KHILAFAH MEMBERANTAS KRIMINALITAS
Salah satu hal yang penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah
keamanan. Di antara yang menjadikan
terganggunya kondisi keamanan di tengah masyarakat adalah tindak kriminal. Khilafah hadir untuk menerapkan syariat
Islam, di antaranya terkait hukum-hukum untuk memberantas kriminalitas.
Apa yang dimaksud dengan kriminalitas?
Imam al-Mawardi memaknai kriminalitas (jarimah, jamak: jaraim) dengan
mengatakan:
اَلْجَرَا ئِمُ
مَحْظُوْرَاتٌ شَرْعِيَّةٌ زَجَرَاللهُ تَعَالَى عَنْهَا بِحَدٍّ أَوْ تَعْزِيْر
Artinya,
“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ yang diancam oleh
Allah dengan hukuman hadd atau ta’zir".
Tindak kriminal tersebut di antaranya pergaulan bebas, pencurian, Narkoba, minuman keras, pembunuhan, LGBT, pemerkosaan, dll.
Pemberantasan tindak kriminal oleh Khilafah secara umum mencakup dua
hal. Pertama, pencegahan tindak kriminal dengan penerapan syariat Islam di tengah
kehidupan; dan kedua penjatuhan sanksi hukum
(‘uqubat) bagi orang yang melakukan tindak kriminal. Dengan demikian, paradigma pemberantasan
kriminal didasarkan pada tindakan preventif (pencegahan) sebelum terjadi tindak
kriminal tersebut dan kuratif (‘pengobatan’) bagi pelaku yang
melakukannya. Upaya pencegahan berupa
hukum-hukum syariat yang mencegah terjadinya tindak kriminal. Sementara, upaya kuratif berupa penjatuhan
sanksi hukum bagi pelaku tindak kriminal.
Satu hal yang menarik, sistem sanksi dalam Islam berbeda dengan sistem
sanksi apapun di dunia ini. Sanksi dalam
syariat Islam bukan hanya berpihak kepada masyarakat yang menjadi korban,
melainkan juga berpihak pada korban itu sendiri. Sanksi dalam Islam merupakan zawajir
sekaligus jawabir. Sanksi dalam Islam
sangat tegas sehingga mendatangkan efek jera.
Oleh karena itu, sanksi dalam Islam akan mencegah seseorang untuk
melakukan suatu tindak kriminal. Inilah
yang disebut zawajir.
Sebagai contoh, ketika diterapkannya hukum
qishash, maka qishash tersebut akan mencegah terjadinya tindakakan balas dendam
kepada keluarga korban kepada pelaku atau keluarga pelaku. Di dalam al-Quran Allah SWT berfirman:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.” [TQS al baqarah ayat 179]
Al-Alusi berkata dalam tafsirnya, Ruhul Ma’ani (2/1130),
mengatakan, “Makna
qishash sebagai jaminan kelangsungan hidup adalah kelangsungan hidup di dunia
dan di akhirat. Jaminan kelangsungan hidup di dunia telah jelas karena dengan
disyariatkannya qishash berarti seseorang akan takut melakukan pembunuhan.
Dengan demikian, qishash menjadi sebab berlangsungnya hidup jiwa manusia yang
sedang berkembang.Adapun kelangsungan hidup di akhirat adalah berdasarkan
alasan bahwa orang yang membunuh jiwa dan dia telah diqishash di dunia, kelak
di akhirat ia tidak akan dituntut memenuhi hak orang yang dibunuhnya.”
Sanksi dalam Islam juga merupakan jawabir.
Ini berarti sanksi tersebut merupakan penebus dosa bagi pelaku yang dikenai sanksi hukum
Islam.
Rasulullah SAW bersabda:
« من أصاب منكم حدّاً
فجعلت له عقوبته فهو كفارته »
“Barang siapa melakukan pelanggaran batas (hukum Allah)
lalu dijatuhi sanksi maka itu merupakan kafaratnya (penebus dosa)” (HR. Ibnu
Majah, Ibnu Hibban)
Kriminalitas
Salah satu bentuk kriminalitas adalah pergaulan bebas. Sistem kufur tak memerhatikan sama sekali
soal keturunan ini. Sistem itu justru mempertuhankan hawa nafsu. Nafsu seks
diumbar sedemikian rupa tanpa mengindahkan aturan sama sekali. Bagi sistem
tersebut, hubungan seks boleh selama tidak merugikan orang lain. Jangan heran,
jika tidak ada aturan di negeri ini yang mengharamkan zina, homoseks maupun
lesbian.
Tak ayal, seks bebas dan homoseks angkanya terus meningkat. Yang sungguh
mengkhawatirkan, perilaku ini menghinggapi para remaja. Banyak survei
membuktikan. Menurut hasil survei 2008 oleh satu lembaga, 63
persen remaja di Indonesia usia sekolah SMP dan SMA sudah melakukan hubungan
seksual di luar nikah, dan 21 persen di antaranya melakukan aborsi. Bagaimana
dengan tahun ini?Survei-survei berikutnya membuktikan peningkatan yang
signifikan dengan pelakunya makin muda, bahkan ada yang masih sekolah dasar
(SD).
