×

Sabtu, 30 Juli 2016

Hanya Islam yang mampu menjamin kesejahteraan Guru (Solusi atas polemik Resonansi Finansial)




Hanya Islam yang mampu menjamin kesejahteraan Guru
(Solusi atas polemik Resonansi Finansial)

Oleh: Asep Kurniawan, S.Pd*

Saat ini di media--terutama media sosial-- ramai diberitakan akan diberlakukannya resonansi finansial sebagai terobosan baru dari Mendikbud baru, Prof Muhajir Effendy pasca reshufle kabinet yang dilakukan oleh presiden Jokowi, yang awalnya Kemendikbud dinahkodai oleh Anis Baswedan.

Menurut penjelasan dari beberapa sumber (walaupun perlu dicek kembali akurasi datanya) bahwa digulirkannya kebijakan resonansi finansial adalah dalam rangka menggantikan program sertifikasi guru. Salah satu visi Muhajir adalah meniadakan program Sertifikasi bagi guru baik PNS maupun bukan PNS dikarenakan dianggap membuang-buang uang negara saja. Pelatihan guru yang memakan banyak biaya dan tidak sinkron dengan hasil yang diharapkan rencananya dihapus mulai bulan Agustus tahun 2016 ini. Ke depan guru tidak perlu pelatihan ataupun sertifikasi lagi, karena sudah diganti dengan program baru yang disebut RESONANSI FINANCIAL. Siapapun yang berstatus guru akan langsung diberikan tunjangan cukup dengan melampirkan tanda bukti atau surat keterangan bahwasanya ia benar-benar seorang guru maka tanpa melewati proses pelatihan ini dan itu seperti sertifikasi ataupun UKG guru tersebut namun langsung mendapatkan tunjangan profesi secara otomatis dan berkala. (http://www.wavienews.com/2016/07/kemendikbud-program-sertifikasi-akan-dihapuskan-dan-diganti-dgn-resonansi-financial.html)

Terlepas dari status informasi yang kini tengah beredar, apakah terkategori 'hoax' ataukah bukan, namun informasi tersebut setidaknya telah mengundang pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, khususnya di kalangan civitas akademis. Tentu  saja banyak yang menyetujui dengan rencana digulirkannya program resonansi finansial karena setidaknya bagi guru-guru yang selama ini belum mendapatkan tunjangan profesi seolah mendapat angin segar untuk kesejahteraan mereka. Meskipun kita tidak tahu kedepannya apakah program tersebut benar-benar akan berjalan dengan baik atau malah sebaliknya, menjadi bumerang di dalam dunia pendidikan terutama terkait dengan anggaran pendidikan. 

Berhubung masih simpang-siurnya informasi terkait resonansi finansial ini, maka penulis belum berani untuk membahas lebih jauh apalagi sampai pada tahap analisis, berhubung belum ada data yang valid yang dapat dipertanggung jawabkan secara kelimuan.

Dalam tulisan ini, penulis ingin mencoba memberikan gambaran bagaimana sebenarnya islam dalam hal ini Khilafah telah mampu memberikan kesejahteraan kepada para pendidik sampai pada tingkat yang belum pernah terjadi dalam peradaban manapun.

Dalam rentang waktu kurang lebih 13 Abad, Khilafah islam telah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap dunia pendidikan, karena melalui pendidikanlah akan lahir generasi-generasi terbaik umat yang akan mengabdi untuk kemaslahatan umat. Di dalam wahyu pertama yang diturunkan kepada Baginda Nabi saw., Allah Swt telah meletakkan dasar-dasar pendidikan melaluui pola perubahan pemikiran dengan memerintahkan manusia untuk membaca, baik ayat-ayat Qouliyah maupun Kauniyah.
Allah Swt berfirman dalam surat al-'Alaq ayat 1-5:
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (TQS. al-'Alaq [96]: 1-5)

