DOWNLOAD ARTIKELNYA DI SINI >>Hanya Islam yang mampu menjamin kesejahteraan Guru (Solusi atas polemik Resonansi Finansial)
Hanya Islam yang mampu menjamin kesejahteraan Guru
(Solusi atas polemik Resonansi Finansial)
Oleh: Asep
Kurniawan, S.Pd*
Saat ini di media--terutama media sosial-- ramai diberitakan akan
diberlakukannya resonansi finansial sebagai terobosan baru dari Mendikbud baru,
Prof Muhajir Effendy pasca
reshufle kabinet yang dilakukan oleh presiden Jokowi, yang awalnya Kemendikbud
dinahkodai oleh Anis Baswedan.
Menurut penjelasan dari
beberapa sumber (walaupun perlu dicek kembali akurasi datanya) bahwa
digulirkannya kebijakan resonansi finansial adalah dalam rangka menggantikan
program sertifikasi guru. Salah satu visi Muhajir adalah meniadakan program
Sertifikasi bagi guru baik PNS maupun bukan PNS dikarenakan dianggap
membuang-buang uang negara saja. Pelatihan guru yang memakan banyak biaya dan
tidak sinkron dengan hasil yang diharapkan rencananya dihapus mulai bulan
Agustus tahun 2016 ini. Ke depan guru tidak perlu pelatihan ataupun sertifikasi
lagi, karena sudah diganti dengan program baru yang disebut RESONANSI
FINANCIAL. Siapapun yang berstatus guru akan langsung diberikan tunjangan cukup
dengan melampirkan tanda bukti atau surat keterangan bahwasanya ia benar-benar
seorang guru maka tanpa melewati proses pelatihan ini dan itu seperti
sertifikasi ataupun UKG guru tersebut namun langsung mendapatkan tunjangan profesi
secara otomatis dan berkala. (http://www.wavienews.com/2016/07/kemendikbud-program-sertifikasi-akan-dihapuskan-dan-diganti-dgn-resonansi-financial.html)

Berhubung masih simpang-siurnya informasi terkait resonansi finansial ini,
maka penulis belum berani untuk membahas lebih jauh apalagi sampai pada tahap
analisis, berhubung belum ada data yang valid yang dapat dipertanggung jawabkan
secara kelimuan.
Dalam tulisan ini, penulis ingin mencoba memberikan gambaran bagaimana
sebenarnya islam dalam hal ini Khilafah telah mampu memberikan kesejahteraan
kepada para pendidik sampai pada tingkat yang belum pernah terjadi dalam
peradaban manapun.
Dalam rentang waktu kurang lebih 13 Abad, Khilafah islam telah memberikan
perhatian yang sangat serius terhadap dunia pendidikan, karena melalui pendidikanlah
akan lahir generasi-generasi terbaik umat yang akan mengabdi untuk kemaslahatan
umat. Di dalam wahyu pertama yang diturunkan kepada Baginda Nabi saw., Allah
Swt telah meletakkan dasar-dasar pendidikan melaluui pola perubahan pemikiran
dengan memerintahkan manusia untuk membaca, baik ayat-ayat Qouliyah maupun
Kauniyah.
Allah Swt
berfirman dalam surat al-'Alaq ayat 1-5:
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (TQS. al-'Alaq [96]: 1-5)
Dari wahyu pertama inilah Allah Swt mengajarkan manusia untuk membangun
peradaban yang agung dan mulia yang akan melebihi peradaban manapun, bahkan
kemajuan peradaban islam jauh melebihi zamannya.
Islam telah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemajuan dan
perkembangan dunia pendidikan. KeKhilafahan islam telah mendorong para ulama
untuk terus berkarya melalui ijtihad untuk menghasilkan karya-karya terbaik
yang bermafaat untuk kemaslahatan umat. Setiap karya yang dihasilkan berupa
kitab-kitab baik itu khazanah fiqih, kedokteran, sains, dll, dihargai dengan
mahal oleh Khilafah yaitu dengan dihargai oleh emas murni seberat kitab-kitab
yang ditulis oleh para ulama saat itu. Tentu saja ini merupakan sebuah
penghargaan yang besar dari negara terhadap karya-karya orang-orang yang
memiliki ilmu. Sehingga wajar jika di masa keKhilafahan, banyak kaum muslimin
dengan berbagai disiplin ilmunya terus berlomba menghasilkan karya, karena
disamping sebagai bentuk ibadah dan mengembangkan peradaban islam, kemakmuran
mereka pun terjamin oleh perhatian dan penghargaan dari negara yang begitu luar
biasa.
