlak harus diwujudkan dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Apakah rumah tangga akan dibentuk menjadi rumah tangga yang ideologis ataukah sekuler? keluarga yang taat ataukah maksiat? keluarga yang rindu akhirat ataukah cinta dunia?

Tentu saja hal-hal semacan ini perlu ditetapkan sejak awal pernikahan serta merumuskan langkah-langkahnya secara komprehensif. Perlu diingat bahwa membangun mahligai rumah tangga adalah perkara yang mulia, penuh perjuangan dan bukan seperti permainan anak-anak. Oleh sebab itu, kita juga harus mempersiapkan diri bahkan harus direncanakan dengan matang sejak sebelum mencari jodoh.

Kedua, terwujudnya kerjasama dalam menata rumah tangga. Suami istri semestinya dapat menjalin kerjasama dalam menata kehidupan rumah tangga. Pembagian peran di dalam rumah adalah salah satu perwujudan kerjasama yang solid antara anggota keluarga. Jangan dibayangkan bahwa ketaatan seorang istri itu dimaknai seperti mengabdinya seorang budak kepada tuannya. Tentu pemikiran seperti itu adalah pemikiran yang keliru. Suami istri harus saling meringankan beban pekerjaan di dalam rumah tangga.

Allah Swt berfirman:

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (TQS. At-Taubah [9]: 71)

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya: “Apakah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam rumah?” Ia radhiyallahu ‘anha menjawab: “Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang manusia biasa. Beliau menambal pakaian sendiri, memerah susu dan melayani diri beliau sendiri.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Ketika istri kita sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan pekerjaan di dalam rumah, sementara anak-anak pada rewel, sedangkan kita sedang ada di rumah, maka suatu kedzaliman manakala kita kita membiarkan isrti kita kerepotan, sementara kita saanatai ngobrol dengan tetangga, menikmati secangkir kopi, atau hanya sekedar menonton tayangan favorit kita. Sungguh perkara yang ma'ruf (baik) saat kita menghulurkan tangan membantu meringankan beban istri kita. Tentu dengan melakukan hal-hal yang sanggup kita lakukan, apakah dengan mengajak anak bermain agar tidak mengganggu istri kita, ataukah dengan sekedar mencuci baju atau cuci piring, misalnya. hal itu bukan sebuah kehinaan yang dapat menurukan derajat suami dihadapan istri, justru sebaliknya hal itu akan menambah kemuliaan kita di sisi Allah Swt.

Ketiga, Kompak dalam ketaatan dan saling menasehati. Terkadang seorang suami/ istri enggan untuk dinasehati oleh pasangannya ketika melakukan kesalahan. Hal itu menunjukkan sikap egoisme yang tidak layak dimiliki oleh seorang muslim.

Rasulullah saw bersabda:

"Kalian tidak dikatakan beriman sehingga hawa nafsunya tunduk pada yang aku bawa (aturan islam)" (HR. Muslim)

Nasihat apapun yang diberikan oleh pasangan hidup kita dalam rangka mengingatkan kita untuk tetap ada dalam koridor syariah merupakan suatu sikap mulia. Maka tidak layak kemudian kita malah menghardiknya. Semestinya kita bersyukur karena pasangan hidup kita senantiasa mengingatkan kita manakala kita keluar dari rel syariah, manakala kita lalai dalam mentaati Allah dan RasulNya.

Begitulah semestinya seorang muslim, saling menasehati dalam kebaikan, saling memotivasi dalam ketaatan dan dakwah, bekerjasama untuk saling meringankan beban.

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (TQS. At-Taubah [9]: 71)

Selain itu, bagi keluarga yang menghendaki terwujudnya rumah tangga yang ideologis, maka dakwah merupakan poros hidup bagi mereka. Dakwah akan mereka jadikan kebutuhan hidup mereka di atas kebutuhan yang lainnya. Mereka meyakini bahwa Allah lah yang akan menjamin rezeki, Allah lah yang akan memenuhi kebutuhan hidupnya dan akan menolongnya manakala mereka bersama-sama dalam bekerjasama menolong Agama Allah.

