DOWNLOAD ARTIKELNYA DI SINI>>> BERSAHABAT DENGAN ISTRI (revisi)
BERSAHABAT DENGAN
ISTRI
Oleh: Asep Kurniawan, S.Pd
Terwujudnya rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah serta ideologis merupakan
harapan setiap pasangan suami istri yang telah menunaikan akad pernikahan
sebagai suatu ikatan sakral dalam hidup.
Mewujudkan bahtera rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah serta
ideologis tentu bukan perkara yang mudah, butuh perjuangan dan keseriusan dari
pasutri (pasangan suami istri) untuk meraih apa yang menjadi tujuan dari
pernikahan. Tak semudah membalikan telapak tangan tentunya, upaya perjuangan untuk
meraihnya tentu saja tak seindah yang dibayangkan. Akan banyak rintangan yang
harus dihadapi oleh pasangan suami istri sepanjang perjalanannya membina rumah
tangga. Pahit manis dan asam garam kehidupan pastilah akan dicicipi oleh siapa
saja yang senantiasa berupaya untuk mewujudkan tatanan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Setiap rintangan yang menghalangi upaya perjuangan membangun kehidupan
rumah tangga yang ideal dan ideologis tentu saja tidak akan dapat dilewati
dengan baik manakala tidak ada kerjasama yang kompak diantara pasangan suami
istri tersebut. Kerjasama di dalam rumah tangga tentu saja mutlak dibutuhkan
dalam rangka membangun soliditas untuk meraih kemuliaan dalam kehidupan berumah
tangga.
Bersahabat dengan istri

Melalui pola persahabatan, maka suami istri akan saling memahami hak dan
kewajiban satu sama lain, saling membantu dan tolong menolong diantara keduanya
dalam kebaikan, saling menasehati dalam kebaikan dan kebenaran, saling
mendorong dan memotivasi dalam ketaatan kepada Allah dan rasulNya, dan saling
meringankan beban,"berat sama dipikul ringan sama dijinjing".
Allah Swt berfirman:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (TQS.
At-Taubah [9]: 71)
Secara garis besar, persahabatan suami istri dapat terealisasi dalam
bebrapa hal berikut.
Pertama, Merumuskan dan menetapkan tujuan dalam pernikahan.
Pernikahan haruslah dilandasi dengan keimanan dan mengharap ridho Allah Swt,
dalam artian bahwa pernikahan yang dilakukan adalah dalam rangka melaksanakan
salah satu syariah yang telah Allah dan rasulNya tetapkan, bukan dalam rangka
sekedar memenuhi gharizatul jinsi (naluri seksual).
Allah Swt berfirman:
Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus beberapa
Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan
keturunan. (TQS. Ar-Ra'du
[13]: 38)
Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(nikahilah) seorang saja. (TQS. an-Nisa [4]: 3)
Anas bin Malik radhiyallahul 'anhu berkata: Tiga orang sahabat datang ke rumah
istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakan tentang ibadah
Rasulullah. Setelah mereka diberi tahu, mereka menganggap ibadah Rasulullah sedikit,
mereka mengatakan: Akan tetapi mana posisi kita dibandingkan dengan Rasulullah?
Beliau telah diampuni dosanya yang terdahulu dan
yang akan datang.
Seorang dari mereka berkata: Kalau aku akan salat malam
selamanya.
Yang lainnya berkata: Kalau aku akan puasa seumur hidup dan
tidak akan berbuka.
Dan yang lainnya lagi berkata: Kalau aku akan meninggalkan
wanita dan tidak akan menikah selamanya.
Kemudian Rasulullah mendatangi mereka dan bersabda:
«أَنْتُمُ
الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ
وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ،
وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي» [صحيح البخاري
ومسلم]
"Kaliankah yang mengatakan
ini dan itu? Adapun aku demi Allah, sesungguhnya aku adalah yang paling takut
kepada Allah dari kalian dan yang paling bertaqwa kepada-Nya, akan tetapi aku
berpuasa dan berbuka, salat malam dan tidur, dan aku menikahi wanita, maka
barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku maka ia bukan dari
golonganku". [HR. Bukhari dan Muslim]
Suami istri tentu harus menetapkan tujuan dan
langkah-langkah apa yang akan dilakukan agar rumah tangganya dapat menjadi
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Kesepahaman pun mutlak harus
diwujudkan dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Apakah rumah tangga akan
dibentuk menjadi rumah tangga yang ideologis ataukah sekuler? keluarga yang
taat ataukah maksiat? keluarga yang rindu akhirat ataukah cinta dunia?
