Mewaspadai Komunisme Gaya Baru
[Al-Islam edisi 807, 13 Sya’ban 1437 H – 20
Mei 2016 M]
Dalam beberapa waktu terakhir ini,
salah satu isu yang banyak menyita perhatian publik adalah isu terkait
munculnya komunisme gaya baru. Hal itu seiring dengan munculnya simbol-simbol
PKI berupa logo palu arit di beberapa daerah. Aparat kepolisian dan TNI pun
melakukan tindakan. Meski demikian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta
aparat memperhatikan HAM dan kebebasan berpendapat soal penindakan hal-hal berbau
komunisme (Kompas.com, 12/5).
Awas, PKI Gaya Baru Bangkit
Beberapa catatan kegiatan
orang-orang mantan PKI serta anak-anak biologis dan ideologis mereka menandakan
keseriusan mereka untuk muncul kembali baik secara ideologi maupun kelembagaan.
Kegiatan mereka secara garis besar bisa dikelompokkan ke dalam empat: Pertama,
konsolidasi di antara mereka. Berbagai pertemuan mereka lakukan: Temu Raya eks
napol/tapol di Jakarta 2003; Rapat tertutup Koppeng Semarang 24 Mei 2003,
pertemuan di Srondol, Banyumanik Semarang tahun 2014; pertemuan di Banyumas
tahun 2014; pertemuan yang diadakan oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan
(YPKP) 1965 di Solo 24 Februari 2015; pertemuan yang dimotori oleh YPKP 65 di
Bukit Tinggi Sumatera Barat; dan lainnya. Itu baru sebagian.
Kedua, menyebarkan ide-ide sosialis/komunis. Penyebaran logo palu
arit dilakukan melalui baju dan poster, juga dipampang saat demostrasi, mural
di tembok dan pengibaran bendera palu arit, dsb. Materi itu juga disisipkan di
dalam buku pelajaran. Penyebutan peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965 di
sebagian buku hanya disebut G30S dan tidak lagi G30S/PKI. Kegiatan atas nama
seni dan budaya, juga kegiatan ilmiah dan seni di berbagai perguruan tinggi,
juga dipakai untuk itu.
Ketiga, aktivitas politik. Hal itu dilakukan dengan membentuk
organisasi politik bahkan partai yang mengusung ideologi sosialis/komunis.
Salah satunya, pembentukan PRD, yang dikenal publik mengusung ide itu. Sejumlah
organisasi juga dikenal mengusung ideologi yang sama. Cara lainnya dilakukan
dengan memasukan para kader mereka ke dalam parpol yang ada. Hasilnya, sejumlah
orang dari mereka berhasil menjadi pengurus parpol besar dan masuk ke Parlemen.
Keempat, pada ranah peraturan dan kebijakan. Yang cukup kencang
adalah desakan mereka agar dibentuk KKR (Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi).
Pemerintah didesak untuk meminta maaf kepada eks PKI dan keluarga mereka. Jika
ini berhasil maka akan terjadi pemutarbalikan fakta. Seolah-olah PKI tidak
berbuat salah dan menjadi korban yang terzalimi.
Padahal sejarah mencatat, PKI
melakukan pembantaian terhadap kiai, ulama dan santri khususnya pada peristiwa
pemberontakan PKI 48 di Madiun. PKI dan kader-kadernya juga melakukan provokasi
secara sangat terbuka terhadap kaum santri. Apa yang dilakukan kaum santri,
Anshar NU dan lainnya yang menumpas PKI merupakan pembalasan atas semua
kebengisan yang dilakukan oleh PKI sebelumnya. Pemberontakan dan tindakan
bengis diulang lagi oleh PKI tahun 1965.
Oleh karena itu, menurut Anton
Tabah, Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Pusat, semua pihak harus melihat secara
luas sejarah keberadaan PKI yang selalu berlaku bengis dan beringas untuk
mewujudkan cita-citanya (Republika.co.id, 11/5).
Pemerintah tampak merespon desakan
rekonsiliasi dan pemulihan itu. Diadakanlah Simposium Nasional Membedah Tragedi
1965 yang digagas Forum Silaturahmi Anak Bangsa dan didukung oleh Kemenko
Polhukam di Hotel Aryaduta Jakarta pada 18-19 April 2016. Lewat simposium,
Pemerintah berharap konflik dapat diurai dan trauma masa lalu bisa dipulihkan.
Setidaknya, Peristiwa 1965 dapat diletakkan dengan benar dalam sudut pandang
sejarah.
Namun, simposium ini mendapatkan
penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Sebagian menilai, simposium itu
sudah direncanakan untuk menampung kepentingan kelompok komunis.
Menanggapi desakan kuat untuk proses
rekonsiliasi dan pemulihan PKI, Amien Rais menyatakan, “Kalau PKI ingin
Pemerintah meminta maaf, seharusnya PKI meminta maaf terlebih dulu kepada umat
Islam. Pasalnya, pada tahun 1948, ada tragedi pembunuhan ulama dan santri yang
dilakukan oleh PKI.” (Suaramuhammadiyah.com, 9/5).
Tampaknya Pemerintah Jokowi berniat
melakukan permintaan maaf itu. Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan
menyatakan Presiden Joko Widodo memerintahkan dia untuk mencari kuburan massal
korban Peristiwa 1965 dan lanjutannya. Pencarian kuburan massal ini dijadikan
sandaran argumen bagi Pemerintah untuk meminta maaf kepada korban Peristiwa
1965 (BBC.com, 25/4/16).
Namun, hal itu mendapat reaksi keras
dari banyak pihak.