Allah Swt berfirman:

"Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". (TQS. Muhammad [47]: 7)
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (TQS. at-Thalaq [65]: 2-3)

Keempat, Saling menyayangi dan memberi perhatian. Saling menyayangi dan memberi perhatian dalam kehidupan suami istri akan menghasilkan ketenangan (tenang dalam menjalankan berbagai ketaatan kepada Allah), ketentraman (tentram untuk tidak bermaksiat) dan kebahagiaan pada pasangan kita dan itu merupakan salah satu hikmah dari pernikahan.

Allah Swt berfirman:

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir". (TQS. Ar-Ruum [30]: 21)

Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur". (TQS. al-A'raf [7]: 189)

Saat kita tidak dapat memberikan ketentraman pada pasangan kita, sebaliknya malah cekcok dan pertikaian yang mewarnai rumah tangga setiap hari tanpa ada yang mau mengalah, artinya kita telah gagal dalam membina rumah tangga. Perselisihan dan perbedaan pendapat pasti akan ada dalam rumah tangga. Tetapi sikap yang baik adalah bagaimana cara kita menyikapi hal itu dengan tenang, tanpa emosi, bahkan terkadang diam adalah jawaban terbaik jika maslah itu tidak penting untuk diperdebatkan dengan pasangan hidup kita. Khalifah Umar r.a. pernah dimarahi oleh istrinya, tetapi beliau hanya diam tanpa membalas sepatah katapun. Saat ditanya oleh seorang laki-laki mengapa Umar diam. Umar bin Khattab RA kemudian tersenyum. Dia pun mengisahkan kepada lelaki itu mengapa Umar yang keras begitu sabar menghadapi istrinya. “Wahai, saudaraku, aku tetap sabar menghadapi perbuatannya karena itu memang kewajibanku.” 
Alih-alih menghardik istrinya, Umar malah menceritakan betapa besar jasa istrinya dalam kehidupannya di dunia. “Bagaimana aku bisa marah kepada istriku karena dialah yang mencuci bajuku, dialah yang memasak roti dan makananku, ia juga yang mengasuh anak-anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya,” jawabnya

Umar bin Khattab RA kemudian menasihati lelaki itu untuk bersikap sabar kepada istrinya karena istrinyalah yang membuat dia tenteram di sampingnya. “Karena istriku, aku merasa tenteram (untuk tidak berbuat dosa). Maka, aku harus mampu menahan diri terhadap perangainya.”
Memberikan perhatian kepada pasangan kita adalah perkara yang sangat mulia di sisi Allah. Rasulullah saw sudah terbiasa membahagiakan dan memberi perhatian kepada istri-istri Beliau.
Dari 'Irbadh bin Sariyah radhiyallahul 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

" إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا سَقَى امْرَأَتَهُ مِنَ الْمَاءِ أُجِرَ " [مسند أحمد: حسن]

"Sesungguhnya seorang suami jika memberi minum istrinya seteguk air akan diberi pahala"
'Irbadh berkata: Maka aku datangi istriku lalu aku beri minum kemudian aku sampaikan padanya apa yang aku dengar dari Rasulullah. [HR. Ahmad]

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي [سنن الترمذي: صحيح]

"Yang terbaik dari kalian adalah yang paling baik kepada istrinya, dan aku adalah yang paling baik dari kalian kepada istrinya". [HR. Tirmidzi]

Kelima, menyiapkan pembantu untuk membantu pekerjaan istri. Sudah dimaklumi bahwa pekerjaan istri di dalam rumah bukanlah perkara yang enteng, dari bangun tidur hingga menjelang tidur mulai dari mencuci, memasak, mengurus anak, mengepel lantai, menyetrika, serta seabrek pekerjaan lainnya di samping kewajibannya untuk berdakwah. 

Dalam pandangan hukum syara', seorang suami harus membantu meringankan pekerjaan istrinya baik bisa dengan cara mempekerjakan pembantu. Jika seorang suami belum mampu mempekerjakan pembantu, maka seorang suami harus membantu memudahkan urusan pekerjaan istrinya di rumah.