Tentu saja hal-hal semacan ini perlu ditetapkan sejak
awal pernikahan serta merumuskan langkah-langkahnya secara komprehensif. Perlu
diingat bahwa membangun mahligai rumah tangga adalah perkara yang mulia, penuh
perjuangan dan bukan seperti permainan anak-anak. Oleh sebab itu, kita juga
harus mempersiapkan diri bahkan harus direncanakan dengan matang sejak sebelum
mencari jodoh.
Kedua, terwujudnya kerjasama dalam menata rumah tangga. Suami istri semestinya
dapat menjalin kerjasama dalam menata kehidupan rumah tangga. Pembagian peran
di dalam rumah adalah salah satu perwujudan kerjasama yang solid antara anggota
keluarga. Jangan dibayangkan bahwa ketaatan seorang istri itu dimaknai seperti
mengabdinya seorang budak kepada tuannya. Tentu pemikiran seperti itu adalah
pemikiran yang keliru. Suami istri harus saling meringankan beban pekerjaan di
dalam rumah tangga.
Allah Swt berfirman:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (TQS.
At-Taubah [9]: 71)
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya: “Apakah yang dilakukan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam rumah?” Ia
radhiyallahu ‘anha menjawab: “Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
seorang manusia biasa. Beliau menambal pakaian sendiri, memerah susu dan
melayani diri beliau sendiri.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Ketika istri kita sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan pekerjaan di dalam
rumah, sementara anak-anak pada rewel, sedangkan kita sedang ada di rumah, maka
suatu kedzaliman manakala kita kita membiarkan isrti kita kerepotan, sementara
kita saanatai ngobrol dengan tetangga, menikmati secangkir kopi, atau hanya
sekedar menonton tayangan favorit kita. Sungguh perkara yang ma'ruf (baik) saat
kita menghulurkan tangan membantu meringankan beban istri kita. Tentu dengan
melakukan hal-hal yang sanggup kita lakukan, apakah dengan mengajak anak
bermain agar tidak mengganggu istri kita, ataukah dengan sekedar mencuci baju
atau cuci piring, misalnya. hal itu bukan sebuah kehinaan yang dapat menurukan
derajat suami dihadapan istri, justru sebaliknya hal itu akan menambah
kemuliaan kita di sisi Allah Swt.
Ketiga, Kompak dalam ketaatan dan saling menasehati.
Terkadang seorang suami/ istri enggan untuk dinasehati oleh pasangannya ketika
melakukan kesalahan. Hal itu menunjukkan sikap egoisme yang tidak layak
dimiliki oleh seorang muslim.
Rasulullah saw bersabda:
"Kalian tidak dikatakan beriman sehingga hawa
nafsunya tunduk pada yang aku bawa (aturan islam)" (HR. Muslim)
Nasihat apapun yang diberikan oleh pasangan hidup kita dalam rangka
mengingatkan kita untuk tetap ada dalam koridor syariah merupakan suatu sikap
mulia. Maka tidak layak kemudian kita malah menghardiknya. Semestinya kita
bersyukur karena pasangan hidup kita senantiasa mengingatkan kita manakala kita
keluar dari rel syariah, manakala kita lalai dalam mentaati Allah dan RasulNya.
Begitulah semestinya seorang muslim, saling menasehati dalam kebaikan,
saling memotivasi dalam ketaatan dan dakwah, bekerjasama untuk saling meringankan
beban.
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (TQS.
At-Taubah [9]: 71)
Selain itu, bagi keluarga yang menghendaki terwujudnya rumah tangga yang
ideologis, maka dakwah merupakan poros hidup bagi mereka. Dakwah akan mereka
jadikan kebutuhan hidup mereka di atas kebutuhan yang lainnya. Mereka meyakini
bahwa Allah lah yang akan menjamin rezeki, Allah lah yang akan memenuhi
kebutuhan hidupnya dan akan menolongnya manakala mereka bersama-sama dalam bekerjasama
menolong Agama Allah.
Allah Swt berfirman:
"Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong
(agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". (TQS. Muhammad [47]: 7)
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya
dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang
tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan
yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi
tiap-tiap sesuatu."