Prostitusi
pun bak jamur di musim hujan.Jika dulu perbuatan maksiat itu terjadi di warung
remang-remang atau lokalisasi pelacuran, kini tempatnya di hotel
berbintang.Cara menggaet konsumennya pun kian canggih, menggunakan media
sosial.Pelacurnya pun tak lagi kelas kere (miskin), tetapi artis-artis papan
atas.Spektrum hidung belangnya pun kian lebar, dari miskin hingga konglomerat.
Setali
tiga uang dengan seks bebas, LGBT pun terus berkembang. Kalau dulu
sembunyi-sembunyi, kini mereka terang-terangan.Penularan perilaku menyimpang
itu menjangkau banyak kalangan.Menurut survei CIA, sebagaimana dilansir sebuah
situs asing, jumlah populasi LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) di
Indonesia adalah ke-5 terbesar di dunia setelah Cina, India, Eropa dan
Amerika.Beberapa lembaga survey independen dalam maupun luar negeri menyebutkan
bahwa Indonesia punya 3 persen LGBT. Berarti dari 250 juta penduduk kita 7,5
jutanya adalah LGBT. Ini sungguh angka yang mengagetkan.
Itulah fakta negeri yang jauh dari rahmat ilahi. Ini tidak akan terjadi
dalam sistem Islam. Dalam sistem ini, negara sangat menjaga keturunan/nasab
manusia. Bukankah manusia diciptakan berlainan jenis untuk melangsungkan
keturunannya? Maka dari itu, Islam sangat menjaga perilaku manusia agar tidak
menyimpang dari fitrah penciptaan nafsu dalam dirinya.
Sebagaimana memberantas tindak kriminal lainnya, khilafah memberantas
pergaulan bebas dan LGBT dengan penerapan hukum secara komprehensif. Di antara hukum syariat Islam yang berkaitan
dengan hal tersebut adalah:
1. Keimanan individu dengan pembinaan dan sistem
pendidikan Islam (kurikulum,
materi, metode) yang membentuk kepribadian Islam secara gratis. Rasulullah SAW dulu membebaskan tahanan
dengan tebusan berupa seorang tahanan mengajari membaca kepada sepuluh orang
sahabat. Ini menunjukkan bahwa
pendidikan merupakan tanggung jawab negara.
2. Kewajiban menutup aurat (terhadap lawan jenis maupun sesama jenis). Di dalam khazanah syariat Islam
sudah dikenal batasan aurat. Tidak boleh
menampakkan aurat kecuali kepada mahramnya.
Misalnya, seperti yang digambarkan di dalam al-Quran surat an-Nur ayat
31.
3. Tak mengumbar kecantikan di depan publik (tabarruj); mencegah acara yang mempertontonkan aurat. Allah SWT menerangkan hal ini di antaranya
dalam surat al-Ahzab ayat 33.
4. Perintah menjaga pandangan (ghadhul bashar), sebagaimana
dinyatakan dalam surat an-Nur ayat 30 dan 31.
5. Larangan tidur
dalam satu selimut (baik sejenis, maupun lawan jenis). Nabi saw.:
مُرُوا أَوْلاَدَكُم
بالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْع سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ
أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المَضَاجِعِ
Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika usia mereka tujuh tahun;
pukullah mereka karena (meninggalkan)-nya saat berusia sepuluh tahun; dan
pisahkan mereka di tempat tidur.” (HR Abu Dawud).
Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk memisahkan
tempat tidur anak-anak. Padahal tidak ada keraguan sedikitpun, ketika
mereka tidur dalam satu ranjang hal itu belum bisa mengantarkan mereka dalam
perbuatan zina atau sodomi, karena belum ada hasrat (syahwat)
untuk itu di usia tersebut. Dengan begitu, perintah “memisahkan tempat tidur”
tersebut lebih diarahkan pada perbuatannya itu sendiri, yaitu mudhâja’ah (tidur bersama).Karena itu perbuatanmudhâja’ah (tidur bersama) ini haram.
6. Larangan ber-khalwatdan ikhtilath. Khalwat artinya mojok, atau berdua-duaan
antara seorang laki-laki dengan perempuan.
Ikhtilat berarti campur baur antara laki-laki dengan perempuan. Banyak sabda Nabi SAW yang melarang khalwat,
di antaranya:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ
لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثُهُمَا الشَّيْطَانُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada
mahrom wanita tersebut, karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka
berdua.” (HR. Ahmad).
7. Negara memberikan kemudahan dalam menikah. Nabi Muhammad Rasulullah
SAW bersabda: "Perempuan
yang paling besar mendatangkan berkah Allah untuk suaminya adalah perempuan
yang paling ringan maharnya." (HR.