Perlu jadi catatan bagi kita bahwa istri kita bukanlah seorang pembantu yang bisa seenaknya kita pekerjakan layaknya sapi perahan. Istri kita adalah sahabat sejati kita sebagai partner untuk bersama-sama menggapai ridho Allah Swt.

Itulah secuil tulisan tentang bershabat dengan istri. Semoga dapat menjadi motivasi bagi kita untuk saling menghargai, mencintai, dan menyayangi pasangan hidup kita.
Saat Istri Kita Nusyuz
Mahligai rumah tangga yang kita bina dan kita idam-idamkan tidak selamanya akan berjalan mulus dan harmonis tanpa hambatan. Ada saat ketika rumah tangga yang kita nahkodai mesti mendapat sandungan batu karang, terjangan ombak badai yang tidak pernah terpikir oleh kita sebelumnya. Akan ada batu kerikil dan onak berduri yang menghambat perjalanan rumah tangga kita supaya kita lebih hati-hati dan lebih waspada dalam menjalani kehidupa rumah tangga. Namun itulah serba serbi dan lika liku kehidupan berumah tangga. ada kalanya masalah muncul dari istri kita, ada kalanya pula muncul dari kita sebagai suami, atau dari anak-anak kita, bahkan sangat memungkinkan dari pihak luar yang ingin mengusik keharmonisan rumah tangga kita.
Salah satu dari sekiaan banyak permasalahan yang akan dihadapi dalam permasalah rumah tangga adalah saat ketika istri-istri kita melakukan nusyuz (pelanggaran terhadap perintah suami). Namun sayangnya, karena keterbatasan ilmu dan tsaqofah keislaman, kerap kali seorang suami mengeneralisir permasalahan nusyuz tanpa ada batasan-batasan yang jelas yang sebenarnya telah dijelaskan di dalam nash-nash syar'i. Pada akhirnya seorang suami --dengan alasan hukum nusyuz-- menghukum istrinya dengan semena-mena, melarang istrinya melakukan berbagai kewajiban yang telah Allah dan rasulNya tetapkan seperti menuntut ilmu dan berdakwah.
Nampaknya tidak berlebihan apabila dalam tulisan ini, kita coba dudukan kembali permasalah seputar nusyuz supaya tidak keluar dari koridor syariah karena memang Allah lah yang telah menetapkan hukum nusyuz serta batasan-batasannya. Maka tidak layak akal manusia yang sangat terbatas untuk mengotak-atik hukum Allah tersebut.
Allah Swt berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (TQS.Al Ahzab [59]: 36).
Nusyuz merupakan bentuk pelanggaran seorang istri terhadap perntah dan larangan suami secara mutlak. Ketika seorang istri melakukan pelanggaran syariah, misalnya tidak mau sholat, tidak mau shaum di bulan ramadhan, enggan menutup aurat saat ada tamu yang bukam mahram, bertabarruj, dll., maka seorang suami berkewajiban untuk memerintahkan istrinya agar melaksanakan kewajiban tersebut dan meninggalkan keharaman. Apabila nasehat dan perintah suami tersebut sama sekali tidak diindahkan, maka berarti istri tersebut telah melakukan perbuatan nusyuz. apabila seorang istri telah nusyuz, maka seorang suami memiliki hak untuk menjatuhkan sanksi atas istrinya yang melakukan nusyuz tersebut. Seorang suami juga tidak wajib untuk memberikan nafkah kepada istrinya tersebut. Namun, jika istrinya sudah tidak lagi melakukan nusyuz, artinya dia telah kembali dan bertobat, maka seorang suami tidak lagi berhak menjatuhkan sanksi atas istrinya dan kembali wajib untuk memberikan nafkah pada saat yang sama.
Dalam permasalahan nusyuz ini, ketika syariah Islam telah menetapkan kepada suami hak secara umum untuk memrintahkan istrinya melakukan suatu perbuatan atau melarangnya, maka perlu kita pahami juga bahwa syariah Islam telah mentakhsis (mengkhususkan/mengecualikan) beberapa hal dari keumuman hak yang telah ditetapkan sebelumnya.