(TQS. at-Thalaq [65]: 2-3)
Keempat, Saling menyayangi dan memberi perhatian. Saling
menyayangi dan memberi perhatian dalam kehidupan suami istri akan menghasilkan
ketenangan (tenang dalam menjalankan berbagai ketaatan kepada Allah),
ketentraman (tentram untuk tidak bermaksiat) dan kebahagiaan pada pasangan kita
dan itu merupakan salah satu hikmah dari pernikahan.
Allah Swt berfirman:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir". (TQS. Ar-Ruum [30]: 21)
Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu
dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.
Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan
teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat,
keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata:
"Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami
terraasuk orang-orang yang bersyukur". (TQS. al-A'raf [7]: 189)
Saat kita tidak dapat memberikan ketentraman pada pasangan kita, sebaliknya
malah cekcok dan pertikaian yang mewarnai rumah tangga setiap hari tanpa ada
yang mau mengalah, artinya kita telah gagal dalam membina rumah tangga. Perselisihan
dan perbedaan pendapat pasti akan ada dalam rumah tangga. Tetapi sikap yang
baik adalah bagaimana cara kita menyikapi hal itu dengan tenang, tanpa emosi,
bahkan terkadang diam adalah jawaban terbaik jika maslah itu tidak penting
untuk diperdebatkan dengan pasangan hidup kita. Khalifah Umar r.a. pernah
dimarahi oleh istrinya, tetapi beliau hanya diam tanpa membalas sepatah
katapun. Saat ditanya oleh seorang laki-laki mengapa Umar diam. Umar bin Khattab RA kemudian tersenyum. Dia pun mengisahkan kepada lelaki
itu mengapa Umar yang keras
begitu sabar menghadapi istrinya. “Wahai, saudaraku, aku tetap sabar menghadapi
perbuatannya karena itu memang kewajibanku.”
Alih-alih menghardik istrinya, Umar malah menceritakan betapa besar jasa
istrinya dalam kehidupannya di dunia. “Bagaimana aku bisa marah kepada istriku
karena dialah yang mencuci bajuku, dialah yang memasak roti dan makananku, ia
juga yang mengasuh anak-anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya,” jawabnya.
Umar bin Khattab RA
kemudian menasihati lelaki itu untuk bersikap sabar kepada istrinya karena
istrinyalah yang membuat dia tenteram di sampingnya. “Karena istriku, aku
merasa tenteram (untuk tidak berbuat dosa). Maka, aku harus mampu menahan diri
terhadap perangainya.”
Memberikan perhatian kepada pasangan kita adalah perkara
yang sangat mulia di sisi Allah. Rasulullah saw sudah terbiasa membahagiakan
dan memberi perhatian kepada istri-istri Beliau.
Dari 'Irbadh bin Sariyah radhiyallahul
'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا سَقَى امْرَأَتَهُ مِنَ الْمَاءِ أُجِرَ " [مسند أحمد:
حسن]
"Sesungguhnya seorang suami
jika memberi minum istrinya seteguk air akan diberi pahala"
'Irbadh
berkata: Maka aku datangi istriku lalu aku beri minum kemudian aku sampaikan
padanya apa yang aku dengar dari Rasulullah. [HR. Ahmad]
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha; Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ
وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي [سنن الترمذي: صحيح]
"Yang terbaik dari kalian
adalah yang paling baik kepada istrinya, dan aku adalah yang paling baik dari
kalian kepada istrinya". [HR. Tirmidzi]
Kelima, menyiapkan pembantu
untuk membantu pekerjaan istri. Sudah dimaklumi bahwa pekerjaan istri di dalam
rumah bukanlah perkara yang enteng, dari bangun tidur hingga menjelang tidur mulai
dari mencuci, memasak, mengurus anak, mengepel lantai, menyetrika, serta
seabrek pekerjaan lainnya di samping kewajibannya untuk berdakwah.
Dalam pandangan hukum syara', seorang suami harus membantu
meringankan pekerjaan istrinya baik bisa dengan cara mempekerjakan pembantu.
Jika seorang suami belum mampu mempekerjakan pembantu, maka seorang suami harus
membantu memudahkan urusan pekerjaan istrinya di rumah.
Perlu jadi catatan bagi kita bahwa istri kita bukanlah
seorang pembantu yang bisa seenaknya kita pekerjakan layaknya sapi perahan.