Ahmad, Hakim, Baihaqi). Dalam hadits
lain, diterangkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya pernikahan yang
paling berkah adalah pernikahan yang sederhana belanjanya."(HR.
Ahmad).
8. Kebolehan poligami, dan pada
saat yang sama melarang perzinaan.
9. Negara menerapkan sistem ekonomi
Islam yang menjamin kesejahteraan rakyat sehingga tertutup alasan ekonomi untuk melacur.
10.Negara melarang pornografi dan
mengontrol tayangan/media agar tidak merusak masyarakat.
Islam mewujudkan kemaslahatan dalam hal ini seperti adanya
perintah menikah serta larangan melakukan zina, sodomi dan homoseksual. Allah
SWT berfirman:
﴿فَانْكِحُوْامَاطَابَلَكُمْمِنَالنِّسَاءِ..﴾
Karena itu nikahilah wanita-wanita
yang menyenangkan hati kalian (QS Ali ‘Imran [3]: 14).
Pada saat yang sama, Allah SWT juga mengharamkan zina:
﴿وَلاَتَقْرَبُواالزِّنَاإِنَّهُكَانَفَاحِشَةًوَسَاءَسَبِيْلاً..﴾
Janganlah kalian mendekati zina
karena sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan keji dan jalan [memenuhi
naluri seksual] yang buruk (QS al-Isra’ [17]: 32).
Ayat ini juga memberi pengertian
melalui dalalah iltizam bahwa negara harus menutup semua jalan yang bisa
mendekatkan ke arah perzinaan. Karena
itu negara harus misalnya: melarang beredarnya pornografi dan pornoaksi di
tengah masyarakat. Negara harus menghalangi campur baur antara laki-laki dan
perempuan di masyarakat. Negara harus mengawal terwujudnya kewajiban bagi semua
orang untuk menutup aurat dan ketidakbolehan wanita mengumbar kecantikannya di
depan publik. Negara harus menjamin penerapan sistem ekonomi Islam yang kan
menutup alasan ekonomi bagi seseorang untuk melacur.
11.Kontrol masyarakat dengan
spirit amar makruf nahi mungkar.
12.Penerapan sanksi hukum, termasuk
sanksi bagi orang yang menuduh zina (qadzaf).
Zina dalam pandangan Islam merupakan kemaksiyatan dan dosa besar,
merupakan jarîmah (kejahatan). Karena itu orang yang melakukan zina dikenai
sanksi yang berat. Sanksi pezina itu jiak ia muhshan yakni telah pernah menikah
maka hukumannya adalah dirajam. Sedangkan jika ia ghayru muhshan yakni belum
pernah menikah maka hukumannya adalah dijilid seratus kali dera.
Allah SWT berfirman:
﴿الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُم
بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ﴾
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.” (TQS an-Nur [24]: 2)
Ayat ini menjelaskan bahwa hukuman bagi pezina adalah
jilid 100 kali dera. Ayat tersebut bersifat umum mencakup semua pezina. Namun
keumman ayat tersebut dikhususkan oleh banyak riwayat yang menjelaskan bahwa
hukuman jilid 100 kali dera itu adalah untuk pezina ghayru muhshan, sedangkan
untuk pezina muhshan maka hukumannya adalah dirajam. Diantarany adalah riwayat
berikut:
أَنَّ رَجُلاً زَنَى بِامْرَأَةٍ فَأَمَرَ بِهِ
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَجُلِدَ الْحَدَّ ثُمَّ أُخْبِرَ أَنَّهُ
مُحْصَنٌ فَأَمَرَ بِهِ فَرُجِمَ
Seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan lalu
nabi saw memerintahkan agar dia dijilid maka dia pun dijilid, kemudian diberitahukan
bahwa ia muhshan maka Beliau memerintahkan agar dia dirajam. (HR Abu Dawud, an-Nasai)
Hukuman itu bagi orang yang terbukti dengan pembuktian
syar’iy telah melakukan zina. Pembuktian
syar’iy untuk kasus zina itu diantaranya dengan pengakuan pelaku seperti
dalam kasus Ma’iz al-Aslami dan al-Ghamidiyah, ada empat orang saksi yang
memberi kesaksian terjadinya perzinaan itu secara pasti tanpa ada keraguan
sedikitpun.
Adapun orang yang melakukan perbuata mendekati atau
pendahuluan ke arah zina tetapi tidak terbukti dengan pembuktian syar’iy telah
melakukan zina, misalnya seorang laki-laki didapati berduaan di sebuah kamar
dengan seorang perempuan, maka tentu saja tidak bisa dijatuhi hadd zina. Namun
demikian bukan berarti
Sementara itu, homoseksual merupakan dosa besar. Imam Ibnu Qudamah mengatakan bahwa telah sepakat (ijmak)
seluruh ulama mengenai keharaman homoseksual (Ibnu Qudamah, Al-Mughni,
XII/348). Nabi saw. telah bersabda:
«لَعَنَ اللَّهُ
مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ
لُوطٍ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ»
Allah telah melaknat siapa saja yang berbuat
seperti perbuatan kaum Nabi Luth.Allah telah melaknat siapa saja yang berbuat
seperti perbuatan kaum Nabi Luth.Allah telah melaknat siapa saja yang berbuat
seperti perbuatan kaum Nabi Luth(HR Ahmad).