Dalam literatur sejarah kita akan mengenal para ulama islam yang telah
berhasil mengubah dunia melalui karya-karyanya. Misalnya Al-batani sebagai ahli
astronomi dan matematikawan dari arab. Beliau telah menetapkan hitungan tahun
masehi sebagai 365 hari 5 jam 46 menit
245 detik.
Berikutnya adalah Al-Farabi. Beliau adalah ulama yang telah menghasilkan
berbagai karya dalam bidang ilmu pengetahuan alam, matematika, ilmu politik dan
kenegaraan, dll.
Kemudian Ibnu Sina, dengan karyanya yang terkenal yaitu Qanun fii thib
(Canon of Medicine) yang hingga saat ini masih dijadikan rujukan utama di dunia
medis di seluruh dunia.
Serta masih banyak lagi ulama yang sekaligus sebagai ilmuwan islam terkenal
yang telah menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan peradaban manusia.
Selain itu, Islam juga sangat memberikan perhatian yang sangat tinggi
terhadap pada pengajar dengan memberikan upah yang sangat layak atas ilmunya.
Sebagai gambaran, di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, setiap guru
mendapat gaji yang luar biasa besar yaitu sekitar 15 dinar/ bulan. Jika pada
tahun 2011 harga 1 dinar setara dengan 2.258.000, itu artinya 15 dinar x Rp.
2.258.000 = 33.870.000/bulan (http://fkip.uad.ac.id/khalifah-umar-menggaji-guru-33-juta-per-bulan).
Subhanallah, suatu nilai gaji yang fantastis tanpa harus memikirkan lagi soal
tunjangan profesi dll, apalagi kalau sampai harus berpolemik soal sertifikasi
vs resonansi finansial.
Satu hal yang harus kita pahami, bahwa kesejahteraan tersebut akan
benar-benar riil terwujud manakala ada dalam naungan khilafah. #yuk tegakkan
khilafah sesuai metode nabi
Mungkin akan ada pertanyaan berikutnya. Bagaimana mungkin khilafah, apalagi
duku di masa Umar bin Khattab bisa menggaji guru sebesar itu?
begini jawaban sederhananya.
Dalam mengelola sebuah negara, maka tidak bisa hanya bertunpu pada satu
sektor saja, misalnya hanya pada sektor pendidikan saja. Seluruh sektor baik
itu sektor ekonomi (yang di dalamnya termsuk pengelolaan sumber daya alam),
pendidikan, kesehatan, politik, keamanan dalam mdan luar negeri, kesemua itu
harus berjalan satu padu.
Dalam sistem Pemerintahan islam alias Khilafah, sumber daya alam wajib
dikelola mandiri oleh negara dan haram pengelolaanya diserahkan kepada swasta
apalagi kepada pihak asing. Hasil pengelolaan tersebut akan digunakan untuk kesejahteraan
umat termasuk dalam sektor pendidikan. Apalagi di Indonesia yang dikatakan
sebagai jamrud katulistiwa, segala serba ada, minerba, hutan, dan kekayaan alam
lainnya tersedia dengan melimpah ruah. Semestinya dengan kekayaan yang luar
bisa tersebut negara mampu mensejahterakan para guru seperti halnya di masa
Umar bin Khattab. Selain dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
hayati, khilafah juga akan memiliki anggaran yang berasal dari kharaj, fa'i,
dll., tanpa harus membebani rakyat dengan pajak yang terus memalak.
Berhubung selama ini pengelolaan kekayaan alam diserahkan kepada pihak
swasta dan asing ya beginilah jadinya, 70% lebih APBN harus mengandalkan pajak
dari rakyat, sementara ekonomi rakyat semakin sulit, jadi bagaimana mungkin
kesejahteraan dapat benar-benar terwujud?