Istri kita adalah sahabat sejati kita sebagai partner untuk bersama-sama
menggapai ridho Allah Swt.
Itulah secuil tulisan tentang bershabat dengan istri.
Semoga dapat menjadi motivasi bagi kita untuk saling menghargai, mencintai, dan
menyayangi pasangan hidup kita.
Saat Istri Kita Nusyuz
Mahligai rumah tangga yang kita bina dan kita
idam-idamkan tidak selamanya akan berjalan mulus dan harmonis tanpa hambatan.
Ada saat ketika rumah tangga yang kita nahkodai mesti mendapat sandungan batu
karang, terjangan ombak badai yang tidak pernah terpikir oleh kita sebelumnya.
Akan ada batu kerikil dan onak berduri yang menghambat perjalanan rumah tangga
kita supaya kita lebih hati-hati dan lebih waspada dalam menjalani kehidupa
rumah tangga. Namun itulah serba serbi dan lika liku kehidupan berumah tangga.
ada kalanya masalah muncul dari istri kita, ada kalanya pula muncul dari kita
sebagai suami, atau dari anak-anak kita, bahkan sangat memungkinkan dari pihak
luar yang ingin mengusik keharmonisan rumah tangga kita.
Salah satu dari sekiaan banyak permasalahan yang akan
dihadapi dalam permasalah rumah tangga adalah saat ketika istri-istri kita
melakukan nusyuz (pelanggaran terhadap perintah suami). Namun sayangnya, karena
keterbatasan ilmu dan tsaqofah keislaman, kerap kali seorang suami
mengeneralisir permasalahan nusyuz tanpa ada batasan-batasan yang jelas yang
sebenarnya telah dijelaskan di dalam nash-nash syar'i. Pada akhirnya seorang
suami --dengan alasan hukum nusyuz-- menghukum istrinya dengan semena-mena,
melarang istrinya melakukan berbagai kewajiban yang telah Allah dan rasulNya
tetapkan seperti menuntut ilmu dan berdakwah.
Nampaknya tidak berlebihan apabila dalam tulisan ini,
kita coba dudukan kembali permasalah seputar nusyuz supaya tidak keluar dari
koridor syariah karena memang Allah lah yang telah menetapkan hukum nusyuz
serta batasan-batasannya. Maka tidak layak akal manusia yang sangat terbatas
untuk mengotak-atik hukum Allah tersebut.
Allah Swt berfirman:
وَمَا كَانَ
لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ
لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلاَلاً مُّبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan RasulNya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata”.
(TQS.Al Ahzab [59]: 36).
Nusyuz merupakan bentuk pelanggaran seorang istri
terhadap perntah dan larangan suami secara mutlak. Ketika seorang istri
melakukan pelanggaran syariah, misalnya tidak mau sholat, tidak mau shaum di
bulan ramadhan, enggan menutup aurat saat ada tamu yang bukam mahram,
bertabarruj, dll., maka seorang suami berkewajiban untuk memerintahkan istrinya
agar melaksanakan kewajiban tersebut dan meninggalkan keharaman. Apabila
nasehat dan perintah suami tersebut sama sekali tidak diindahkan, maka berarti
istri tersebut telah melakukan perbuatan nusyuz. apabila seorang istri telah
nusyuz, maka seorang suami memiliki hak untuk menjatuhkan sanksi atas istrinya
yang melakukan nusyuz tersebut. Seorang suami juga tidak wajib untuk memberikan
nafkah kepada istrinya tersebut. Namun, jika istrinya sudah tidak lagi
melakukan nusyuz, artinya dia telah kembali dan bertobat, maka seorang suami
tidak lagi berhak menjatuhkan sanksi atas istrinya dan kembali wajib untuk
memberikan nafkah pada saat yang sama.
Dalam permasalahan nusyuz ini, ketika syariah Islam
telah menetapkan kepada suami hak secara umum untuk memrintahkan istrinya
melakukan suatu perbuatan atau melarangnya, maka perlu kita pahami juga bahwa
syariah Islam telah mentakhsis (mengkhususkan/mengecualikan) beberapa hal dari
keumuman hak yang telah ditetapkan sebelumnya.