Orang yang melakukan sodomi dan
homoseksual, Islam dengan tegas menegaskan pelakunya dibunuh. Nabi saw.
bersabda:
مَنْوَجَدْتُمُوْهُيَعْمَلُعَمَلَقَوْمِلُوْطٍفَاقْتُلُواالْفَاعِلَوَالَمْفعُوْلَبِهِ
Siapa saja yang kalian temukan sedang melakukan
perbuatan kaum Nabi Luth, bunuhlah pelaku dan pasangannya(HR Ahmad)
Lesbianisme
dalam kitab-kitab fikih disebut dengan istilah as-sihâq atau al-musâhaqah.Definisinya
adalah hubungan seksual yang terjadi di antara sesama wanita.Tak ada khilafiyah
di kalangan fuqaha’ bahwa lesbianisme hukumnya haram. Keharamannya
antara lain berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
«السِّحَاقُ بَيْنَ النِّسَاءِ زِنًا بَيْنَهُنَّ»
Lesbianisme (as-sihâq)
diantara wanita adalah
[bagaikan] zina di antara mereka(HR ath-Thabrani).
Lesbianisme
menurut Imam adz-Dzahabi
merupakan dosa besar (Dzahabi, Az-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâ’ir,
II/235). Para fuqaha’ sepakat akan keharamannya berdasarkan hadis dari
Watsilah bin Al Asqa’ ra., bahwa Rasulullah saw bersabda:
«سِحَاقُ النِّسَاءِ بَيْنَهُنَّ زِنًا»
Perbuatan lesbian di
antara wanita adalah [bagaikan] zina.(HR Abu Ya’la.Lihat juga: Majma’
az-Zawâ’id, VI/256).
Dalam riwayat lain yang
semakna, Rasulullah saw bersabda:
«السِّحَاقُ بَيْنَ النِّسَاءِ زِنًا
بَيْنَهُنَّ»
Lesbianisme diantara wanita adalah [bagaikan] zina di
antara mereka. (HR ath-Thabrani,
dalam Al-Mu’jam al-Kabîr, XXII/63; Sa’ud al-Utaibi,
Al-Mawsû’ah
al-Jinâ`iyah al-Islâmiyyah, 1/427 dan 452; Al-Mawsu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 24/162; Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, VII/291).
Imam Ibnu Hazm menyebut dalil-dalil lain yang
mengharamkan lesbianisme. Di antaranya hadis dari Ibnu Mas’ud ra. yang berkata
bahwa Nabi saw. telah melarang perempuan bersentuhan kulit (mubâsyarah)
dengan perempuan lain dalam satu selimut karena bisa jadi perempuan itu akan
menceritakan keadaan temannya itu kepada suaminya sehingga seakan-akan suaminya
melihat perempuan teman istrinya itu (HR al-Bukhari). Imam Ibnu Hazm
menjelaskan bahwa dalil ini telah mengharamkan mubâsyarah, yakni
persentuhan kulit dengan kulit tanpa penghalang antarwanita di bawah satu
selimut. Jika persentuhan itu terjadi antar kemaluan (farji), yaitu
lesbianisme, maka tentu lebih haram lagi dan merupakan kemaksiatan yang
berlipat ganda (ma’shiyah mudhâ’afah) (Ibnu Hazm, Al-Muhalla,
VI/547; Ibnu Bathal, Syarh Shahîh al-Bukhari, VII/366).
Namun demikian, hukuman untuk lesbianisme tidak seperti
hukuman zina, melainkan hukuman ta’zîr, yaitu hukuman yang tidak dijelaskan
oleh sebuah nash khusus. Jenis dan kadar hukumannya diserahkan kepada qâdhi
(hakim). Ta’zîr ini bentuknya bisa berupa hukuman cambuk, penjara, publikasi
(tasyhîr), dan sebagainya (Sa’ud al-Utaibi, Al-Mawsû’ah al-Jinâ`iyyah
al-Islâmiyah, hlm. 452; Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât,
hlm. 9).
Dengan semua
itu keturunan manusia pun terjaga. Eksistensi umat manusia degan segenap
martabat kemanusiannya juga terjaga. Masyarakat pun terbebas dari perilaku
menyimpang yang sangat membahayakan eksistensi manusia.