Islam telah memberikan aturan yang sangat sempurna, diantaranya dengan
mengharamkan adanya penguasaan pengelolaan sumber daya alam oleh pihak swasta
maupun asing. Rasulullah saw bersabda:
«
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air
dan api.“
“Dalam air“: Maksudnya adalah air yang tidak terjadi dari pencarian dan usaha seseorang, seperti air saluran pribadi, dan air sumur, serta belum dimasukkan dalam wadah, kolam atau selokan yang airnya dari sungai.
“Padang rumput“: Maksudnya adalah semua tumbuhan atau tanaman yang basah maupun yang kering.
Al-Khathabi berkata: Arti
kata al-kalâ’ (padang
rumput) adalah tumbuhan atau tanaman yang tumbuh di tanah mati atau tanah tak
bertuan yang dipelihara masyarakat, dimana tidak ada seorang pun yang
memilikinya atau memagarinya. Adapun al-kalâ’
(padang rumput), jika ia berada di tanah yang ada pemiliknya, maka ia adalah
miliknya, sehingga tidak seorang pun yang ikut memilikinya, kecuali dengan izin
darinya.
“Dan dalam Api“. Maksud dari berserikat dalam api
adalah, bahwa ia tidak dilarang menyalakan lampu darinya, dan membuat
penerangan dengan cahayanya, namuan orang yang menyalakannya dilarang untuk
mengambil bara api dirinya, sebab menguranginya akan menyebabkan pada padamnya
api.
Dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan api adalah batu yang mengeluarkan api (batu api) dimana tidak
dilarang mengambil sesuatu darinya jika ia berada pada tanah mati. Al-Allamah Imam al-Syaukani dalam
“Nailul Authâr” berkata:
Ketahuilah bahwa hadits-hadits dalam masalah ini mencakup semuanya, sehingga
menunjukan bahwa persekutuan dalam ketiga perkara itu bersifat mutlak (umum).
Karenanya, tidak ada sesuatu darinya yang dikecualikan, kecuali dengan dalil
yang mengkhususkan dari keumumannya, dan bukan dengan dalil yang justru lebih
umum darinya, misalnya hadits yang menetapkan bahwa tidak halal harta seorang
Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya. Karena ia lebih umum, maka tidak layak
berhujjah dengannya setelah tetapnya harta dan tetapnya ketiga perkara itu
sebagai tempatnya konflik.
Sungguh, masalah kepemilikan
merupakan masalah penting dalam kehidupan manusia, sebab ia bagian dari
kebutuhan hidup. Manusia tidak dapat memenuhi setiap kebutuhan jasmanisnya atau
nalurinya tanpa memiliki sarana pemuasnya. Sehingga manusia berusaha untuk
mendapatkan semua yang dibutuhkan dan diperlukannya. Semua inilah yang membuat
manusia bersaing untuk menguasai harta, dan bahkan mereka berjuang mati-matian
demi menguasainya dan memperbanyak kepemilikannya. Oleh karena itu, asy-Syâri’ (pembuat hukum) datang
dengan membawa hukum (ketentuan) yang mengatur penguasaan manusia terhadap
harta, serta mencegah perselisihan dan setiap masalah yang mungkin terjadi
sebagai akibat dari berebut untuk memilikinya.
Islam telah membuat
kepemilikan menjadi tiga kategori, yang merupakan konsekuensi dari kebutuhan
seseorang manusia sebagai individu dan masyarakat, yaitu: kepemilikan individu
(al-milkiyah al-fardhiyah),
kepemilikan umum (al-milkiyah
al-âmmah), dan kepemilikan negara (milkiyah ad-daulah).
Dalam hadits ini, Rasulullah
saw mengenalkan kepada kami salah satu dari jenis-jenis kepemilikan, yaitu
kepemilikan umum (al-milkiyah
al-âmmah). Sementara arti dari kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah) atas
sesuatu adalah, bahwa semua manusia berserikat dalam kepemilikan sesuatu ini,
sehingga masing-masing dari mereka memiliki hak untuk memanfaatkannya, sebab
sesuatu itu tidak dikhususkan untuk dimiliki individu tertentu, dan mencegah
orang lain untuk memanfaatkannya.