Dari wahyu pertama inilah Allah Swt mengajarkan manusia untuk membangun peradaban yang agung dan mulia yang akan melebihi peradaban manapun, bahkan kemajuan peradaban islam jauh melebihi zamannya.
Islam telah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemajuan dan perkembangan dunia pendidikan. KeKhilafahan islam telah mendorong para ulama untuk terus berkarya melalui ijtihad untuk menghasilkan karya-karya terbaik yang bermafaat untuk kemaslahatan umat. Setiap karya yang dihasilkan berupa kitab-kitab baik itu khazanah fiqih, kedokteran, sains, dll, dihargai dengan mahal oleh Khilafah yaitu dengan dihargai oleh emas murni seberat kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama saat itu. Tentu saja ini merupakan sebuah penghargaan yang besar dari negara terhadap karya-karya orang-orang yang memiliki ilmu. Sehingga wajar jika di masa keKhilafahan, banyak kaum muslimin dengan berbagai disiplin ilmunya terus berlomba menghasilkan karya, karena disamping sebagai bentuk ibadah dan mengembangkan peradaban islam, kemakmuran mereka pun terjamin oleh perhatian dan penghargaan dari negara yang begitu luar biasa.
Dalam literatur sejarah kita akan mengenal para ulama islam yang telah berhasil mengubah dunia melalui karya-karyanya. Misalnya Al-batani sebagai ahli astronomi dan matematikawan dari arab. Beliau telah menetapkan hitungan tahun masehi sebagai 365 hari 5 jam 46 menit  245 detik.
Berikutnya adalah Al-Farabi. Beliau adalah ulama yang telah menghasilkan berbagai karya dalam bidang ilmu pengetahuan alam, matematika, ilmu politik dan kenegaraan, dll.
Kemudian Ibnu Sina, dengan karyanya yang terkenal yaitu Qanun fii thib (Canon of Medicine) yang hingga saat ini masih dijadikan rujukan utama di dunia medis di seluruh dunia.

Serta masih banyak lagi ulama yang sekaligus sebagai ilmuwan islam terkenal yang telah menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan peradaban manusia.

Selain itu, Islam juga sangat memberikan perhatian yang sangat tinggi terhadap pada pengajar dengan memberikan upah yang sangat layak atas ilmunya. Sebagai gambaran, di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, setiap guru mendapat gaji yang luar biasa besar yaitu sekitar 15 dinar/ bulan. Jika pada tahun 2011 harga 1 dinar setara dengan 2.258.000, itu artinya 15 dinar x Rp. 2.258.000 = 33.870.000/bulan (http://fkip.uad.ac.id/khalifah-umar-menggaji-guru-33-juta-per-bulan). Subhanallah, suatu nilai gaji yang fantastis tanpa harus memikirkan lagi soal tunjangan profesi dll, apalagi kalau sampai harus berpolemik soal sertifikasi vs resonansi finansial.
Satu hal yang harus kita pahami, bahwa kesejahteraan tersebut akan benar-benar riil terwujud manakala ada dalam naungan khilafah. #yuk tegakkan khilafah sesuai metode nabi
Mungkin akan ada pertanyaan berikutnya. Bagaimana mungkin khilafah, apalagi duku di masa Umar bin Khattab bisa menggaji guru sebesar itu?

begini jawaban sederhananya.

Dalam mengelola sebuah negara, maka tidak bisa hanya bertunpu pada satu sektor saja, misalnya hanya pada sektor pendidikan saja. Seluruh sektor baik itu sektor ekonomi (yang di dalamnya termsuk pengelolaan sumber daya alam), pendidikan, kesehatan, politik, keamanan dalam mdan luar negeri, kesemua itu harus berjalan satu padu.

Dalam sistem Pemerintahan islam alias Khilafah, sumber daya alam wajib dikelola mandiri oleh negara dan haram pengelolaanya diserahkan kepada swasta apalagi kepada pihak asing. Hasil pengelolaan tersebut akan digunakan untuk kesejahteraan umat termasuk dalam sektor pendidikan. Apalagi di Indonesia yang dikatakan sebagai jamrud katulistiwa, segala serba ada, minerba, hutan, dan kekayaan alam lainnya tersedia dengan melimpah ruah. Semestinya dengan kekayaan yang luar bisa tersebut negara mampu mensejahterakan para guru seperti halnya di masa Umar bin Khattab. Selain dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya hayati, khilafah juga akan memiliki anggaran yang berasal dari kharaj, fa'i, dll., tanpa harus membebani rakyat dengan pajak yang terus memalak.