Semua aturan
di atas merupakan syariat Islam. Tidak
mungkin hukum-hukum tersebut diterapkan oleh sistem sosialisme/komunis. Sebab, mereka tidak memiliki hukum-hukum
tersebut. Bahkan, tidak
mengimaninya. Jadi, bagaimana dapat
menerapkannya. Begitu juga, hukum-hukum
tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan oleh sistem kapitalisme. Mereka tidak memiliki dan tidak
mengimaninya. Semua hukum tersebut baru
dapat diterapkan dengan sistem yang berasal dari Islam, yakni khilafah.
Begitu pula berkaitan dengan kriminalitas yang mengganggu keamanan. Di negeri yang mayoritas Muslim ini justru
keamanan begitu mahal, apalagi dalam dua tahun terakhir. Para begal begitu
leluasa beraksi. Jambret dan penodong bisa menghadang setiap orang di jalanan.
Tidak hanya di kota-kota besar, mereka berkeliaran sampai ke pelosok-pelosok
desa. Mereka tidak hanya merampas harta orang lain di jalan. Sebagian mereka
menganiaya korbannya hingga ada yang tewas. Berbagai operasi aparat keamanan
ternyata tak menghentikan aksi kejahatan di jalanan ini. Ini bisa jadi karena
sanksi yang diterapkan tidak memberikan efek jera.
Islam memiliki cara tersendiri untuk mencegah kejahatan di jalanan ini.
Tindakan teror, perampokan maupun pembegalan adalah perbuatan haram. Ada sanksi
yang tegas terhadap para pelakunya.
Abdurrahman al-Maliki dalam
kitab Nizhâm al-‘Uqûbât menyatakan
bahwa sanksi yang harus diterima pembegal jalanan (quthâ’ ath-tharîq) berbeda-beda sesuai dengan tindakan yang mereka
lakukan.
﴿
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي
الْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ
وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَافٍ أَوْ يُنفَوْا مِنَ الْأَرْضِ﴾
“Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya).“ (TQS al-Maidah [5]:
33)
Jika hanya merampas harta benda
saja, mereka akan dikenai hukuman dengan dipotong tangan kanan dan kaki kirinya
(secara silang). Tangan dipotong dipergelangannya seperti pemotongan pada kasus
pencurian.Adapun kaki dipotong pada persendian mata kakinya (dengan benda yang
sangat tajam dan tanpa dilakukan penyiksaan).
Jika mereka hanya melakukan
teror dijalan, mereka dikenai sanksi pengusiran, yakni diusir dari negerinya ke
negeri-negeri yang jauh.Jika mereka hanya membunuh, mereka dikenai hukum bunuh
saja. Namun, jika mereka membunuh disertai merampas harta benda maka mereka
akan dibunuh dan disalib. Penyaliban dilakukan setelah dilakukan pembunuhan,
bukan sebelumnya.
Tujuan dari hukuman ini juga
agar memberikan efek jera bagi pelakunya dan efek takut bagi yang ingin
melakukan kejahatan yang sama.
Hukum itu juga dilengkapi dengan penerapan sistem Islam
lainnya yang menyempurnakan penjagaan atas keamanan itu. Penerapan sistem
ekonomi akan meminimalkan faktor penyebab kejahatan sebab selama ini terungkap
fakta banyak orag melakukan kejahatan dengan alasan faktor ekonomi.
Kejahatan-kejahatan itu tentu akan menjadi gangguan keamanan. Penjagaan keamanan juga akan dilakukan oleh
polisi, termasuk dengan melakukan patroli. Hal itu akan memperkecil peluang
terjadinya kejahatan. Sebab kejahatan terjadi diantaranya karena adanya peluang
terjadinya kejahatan itu. Dan penerapan
sistem ‘uqubat Islam akan memberi efek jera yang mencegah orang melakukan
kejahatan.
Keamanan dan terwujudnya rasa aman bagi masyarakat itu akan terwujud
dan bisa dirasakan manusia dengan penerapan syariah Islam secara kâffah. Dengan begitu, keamanan
individu, masyarakat dan negara pun terjaga.
KHILAFAH MENJAGA
KEUTUHAN NEGARA DAN MENGEMBAN DAKWAH
Imam al-Ghazali mengungkapkan pentingnya kekuasaan dan
negara.
Beliau mengungkapkan:
اَلدِّيْنُ وَالسُّلْطَانُ
تَوْأَمَانِ، اَلدِّيْنُ أُسٌّ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لاَ أُسَّ لَهُ
فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
“Agama dan kekuasaan (ibarat) saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaan
adalah penjaga. Sesuatu yang tanpa pondasi niscaya runtuh dan sesuatu tanpa
penjaga niscata lenyap” (Imam al-Ghazali,
al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd).
Dengan demikian, negara perlu dijaga.