Syariah islam telah membolehkan seorang istri untuk melakukan bisnis, mengajar, bersilaturahmi, belajar (menuntut ilmu), pergi ke mesjid, berbelanja, menghadiri kajian keislaman, serta seminar-seminar.
Dengan adanya batasan-batasan berupa pentakhsisan terhadap keumuman tersebut, maka sebenarnya wilayah nusyuz dapat kita pahami dengan pengertian bahwa nusyuz itu sebagai pelanggaran seorang istri terhadap perintah dan larangan suami di dalam kehidupan khusus dan kehidupan suami istri.
Dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan umum dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan khusus, maka tidak berlaku hukum nusyuz. Misalnya ketika suami memerintahkan istrinya untuk mengikuti seminar, membayar zakat, berjihad, bergabung dengan organisasi dakwah, atau melarang isterinya mengunjungi orangtuanya, bersilaturahmi kepada kerabatnya, bekerja, berdagang, datang ke mesjid, mengadiri kajian keislaman, dan sebagainya, maka seorang isteri tidak wajib mentaati perintah suaminya dalam hal-hal tersebut, walaupun tetap harus meminta izin dari suaminya, misalnya saat akan pergi mengaji. Tapi perlu dipahami bahwa izin tersebut tidak bersifat mengikat. Dengan demikian ketika istri tidak mentaati perintah dan larangan suami tersebut yang terkategori di dalam kehidupan umum, maka tidak dapat disebut sebagai perbuatan nusyuz.
Malah sebaliknya, apabila seorang suami melarang istrinya untuk menuntut ilmu, berdakwah serta kewajiban-kewajiban lainnya, maka suami telah bermaksiat dan berdosa karena telah menghalangi seseorang untuk menunaikan kewajiban yang telah diperintahkan oleh hukum syara'.
Berbeda halnya dalam kehidupan khusus, misalnya ketika istri menemui tamu yang bukan mahrom dengan tidak menutup aurat, kerja lembur dengan bercampur baur pada satu tempat dengan laki-laki yang bukan mahrom, sementara suaminya telah melarangnya tetapi tidak diindahkan oleh istri, maka istri tersebut telah melakukan perbuatan nusyuz.
Saat istri kita nusyuz, maka syariah telah memerintahkan suami untuk memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan nash-nash syar'i.
Allah Swt berfirman:
وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً
Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyûz-nya, maka nasihatilah mereka, tinggalkanlah  mereka di tempat tidurnya, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak membekas). Jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari alasan untuk menghukum mereka. (TQS an-Nisa' [4]: 34).
Dari ayat tersebut di atas, kita dapat memahami terkait tahapan-tahapan pemberian sanksi terhadap istri yang melakukan nusyuz.
1.       Menasehati dan memberinya peringatan untuk tidak lagi mengulangi perbuatan tersebut.
2.       Meninggalkannya di tempat tidur apabila nasehat dan peringatan suami tidak ditaati.
3.       Jika masih tetap melakukan nusyuz setelah dua poin sanksi di atas diberikan, maka sanksi terakhir adalah dengan memukulnya dengan pukulan yang tidak membekas (menciderai).
Semua tahapan sanksi yang telah Allah tetapkan tersebut merupakan upaya solusi sistematis agar istri kembali mentaati suaminya.
Seorang suami yang menyelesaikan permasalah nusyuz dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan di atas, misalnya dengan menceraikan istrinya tanpa melalui tahapan yang telah ditetapkan oleh Allah, jelas hal itu merupakan penyelesaian yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum syara', sekalipun cerai hukumnya mubah.