Sedangkan sesuatu yang oleh
syara’ dijadikan sebagai kepemilikan umum (al-milkiyah
al-âmmah), seperti yang terdapat dalam hadits tersebut adalah: air,
padang rumput dan api.
Dan yang membuat sesuatu
tersebut sebagai kepemilikan umum (al-milkiyah
al-âmmah), dan mencegah individu tertentu untuk memilikinya, tidak
lain adalah karena semua manusia sangat membutuhkannya. Sehingga ia merupakan
fasilitas publik yang sangat dibutuhkan oleh komunitas selamanya. Bahkan sebuah
komunitas akan tercerai-berai untuk mencarinya jika sesuatu itu sangat sedikit atau
habis. Dalam hal ini, Somalia merupakan contoh nyata masalah ini, dimana
orang-orang meninggalkan desa dan kota-kota mereka, akibat paceklik, kekurangan
air dan padang rumput, sehingga mereka bercerai-berai di dalam negeri untuk
mencari fasilitas vital ini. Bahkan untuk mendapatkan sesuatu itu, mereka rela
menghadapi penderitaan demi penderitaan.
Dan asy-Syâri’ (pembuat hukum) telah
mewakilkan tugas penggunaan dan pengaturan kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah) ini kepada
negara, sehingga semua manusia memungkinkan untuk memanfaatkannya dan mencegah
individu-individu tertentu dari mengontrol dan menguasainya. Semua itu untuk
melindungi hak-hak rakyat, menjaga stabilitas masyarakat Muslim, serta untuk
menjamin ketenangan semua individu rakyat. (Sumber: hizb-ut-tahrir.info,
8/7/2012)
Kesimpulannya bahwa guru
mendapatkan gaji sebesar 15 dinar/bulan sebagaimana di masa Khalifah Umar bin
Khattab itu sangatlah mungkin jika berada dalan naungan khilafah. Jauh api dari
panggang manakala harapan kesejahteraan bagi para guru itu kita sandarkan
kepada sistem kapitalisme demokrasi, yang ada hanyalah ilusi.
Dalam dunia pendidikan saat
ini, permasalahan yang dihadapi oleh civitas akademik sunguh sangat komplek,
mulai dari kesejahteraan, sarana dan media belajar, kualifikasi dan kualitas
tenaga pengajar, hingga masalah korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh dunia
pendidikan.
Jadi di samping memberikan
kesejahteraan kepada para guru, khilafah juga memfasilitasi sarana dan
prasarananya dengan baik, menyiapkan para pengajar yang cakap dan berkualitas
serta memiliki keimanan dan ketakwaan yang luar biasa sehingga akan membekas
dengan baik kepada para peserta didiknya. Beda halnya dengan saat ini, pada
guru yang berkualitas banyak yang tercoreng oleh oknum guru-guru yang tidak
berkualitas dan tidak bertanggung jawab, misalnya bolos pada saat jam mengajar,
lalai dalam memberikan ilmu kepada siswa, dll.
Lahirnya perpustakaan
terbesar di dunia pada masa kekhilafahan bani abasiyah di bagdad, islam menjadi
pusat pendidikan dunia kala itu, berkembangnya pendidikan dengan pesat,
menunjukkan bahwa perhatian islam terhadap pendidikan bukanlah omong kosong
belaka. bahkan bukti-bukti sisa peradaban islam dapat kita saksikan hingga saat
ini. Adakah kita rindu untuk terwujudnya kembali masa keemasan dan kejayaan
seperti dulu, ketika kehidupan kita dinaungi oleh ridho Allah Swt.?
Hasbunallah wa ni'mal wakiil
ni'mal maula wa ni'man nashiir.
*CP. 0878 2107 2021
DOWNLOAD ARTIKELNYA DI SINI >>Hanya Islam yang mampu menjamin kesejahteraan Guru (Solusi atas polemik Resonansi Finansial)
0 komentar:
Posting Komentar