Syariah islam telah membolehkan seorang istri untuk
melakukan bisnis, mengajar, bersilaturahmi, belajar (menuntut ilmu), pergi ke
mesjid, berbelanja, menghadiri kajian keislaman, serta seminar-seminar.
Dengan adanya batasan-batasan berupa pentakhsisan
terhadap keumuman tersebut, maka sebenarnya wilayah nusyuz dapat kita pahami
dengan pengertian bahwa nusyuz itu sebagai pelanggaran seorang istri terhadap
perintah dan larangan suami di dalam kehidupan khusus dan kehidupan suami
istri.
Dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan umum dan
tidak ada hubungannya dengan kehidupan khusus, maka tidak berlaku hukum nusyuz.
Misalnya ketika suami memerintahkan istrinya untuk mengikuti seminar, membayar
zakat, berjihad, bergabung dengan organisasi dakwah, atau melarang isterinya
mengunjungi orangtuanya, bersilaturahmi kepada kerabatnya, bekerja, berdagang,
datang ke mesjid, mengadiri kajian keislaman, dan sebagainya, maka seorang
isteri tidak wajib mentaati perintah suaminya dalam hal-hal tersebut, walaupun
tetap harus meminta izin dari suaminya, misalnya saat akan pergi mengaji. Tapi
perlu dipahami bahwa izin tersebut tidak bersifat mengikat. Dengan demikian
ketika istri tidak mentaati perintah dan larangan suami tersebut yang
terkategori di dalam kehidupan umum, maka tidak dapat disebut sebagai perbuatan
nusyuz.
Malah sebaliknya, apabila seorang suami melarang
istrinya untuk menuntut ilmu, berdakwah serta kewajiban-kewajiban lainnya, maka
suami telah bermaksiat dan berdosa karena telah menghalangi seseorang untuk
menunaikan kewajiban yang telah diperintahkan oleh hukum syara'.
Berbeda halnya dalam kehidupan khusus, misalnya ketika
istri menemui tamu yang bukan mahrom dengan tidak menutup aurat, kerja lembur
dengan bercampur baur pada satu tempat dengan laki-laki yang bukan mahrom,
sementara suaminya telah melarangnya tetapi tidak diindahkan oleh istri, maka
istri tersebut telah melakukan perbuatan nusyuz.
Saat istri kita nusyuz, maka syariah telah memerintahkan
suami untuk memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan nash-nash syar'i.
Allah Swt berfirman:
وَاللاَّتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً
Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyûz-nya, maka nasihatilah mereka,
tinggalkanlah mereka di tempat tidurnya,
dan pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak membekas). Jika mereka menaati
kalian maka janganlah kalian mencari-cari alasan untuk menghukum mereka. (TQS
an-Nisa' [4]: 34).
Dari ayat tersebut di atas, kita dapat memahami
terkait tahapan-tahapan pemberian sanksi terhadap istri yang melakukan nusyuz.
1.
Menasehati dan memberinya peringatan untuk tidak lagi mengulangi perbuatan
tersebut.
2.
Meninggalkannya di tempat tidur apabila nasehat dan peringatan suami tidak
ditaati.
3.
Jika masih tetap melakukan nusyuz setelah dua poin sanksi di atas
diberikan, maka sanksi terakhir adalah dengan memukulnya dengan pukulan yang
tidak membekas (menciderai).
Semua tahapan sanksi yang telah Allah tetapkan
tersebut merupakan upaya solusi sistematis agar istri kembali mentaati
suaminya.
Seorang suami yang menyelesaikan permasalah nusyuz
dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan di atas, misalnya dengan
menceraikan istrinya tanpa melalui tahapan yang telah ditetapkan oleh Allah,
jelas hal itu merupakan penyelesaian yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum
syara', sekalipun cerai hukumnya mubah.
Sahabat sejati saling memotivasi & menasehati
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ
يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ
الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ
أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ
إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (TQS.
At-Taubah [9]: 71)
Keteladanan dalam berumah tangga
telah nyata diperintahkan oleh Allah Swt serta dipraktekan langsung oleh
baginda kita habibana Muhammad saw., di tengah tugas beliau yang mulia dan
tidak mudah yakni sebagai seorang Nabi dan Rasul, kepala negara, sampai menjadi
kepala keluarga.