Sahabat sejati saling memotivasi & menasehati
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (TQS. At-Taubah [9]: 71)
Keteladanan dalam berumah tangga telah nyata diperintahkan oleh Allah Swt serta dipraktekan langsung oleh baginda kita habibana Muhammad saw., di tengah tugas beliau yang mulia dan tidak mudah yakni sebagai seorang Nabi dan Rasul, kepala negara, sampai menjadi kepala keluarga.
Tetapi Baginda Nabi saw telah berhasil menjalankan kesemua tugas tersebut sehingga pantas menjadi suri tauladan bagi segenap umat manusia.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (TQS. Al-Ahzab [59]: 21)
Rasulullah saw telah memberikan uswah bahwa dalam kehidupan berumah tangga harus terjalin upaya saling memotivasi dan menasehati antara suami dan istri. Suami istri semestinya saling memotivasi untuk dapat menunaikan hak-hak Allah, menjalankan segala kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, menyempurnakan kewajiban dengan amalan-amalan nafilah (Tahajud, shaum sunnah, dll).
Suami istri sangat tahu betul dengan sabda baginda Nabi saw dalam hadits Qudsi:
وَمَاتَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
“Dan tiada bertaqarrub (mendekat) kepada-Ku seorang hamba dengan sesuatu yang lebih Ku sukai dari pada menjalankan kewajibannya   (Shahih Bukhari Juz XI, hal. 299, 297 )
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمَ فِيْماَ يَرْوِيْهِ  عَنْ رَبِّهِ عَزَّوَجَلَّ قَالَ: إِذَا تَقَرَّبَ الْعَبْدُ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا،  وَ إِذاَ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا مِنْهُ باَعًا، وَ اِذَا أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
“Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta; jika ia mendekati-Ku sehasta, aku akan mendekatinya sedepa; jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan mendekatinya dengan berlari”  (Shahih Bukhari XI/199, lihat Fauzie Sanqarith & Muhammad Al Khaththath, Taqarrub Ilallah, hal IX)
»وَمَايَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذاَ أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِيْ َلأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي َلأُعِيْذَنَّهُ
“Tiada henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah nafilah sehinggga Aku mencintanya. Kalau Aku sudah mencitainya, maka aku akan menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya dan Aku akan menjadi penglihatannya yang ia melihat dengannya; dan Aku akan menjadi tangannya yang ia pergunakan; dan Aku akan menjadi kakinya yang ia berjalan dengannya. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya akan Kuberi apa yang ia minta; dan jika ia memohon perlindungan pada-Ku niscaya Aku lindingi” 
(lihat Fathul Baari, Syarah Shahih Bukhari, XI/341-345, lihat Fauzie Sanqarith & Muahammad Al Khaththath, Taqarrub Ilallah, hal V dan X)
Ketika dakwah telah termutajasad di dalam diri, ketika dakwah sudah diikrarkan menjadi poros hidup, maka suami istri akan senantiasa memotivasi untuk terus meningkatkan amal dakwah demi tegaknya hak-hak Allah di muka bumi, saling menasehati manakala suami atau istri mengalami futur dalam menunaikan kewajiban-kewajiban Allah. Sungguh malu rasanya jika mengaku sebagai pengemban dakwah dan keluarga ideologis tetapi tidak ada amaliah dakwah dalam kehidupannya.
Rasulullah telah menjelaskan tentang posisi nasehat.
عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْم الدَّارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ   وَسَلَّمَ قَالَ : الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ . قُلْنَا لِمَنْ ؟ قَالَ : لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ
)رواه البخاري ومسلم(
Dari Abu Ruqoyyah Tamiim bin Aus Ad-Daari rodhiyallohu’anhu, sesungguhnya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ”Agama itu adalah nasihat”. Kami (sahabat) bertanya: ”Untuk siapa?” Beliau bersabda: ”Untuk Alloh, kitab-Nya, rosul-Nya, pemimpin-pemimpin umat islam, dan untuk seluruh muslimin.” (HR.Bukhari dan Muslim)
Itulah persahabatan dengan istri, suatu persahabat sejati yang akan membawa rumah tangga menuju ridha Allah Swt.
Itulah secuil tulisan tentang bershabat dengan istri. Semoga dapat menjadi motivasi bagi kita untuk saling menghargai, mencintai, dan menyayangi pasangan hidup kita.
Hasbunallah wani'mal wakiil ni'mal maula wani'man nashiir
 
DOWNLOAD ARTIKELNYA DI SINI>>> BERSAHABAT DENGAN ISTRI (revisi)


0 komentar:

Posting Komentar

 
×
Judul