Dijaga bagaimana? Negara dijaga
agar tetap utuh dan tetap menerapkan syariat Islam. Untuk itu, khilafah menerapkan beberapa hukum
syariat Islam yang apabila diterapkan akan dapat menjaga negara. Di antara syariat yang dilakukan oleh
khilafah adalah:
- Menanamkan bahwa umat Islam adalah ummatan Wahidah (satu umat) dan khairu ummah (umat terbaik) dalam pembinaan dan pendidikan. Allah SWT berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ
الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu sekalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk
manusia, yang menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta
beriman kepada Allah?”(Q.S. Ali ‘Imrân: 110).
- Mewajibkan persatuan umat. Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa umat Islam itu laksana bangunan yang saling mengokohkan satu dengan lainnya. Beliau bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ
كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضَا
“Sesungguhnya mukmin terhadap mukmin yang lain laksana
suatu bangunan yang saling mengokohkan satu sama lain” (HR. Bukhari).
- Menjaga pondasi keutuhan dan kelestarian syariat Islam:
- Menetapkan salah satu syarat kepala negara harus Muslim
- Proses baiat yang mewajibkan kepala negara menerapkan al-Quran dan as-Sunnah, serta rakyat wajib mentaatinya selama tidak memerintahkan maksiyat. Tidak melakukan tindakan fisik kepada penguasa selama mereka tidak melakukan kufran bawahan.
عَنْ عُبَادَة بْنُ صَامِت قَالَ دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا
وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ
أَهْلَهُ قَالَ « إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ
فِيهِ بُرْهَانٌ »
Dari Ubadah bin Shamit, dia berkata, Rasulullah SAW memanggil kami lalu
kami membai’atnya untuk mendengar dan taat dalam keadaan lapang kami, sempit
kami, sulit kami, mudah kami, hak kami dihalangi, dan kami tidak mencabut
urusan (kekuasaan) dari pemiliknya.
Beliau melanjutkan, ‘kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata yang
kalian miliki dari Allah di dalamnya bukti/penjelasan (HR. Muslim).
- Larangan mengangkat lebih dari satu pemimpin. Rasulullah SAW bersabda:
«
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَا »
“Bila dibai’at dua orang
khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (HR. Muslim).
- Memberikan kemudahan pembentukan parpol/organisasi/kelompok masyarakat untuk mengoreksi penguasa selama didasarkan pada Islam. Hal ini ditegaskan di dalam al-Quran:
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Hendaklah ada di antara kalian sekelompok umat yang menyeru
kepada kebaikan (Islam) dan menyuruh berbuat ma’ruf serta mencegah berbuat
munkar dan merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS. Ali ‘Imran:104).
- Melarang hal-hal yang membahayakan negara:
- Melarang separatism
- Melarang disintegrasi
- Melarang bughat
- Melarang memberi jalan bagi orang/negara kafir menguasai umat Islam
- Menyampaikan dakwah ke luar negeri sehingga negara-negara lain paham akan keadilan Islam dan tidak coba-coba memporakporandakan negara
- Melakukan muhasabah hukkam (koreksi pada penguasa), dan bila melakukan kufran bawahan (kekafiran yang nyata) boleh mengangkat senjata
- Menerapkan sanksi hukum:
- Memerangi kelompok yang memecah belah umat Islam
- Berjihad melawan negara kafir imperialis
Islam tidak memberikan celah sedikit pun bagi kelompok tertentu untuk
memisahkan diri dari wilayah kesatuan kaum Muslim. Karena itu Islam menetapkan
hukum haram bagi kelompok yang ingin memisahkan diri. Khilafah akan memerangi
mereka yang memberontak kepada Khalifah dan mempertahankan wilayah Daulah
dengan kekuatan senjata.
Tidak bisa kemudian dengan alasan hak asasi manusia (HAM) kelompok
tertentu memberontak kepada negara
seperti saat ini yang terjadi di Papua. Apalagi jelas-jelas di belakang mereka
adalah kekuatan asing yang memang ingin memecah negeri kaum Muslim Indonesia
agar kian lemah dan mudah dicengkeram oleh penjajah.
Kasus Timor Timur yang lepas dari Indonesia pada tahun 1999 menjadi
catatan penting betapa negara sekular/kapitalis tidak memiliki prinsip untuk
mempertahankan kesatuan wilayahnya. Rezim penguasa saat itu lebih takut kepada
asing daripada menjaga kedaulatannya.
Kondisi ini tentu sangat berbeda saat negara menerapkan Islam secara kâffah dalam naungan Khilafah. Tak akan
dibiarkan sejengkal pun wilayah Daulah jatuh kepada pemberontak atau penjajah.
Eksistensi negara bisa terancam jika ada sekelompok
orang yang membangkam dan menentang negara menggunakan kekuatan. Aktivitas
bughat tersebut dalam pandangan Islam merupakan kriminal.
Muhammad Khayr Haikal dalam
bukunya al-Jihâd wa al-Qitâl (Dar al-Bayariq, hal. 63) menjelaskan bahwa
orang-orang yang melakukan bughat pada mereka harus ada tiga hal:
1.