Tetapi Baginda Nabi saw telah berhasil menjalankan
kesemua tugas tersebut sehingga pantas menjadi suri tauladan bagi segenap umat
manusia.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (TQS. Al-Ahzab [59]: 21)
Rasulullah saw telah memberikan
uswah bahwa dalam kehidupan berumah tangga harus terjalin upaya saling
memotivasi dan menasehati antara suami dan istri. Suami istri semestinya saling memotivasi untuk dapat menunaikan hak-hak
Allah, menjalankan segala kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah dan
RasulNya, menyempurnakan kewajiban dengan amalan-amalan nafilah (Tahajud, shaum
sunnah, dll).
Suami istri sangat tahu betul dengan sabda baginda
Nabi saw dalam hadits Qudsi:
وَمَاتَقَرَّبَ
إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
“Dan tiada bertaqarrub (mendekat) kepada-Ku seorang
hamba dengan sesuatu yang lebih Ku sukai dari pada menjalankan kewajibannya ” (Shahih
Bukhari Juz XI, hal. 299, 297 )
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمَ فِيْماَ يَرْوِيْهِ
عَنْ رَبِّهِ عَزَّوَجَلَّ قَالَ: إِذَا تَقَرَّبَ الْعَبْدُ
إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَ إِذاَ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا مِنْهُ باَعًا، وَ اِذَا
أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
“Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku
akan mendekatinya sehasta; jika ia mendekati-Ku sehasta, aku akan mendekatinya
sedepa; jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan mendekatinya dengan
berlari” (Shahih Bukhari XI/199, lihat Fauzie Sanqarith &
Muhammad Al Khaththath, Taqarrub Ilallah, hal IX)
»وَمَايَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ
حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذاَ أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ
الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِيْ َلأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي
َلأُعِيْذَنَّهُ
“Tiada henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan dirinya
kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah nafilah sehinggga Aku mencintanya.
Kalau Aku sudah mencitainya, maka aku akan menjadi pendengarannya yang ia
mendengar dengannya dan Aku akan menjadi penglihatannya yang ia melihat
dengannya; dan Aku akan menjadi tangannya yang ia pergunakan; dan Aku akan
menjadi kakinya yang ia berjalan dengannya. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya
akan Kuberi apa yang ia minta; dan jika ia memohon perlindungan pada-Ku niscaya
Aku lindingi”
(lihat Fathul Baari, Syarah Shahih Bukhari,
XI/341-345, lihat Fauzie Sanqarith & Muahammad Al Khaththath, Taqarrub
Ilallah, hal V dan X)
Ketika dakwah telah termutajasad di dalam diri, ketika
dakwah sudah diikrarkan menjadi poros hidup, maka suami istri akan senantiasa
memotivasi untuk terus meningkatkan amal dakwah demi tegaknya hak-hak Allah di
muka bumi, saling menasehati manakala suami atau istri mengalami futur dalam
menunaikan kewajiban-kewajiban Allah. Sungguh malu rasanya jika mengaku sebagai
pengemban dakwah dan keluarga ideologis tetapi tidak ada amaliah dakwah dalam
kehidupannya.
Rasulullah telah menjelaskan tentang posisi nasehat.
عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْم الدَّارِي رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الدِّيْنُ
النَّصِيْحَةُ . قُلْنَا لِمَنْ ؟ قَالَ : لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ
وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ
)رواه
البخاري ومسلم(
Dari Abu Ruqoyyah Tamiim bin Aus
Ad-Daari rodhiyallohu’anhu, sesungguhnya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam
pernah bersabda: ”Agama itu adalah nasihat”. Kami (sahabat) bertanya:
”Untuk siapa?” Beliau bersabda: ”Untuk Alloh, kitab-Nya, rosul-Nya,
pemimpin-pemimpin umat islam, dan untuk seluruh muslimin.” (HR.Bukhari dan
Muslim)
Itulah persahabatan dengan istri, suatu persahabat
sejati yang akan membawa rumah tangga menuju ridha Allah Swt.
Itulah secuil tulisan tentang
bershabat dengan istri. Semoga dapat menjadi motivasi bagi kita untuk saling
menghargai, mencintai, dan menyayangi pasangan hidup kita.
Hasbunallah wani'mal
wakiil ni'mal maula wani'man nashiir
DOWNLOAD ARTIKELNYA DI SINI>>> BERSAHABAT DENGAN ISTRI (revisi)
0 komentar:
Posting Komentar