Berhubung selama ini pengelolaan kekayaan alam diserahkan kepada pihak swasta dan asing ya beginilah jadinya, 70% lebih APBN harus mengandalkan pajak dari rakyat, sementara ekonomi rakyat semakin sulit, jadi bagaimana mungkin kesejahteraan dapat benar-benar terwujud?

Islam telah memberikan aturan yang sangat sempurna, diantaranya dengan mengharamkan adanya penguasaan pengelolaan sumber daya alam oleh pihak swasta maupun asing. Rasulullah saw bersabda:

« اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»

Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api.

Pengarang kitab “Aunul Ma’bûd” berkata: “Saya mengikuti Nabi saw berperang sebanyak tiga kali, yakni tiga kali peperangan.”
Dalam air“: Maksudnya adalah air yang tidak terjadi dari pencarian dan usaha seseorang, seperti air saluran pribadi, dan air sumur, serta belum dimasukkan dalam wadah, kolam atau selokan yang airnya dari sungai.
Padang rumput“: Maksudnya adalah semua tumbuhan atau tanaman yang basah maupun yang kering.
Al-Khathabi berkata: Arti kata al-kalâ’ (padang rumput) adalah tumbuhan atau tanaman yang tumbuh di tanah mati atau tanah tak bertuan yang dipelihara masyarakat, dimana tidak ada seorang pun yang memilikinya atau memagarinya. Adapun al-kalâ’ (padang rumput), jika ia berada di tanah yang ada pemiliknya, maka ia adalah miliknya, sehingga tidak seorang pun yang ikut memilikinya, kecuali dengan izin darinya.
Dan dalam Api“. Maksud dari berserikat dalam api adalah, bahwa ia tidak dilarang menyalakan lampu darinya, dan membuat penerangan dengan cahayanya, namuan orang yang menyalakannya dilarang untuk mengambil bara api dirinya, sebab menguranginya akan menyebabkan pada padamnya api.
Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan api adalah batu yang mengeluarkan api (batu api) dimana tidak dilarang mengambil sesuatu darinya jika ia berada pada tanah mati. Al-Allamah Imam al-Syaukani dalam “Nailul Authâr” berkata: Ketahuilah bahwa hadits-hadits dalam masalah ini mencakup semuanya, sehingga menunjukan bahwa persekutuan dalam ketiga perkara itu bersifat mutlak (umum). Karenanya, tidak ada sesuatu darinya yang dikecualikan, kecuali dengan dalil yang mengkhususkan dari keumumannya, dan bukan dengan dalil yang justru lebih umum darinya, misalnya hadits yang menetapkan bahwa tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya. Karena ia lebih umum, maka tidak layak berhujjah dengannya setelah tetapnya harta dan tetapnya ketiga perkara itu sebagai tempatnya konflik.
Sungguh, masalah kepemilikan merupakan masalah penting dalam kehidupan manusia, sebab ia bagian dari kebutuhan hidup. Manusia tidak dapat memenuhi setiap kebutuhan jasmanisnya atau nalurinya tanpa memiliki sarana pemuasnya. Sehingga manusia berusaha untuk mendapatkan semua yang dibutuhkan dan diperlukannya. Semua inilah yang membuat manusia bersaing untuk menguasai harta, dan bahkan mereka berjuang mati-matian demi menguasainya dan memperbanyak kepemilikannya. Oleh karena itu, asy-Syâri’ (pembuat hukum) datang dengan membawa hukum (ketentuan) yang mengatur penguasaan manusia terhadap harta, serta mencegah perselisihan dan setiap masalah yang mungkin terjadi sebagai akibat dari berebut untuk memilikinya.
Islam telah membuat kepemilikan menjadi tiga kategori, yang merupakan konsekuensi dari kebutuhan seseorang manusia sebagai individu dan masyarakat, yaitu: kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardhiyah), kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah), dan kepemilikan negara (milkiyah ad-daulah).