Membangkang
terhadap kekuasaan daulah dengan tidak mau menunaikan hak negara, tidak mau
menaati perundang-undangan atau berusaha untuk mendongkel kepala negara
(khalifah).
2.
Memiliki
kekuatan yang memungkinkan mereka untuk mengontrol (as-saytharah).
3.
Melakukan
khuruj yakni penentangan, yaitu yang dalam ungkapan sekarang adalah revolusi
bersenjata, perang sipil, perang dalam negeri, menggunakan senjata atau
kekerasan untuk meraih tujuan politik yang menjadi alasan dilakukannya
revolusi.
Deskripsi tersebut dijelaskan dalam al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak
Shahabat. Nasutama tentang bughât adalah firman Allah SWT:
﴿ وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا
الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴾
Dan jika
dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya.Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah.Jika golongan itu telah kembali
(kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan
berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil(TQS
al-Hujurat [49]: 9)
Syaikhul Islam Zakariyya
Al-Anshari (w.925 H) dalam Fathul Wahhab
(II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini
memang tidak disebut ‘membangkang kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat
tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman maknanya, atau karena ayat
tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan
atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan terhadap imam tentu lebih
dituntut lagi.”
Rasul saw dengan jelas
menyatakan tercelanya tindakan membangkang kepada imam (al-khuruj ‘an tha’at al-imam). Nabi SAW bersabda:
« مَنْ فَارَقَ
الْجَمَاعَةَ وَخَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ فَمَاتَ فَمِيتَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ »
Siapa saja
yang memisahkan diri dari jamaah dan keluar dari ketaatan (kepada khalifah)
lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah. (HR.
Ahmad dari Abu Hurairah)
Pembangkangan kepada imam itu
tidak harus dalam bentuk mereka memulai terlebih dahulu angkat senjata. Itulah
yang menjadi ijmak sahabat dalam kasus pembangkangan sekelompok orang arab
untuk menunaikan zakat kepada Abu Bakar.
Tentang perang Abu Bakar ra terhadap orang-orang yang tidak mau membayar
zakat karena kebakhilan mereka atau karena syubhat anggapan mereka bahwa mereka
tidak wajib bayar zakat kecuali kepada orang yang doanya membuat mereka
tenteram yaitu Nabi saw sedangkan Beliau sudah wafat sehingga mereka tidak
harus membayarnya, Imam asy-Syafii di dalam al-Umm (II/215) menyatakan,
“siapa yang tidak mau menunaikan apa yang telah diwajibkan oleh Allah SWT
sementara imam tidak mampu mengambilnya karena pembangkangan mereka, maka imam
memeranginya…. Jika membangkang menunaikannya
atau yang lain dengan berkelompok (jamaah) dan jika dikatakan kepada mereka
“tunaikan ini” mereka menjawab: “saya tidak akan menunaikannya, dan saya tidak
akan memulai perang kecuali kamu memerangi saya, maka mereka diperangi. Sebab tidak lain dia diperangi atas
pembangkangan dari hak (kewajiban) yang wajib ditunaikan.”
Mengenai yang dimaksud dengan
imam, Abdul Qadir Audah menegaskan, “[Yang dimaksud] Imam, adalah pemimpin
tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra`is
ad-dawlah al-islamiyah al-a’la), atau orang yang mewakilinya...” (Tasyrî’ al-Jinâ`iy II, hal. 676).
Dengan demikian, pembangkangan kepada kepala negara
yang bukan khalifah, misalnya kepada presiden dalam sistem republik, perana
menteri dalam sistem parlementer, tidak dapat disebut bughât, dari segi
mana pun, menurut pengertian syar’i yang sahih.
Orang-orang yang melakukan bughât itu harus mempunyai kekuatan yang memungkinkan mereka
untuk mendominasi. Kekuatan ini haruslah sedemikian rupa, sehingga untuk
mengajak golongan bughat ini kembali taat, khalifah harus mengerahkan segala
kesanggupannya, misalnya mengeluarkan dana besar, menyiapkan pasukan, dan
mempersiapkan perang (al-Husaini, Kifayatul
Akhyar, II/197). Kekuatan itu bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang
banyak (al-katsrah) dan adanya kekuatan
(al-quwwah), serta adanya pemimpin
yang ditaati (Zakariyya al-Anshari, Asna
al-Mathalib, IV/111).Itu artinya kekuatan itu terwujud ketika mereka yang
melakukan bughât itu berkelompok sebagai tha`ifah.
Hal itu ditegaskan dalam QS
al-Hujurat: 9, pada lafazh “wa in
thâ`ifatâni …”.Kata “thâ`ifah” artinya adalah al-jama’ah
(kelompok) dan al-firqah (golongan)
(Anis, Al-Mu’jamul Wasith, hal. 571).