Bahaya Laten Komunis
Menggeliatnya komunisme gaya baru
mengisyaratkan ancaman bahaya bagi umat ini. Hal itu bisa dilihat dari sejarah
dan fakta saat ini.
Dalam sejarah, PKI yang ketika itu
belum berkuasa saja telah berani melakukan pembantaian terhadap kaum santri.
Korban sejarah yang paling merasakan kebiadaban PKI adalah umat Islam,
khususnya kalangan santri. Korban kesadisan paling depan, yang tercatat dalam
buku dan hasil penelitian, adalah para kiai dan ulama, khususnya dari kalangan
NU. Reaksi kelompok santri tentu wajar dalam melakukan perlawanan terhadap
sepak terjang berdarah PKI ini. Apalagi perang urat syaraf yang dilakukan oleh
kelompok PKI untuk membumihanguskan kelompok santri begitu terbuka. Padahal
kala itu PKI yang berhaluan komunisme itu belum berkuasa. Bisa dibayangkan seandainya
PKI berkuasa dan mendominasi kekuasaan.
Secara fakta, saat ini Cina yang
menganut komunisme bisa menjadi contoh. Di Cina puluhan juta kaum Muslim Uighur
mengalami penindasan dalam berbagai bentuk. Bahkan untuk sekadar menjalankan
ibadah saja mereka dihalangi dan dilarang. Mereka dilarang menjalankan puasa
Ramadhan. Pengajaran al-Quran kepada anak-anak dianggap merusak akal. Jika
dalam hal ibadah saja kaum Muslim di sana ditindas, apalagi untuk hak-hak
lainnya. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara berhaluan komunisme baik
sekarang atau pada masa lalu. Jika PKI atau partai berhaluan komunisme bisa
berkuasa atau mendominasi kekuasaan di negeri ini, maka kaum Muslim negeri ini
akan menjadi korban pertama penindasan oleh mereka.
Oleh karena itu, berkembangnya
ideologi sosialisme/komunisme yang dulu diusung PKI menyimpan bahaya besar bagi
negeri ini, khususnya umat Islam. Hal itu harus diwaspadai oleh seluruh
komponen umat.
Komunisme: Rusak dan Merusak
Komunisme tegak di atas filsafat
materialisme (kebendaan). Komunisme mengajarkan bahwa semua hal berasal dari
materi (benda). Komunisme tidak mengakui keberadaan tuhan (ateis). Ide dasar
inilah yang mendorong orang-orang komunis bisa berbuat begitu bengis terhadap
para penganut agama, khususnya kaum Muslim.
Selain itu, dalam hal perubahan
masyarakat, perjuangan kelas (class struggle) menjadi metode komunisme.
Benturan antarkelas, revolusi fisik dan kudeta dianggap wajar bahkan menjadi
keniscayan. Di sini sosialisme/komunisme menyimpan bahaya besar. Masyarakat
tidak akan tenang, tetapi dipenuhi benturan, keguncangan dan kekacauan.
Mungkin orang beranggapan tidak
masalah mengambil komunisme tanpa harus ateis, yaitu mengambil komunisme
sebagai ideologi perubahan karena dulu banyak juga yang berideologi komunisme
tetapi tidak ateis. Menjadikan sosialisme/komunisme sebagai ideologi perubahan
itu artinya akan mengatur masyarakat hasil perubahan seuai ideologi
sosialisme/komunisme. Pandangan seperti ini tentu tidak bisa diterima di dalam
Islam. Sebabnya, ideologi sosialisme/komunisme tidak bersumber dan tidak
terpancar dari akidah Islam, dan menyalahi bahkan bertentangan dengan Islam.
Dari kenyataan itu,
sosialisme/komunisme hanya akan mendatangkan bencana bagi umat. Allah SWT telah
mengingatkan kita melalui firman-Nya:
﴿وَمَنْ
أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا﴾
Siapa saja yang berpaling dari
peringatan-Ku, sesungguhnya bagi dia kehidupan yang sempit (TQS Thaha [20]: 124).
Kaum Muslim jelas tidak memerlukan
sosialisme/komunisme untuk dijadikan ideologi perjuangan dan perubahan. Islam
telah memberikan bagaimana perubahan masyarakat harus dilakukan. Bahkan hal itu
telah dicontohkan oleh Rasul saw. Perubahan itu bukanlah dengan benturan fisik,
menciptakan keadaan chaos, revolusi fisik apalagi kudeta bersenjata,
sebagaimana komunisme. Islam juga hadir dengan sistem dan aturan yang
menyeluruh dan sempurna untuk mengatur masyarakat dengan seluruh aspeknya.
Sistem Islam akan mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kamafsadatan karena
Islam memang diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Allah SWT telah
menjanjikan dalam firman-Nya:
﴿وَلَوْ أَنَّ
أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ﴾
Jika penduduk negeri-negeri beriman
dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi (TQS al-A’raf [7]: 96).
Wahai Kaum Muslim:
Kita tidak boleh tergiur dan
terpikat oleh ideologi sosialisme/komunisme. Sebab, ideologi ini selain sudah
terbukti gagal, juga hanya akan mendatangkan kerusakan bagi umat manusia. Kita
seharusnya fokus mewujudkan agenda kita sendiri, yaitu menerapkan syariah Islam
secara menyeluruh di dalam naungan Khilafah Rasyidah sebagaimana yang diajarkan
oleh Rasul saw dan dilanjutkan oleh para sahabat dan generasi kaum Muslim
selainjutnya. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
0 komentar:
Posting Komentar