Dalam hadits ini, Rasulullah saw mengenalkan kepada kami salah satu dari jenis-jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah). Sementara arti dari kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah) atas sesuatu adalah, bahwa semua manusia berserikat dalam kepemilikan sesuatu ini, sehingga masing-masing dari mereka memiliki hak untuk memanfaatkannya, sebab sesuatu itu tidak dikhususkan untuk dimiliki individu tertentu, dan mencegah orang lain untuk memanfaatkannya.
Sedangkan sesuatu yang oleh syara’ dijadikan sebagai kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah), seperti yang terdapat dalam hadits tersebut adalah: air, padang rumput dan api.
Dan yang membuat sesuatu tersebut sebagai kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah), dan mencegah individu tertentu untuk memilikinya, tidak lain adalah karena semua manusia sangat membutuhkannya. Sehingga ia merupakan fasilitas publik yang sangat dibutuhkan oleh komunitas selamanya. Bahkan sebuah komunitas akan tercerai-berai untuk mencarinya jika sesuatu itu sangat sedikit atau habis. Dalam hal ini, Somalia merupakan contoh nyata masalah ini, dimana orang-orang meninggalkan desa dan kota-kota mereka, akibat paceklik, kekurangan air dan padang rumput, sehingga mereka bercerai-berai di dalam negeri untuk mencari fasilitas vital ini. Bahkan untuk mendapatkan sesuatu itu, mereka rela menghadapi penderitaan demi penderitaan.
Dan asy-Syâri’ (pembuat hukum) telah mewakilkan tugas penggunaan dan pengaturan kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah) ini kepada negara, sehingga semua manusia memungkinkan untuk memanfaatkannya dan mencegah individu-individu tertentu dari mengontrol dan menguasainya. Semua itu untuk melindungi hak-hak rakyat, menjaga stabilitas masyarakat Muslim, serta untuk menjamin ketenangan semua individu rakyat. (Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 8/7/2012)
Kesimpulannya bahwa guru mendapatkan gaji sebesar 15 dinar/bulan sebagaimana di masa Khalifah Umar bin Khattab itu sangatlah mungkin jika berada dalan naungan khilafah. Jauh api dari panggang manakala harapan kesejahteraan bagi para guru itu kita sandarkan kepada sistem kapitalisme demokrasi, yang ada hanyalah ilusi.
Dalam dunia pendidikan saat ini, permasalahan yang dihadapi oleh civitas akademik sunguh sangat komplek, mulai dari kesejahteraan, sarana dan media belajar, kualifikasi dan kualitas tenaga pengajar, hingga masalah korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh dunia pendidikan.
Jadi di samping memberikan kesejahteraan kepada para guru, khilafah juga memfasilitasi sarana dan prasarananya dengan baik, menyiapkan para pengajar yang cakap dan berkualitas serta memiliki keimanan dan ketakwaan yang luar biasa sehingga akan membekas dengan baik kepada para peserta didiknya. Beda halnya dengan saat ini, pada guru yang berkualitas banyak yang tercoreng oleh oknum guru-guru yang tidak berkualitas dan tidak bertanggung jawab, misalnya bolos pada saat jam mengajar, lalai dalam memberikan ilmu kepada siswa, dll.
Lahirnya perpustakaan terbesar di dunia pada masa kekhilafahan bani abasiyah di bagdad, islam menjadi pusat pendidikan dunia kala itu, berkembangnya pendidikan dengan pesat, menunjukkan bahwa perhatian islam terhadap pendidikan bukanlah omong kosong belaka. bahkan bukti-bukti sisa peradaban islam dapat kita saksikan hingga saat ini. Adakah kita rindu untuk terwujudnya kembali masa keemasan dan kejayaan seperti dulu, ketika kehidupan kita dinaungi oleh ridho Allah Swt.?

Hasbunallah wa ni'mal wakiil ni'mal maula wa ni'man nashiir.

*CP. 0878 2107 2021

0 komentar:

Posting Komentar

 
×
Judul