Ayat tersebut menggunakan kata syarat “in” yang memberikan pengertian
jika bukan thaifah maka tidak bisa diberlakukan keseluruhan hukum dalam ayat
ini. Karena itu istilah bughât
tidak bisa diberlakukan terhadap individu.
Taqiyuddin al-Husaini mengatakan,”...jika
(yang memberontak) itu adalah individu-individu (afrâdan), serta mudah
mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughât.” (Kifayatul Akhyar II, hal. 198).
Sedangkan
tentang al-khurûj (penentangan) mengggunakan
senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya, dasarnya adalah lafazh “iqtatalû” (kedua golongan itu
berperang) dalam QS al-Hujurat: 9. Ini mengisyaratkan adanya sarana yang
dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silâh).
Selain itu Nabi SAW juga bersabda :
« مَنْحَمَلَعَلَيْنَاالسِّلاَحَفَلَيْسَمِنَّا
»
Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah
golongan kami.(Muttafaqun ‘alayhi)
Ayat
diatas telah menyatakan bahwa hukuman terhadap pelaku bughat adalah diperangi
sampai mereka kembali kepada perintah Allah, yaitu kembali taat kepada khalifah
atau negara dan menghentikan pembangkangan mereka. Namun sebelum sampai kepada perang tersebut,
imam atau khalifah harus mengontak mereka dan menanyakan apa yang mereka tuntut
dari negara. Jika mereka menyebutkan
kezaliman maka kezaliman itu harus dihilangkan.Jika mereka mengklaim suatu
syubhat maka syubhat tersebut harus dibongkar dan dijelaskan.Jika mereka
menilai apa yang dilakukan oleh khalifah (negara) menyalahi kebenaran atau
syara’, padahal tidak demikian halnya, maka harus dijelaskan kesesuaian
tindakan dan kebijakan khalifah atau negara dengan syariah dan nas-nasnya serta
harus ditampakkan kebenarannya.Semua itu harus dilakukan sampai taraf dianggap
cukup.Jika mereka yang melakukan bughât itu tetap dalam pembangkangan,
maka mereka diperangi agar kembali taat.Namun harus diingat, perang terhadap
mereka adalah perang dalam rangka memberi pelajaran (qitâl at-ta`dîb)
bukan perang untuk memusnahkan.Perang terhadap mereka bukan merupakan jihad.Jadi
harta mereka bukan fa’i dan tidak boleh dirampas dan dibagi-bagi.Mereka yang
tertawan tidak diperlakukan sebagai tawanan, melainkan diperlakukan sebagai
pelaku kriminal. Wanita dan anak-anak
mereka yang turut di medan perang tidak boleh dijadikan sabi.
Semua itu menunjukkan pentingnya kesatuan negara dan
persatuan umat. Siapa saja yang mengancam kesatuan negara dan persatuan umat
Islam itu artinya mengancam eksistensi negara dan umat yang sama saja mengancam
eksistensi Islam. Karena itu siapa hendak memecah belah persatuan umat itu
harus disikapi dengan keras. Nabi saw bersabda:
«مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ
يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ»
“Siapa saja yang mendatangi kalian dan urusan kalian
berhimpun pada satu orang (imam/khalifah), ia ingin memecah belah persatuan
kalian maka bunuhlah dia”(HR Muslim)
Begitu pula, apabila ada pihak kafir penjajah yang berupaya
memporak-porankan kesatuan umat Islam maka tidak boleh didiamkan. Allah SWT melarang umat Islam memberikan
peluang kepada orang kafir untuk menguasai kaum Muslim. Allah SWT berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ
اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan sekali-kali
Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai
orang-orang Mukmin”. [TQS An Nisaa:141].
Bahkan, negara kafir yang hendak menguasai
negeri Muslimdan hendak menimbulkan fitnah di dalam negeri maka dilawan dengan
jihad.Khalifah akan menyerukan jihad melawan mereka. Allah SWT berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ
فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى
الظَّالِمِينَ
Perangilah mereka sehingga
tidak ada lagi fitnah (kekufuran) dan adalah agama bagi
Allah semata-mata. (QS al-Baqarah:193).
Dengan menerapkan hukum-hukum syariat Islam tersebut,
kesatuan umat Islam terjaga, negara pun terpelihara. Selain itu, upaya untuk menghancurkan
kesatuan umat baik datang dari dalam maupun dari luar akan dapat teratasi. Bila ini terjadi, maka yang akan merasa
tenang dan tentram bukan hanya umat Islam melainkan juga nonMuslim yang hidup
bersama umat Islam. Namun, sekali lagi,
penerapan hukum syariat Islam secara kaffah-lah yang dapat membawa rahmat bagi
seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Dan, penerapan Islam secara kaffah ini hanya akan dapat diterapkan
dengan sempurna dengan adanya khilafah. Jadi berdasarkan semua itu
syariah dan khilafah akan mewujudkan islam rahmatan lil ‘alamîn. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [ ]
0 komentar:
Posting Komentar