Oleh: Asep
Kurniawan, S.Pd
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka perbuat".
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung.(TQS ANNUR : 30-31)
59. Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS AL ANBIYA: 59)
Saat
ini banyak sekali kita jumpai kaum Muslimah, baik remaja maupun dewasa
mengenakan pakaian Muslimah dengan berbagai warna, corak dan model. Jika kita
cermati, tidak semua kaum Muslim memiliki pandangan yang jelas tentang pakaian
Muslimah. Faktanya, banyak wanita yang mengenakan kerudung hanya menutupi
rambut saja, sedangkan leher dan sebagian lengan masih tampak. Ada juga yang
berkerudung tetapi tetap memakai busana yang ketat, misalnya, sehingga lekuk
tubuhnya tampak. Yang lebih menyedihkan adalah ada sebagian kalangan yang masih
ragu terhadap pensyariatan Islam tentang pakaian Muslimah ini.
Di
samping itu, masih banyak juga di yang memahami secara rancu kerudung dan
jilbab. Tidak sedikit yang menganggap bahwa jilbab adalah kerudung dan
sebaliknya. Padahal, jilbab dan kerudung adalah dua perkara yang berbeda.
Menutup Aurat
Menutup
aurat dan pakaian Muslimah ketika keluar rumah merupakan dua
pembahasan yang terpisah, karena Allah Swt. dan Rasul-Nya memang telah
memisahkannya. Menutup aurat merupakan
kewajiban bagi seluruh kaum Muslim, laki-laki dan perempuan. Untuk kaum Muslimah, Allah Swt. telah mengatur ihwal menutup aurat
ini al-Quran surat an-Nur ayat 31:
]وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ[
Katakanlah kepada wanita yang
beriman, “Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan memelihara kehormatannya; janganlah mereka menampakkan
perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak padanya. Wajib atas mereka menutupkan
kain kerudung ke dadanya. (QS an-Nur [24]: 31).
Frasa
mâ zhahara minhâ (yang biasa tampak padanya) mengandung pengertian wajah
dan kedua telapak tangan. Hal ini dapat
dipahami dari beberapa hadis Rasulullah saw., di antaranya: Pertama,
hadits penuturan ‘Aisyah r.a. yang menyatakan (yang artinya):
Suatu ketika
datanglah anak perempuan dari saudaraku seibu dari ayah ‘Abdullah bin Thufail
dengan berhias. Ia mengunjungiku, tetapi tiba-tiba Rasulullah saw. masuk seraya
membuang mukanya. Aku pun berkata kepada
beliau, “Wahai Rasulullah, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan
tanggung.” Beliau kemudian bersabda, “Apabila seorang wanita telah balig, ia
tidak boleh menampakkan anggota badannya kecuali wajahnya dan ini.” Ia berkata
demikian sambil menggenggam pergelangan tangannya sendiri dan dibiarkannya
genggaman telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan
yang lainnya). (HR
Ath-Thabari).
Kedua, juga hadits penuturan ‘Aisyah r.a.
yang menyakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«قَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ
الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ
هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ»
Wahai Asma’,
sesungguhnya seorang wanita, apabila telah balig (mengalami haid), tidak layak
tampak dari tubuhnya kecuali ini dan ini (seraya menunjuk muka dan telapak
tangannya). (HR
Abu Dawud).
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa yang biasa tampak adalah muka dan
kedua telapak tangan, sebagaimana dijelaskan pula oleh para ulama, bahwa yang
dimaksud adalah wajah dan telapak tangan (Lihat: Tafsîr
ash-Shabuni, Tafsîr Ibn Katsîr). Ath-Thabari
menyatakan, “Pendapat yang paling kuat dalam masalah itu adalah
pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa tampak adalah muka dan
telapak tangan.” (Tafsîr
ath-Thabari).
Jelaslah bahwa seorang Muslimah wajib untuk menutupi seluruh tubuhnya,
kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
Artinya, selain wajah dan telapak tangan tidak boleh terlihat oleh
laki-laki yang bukan mahram-nya.
Pakaian Wanita dalam Kehidupan Umum (di luar rumah)
Selain aturan tentang menutup aurat,
Allah Swt. pun memberikan aturan yang sama rincinya tentang pakaian wanita
dalam kehidupan umum, yaitu jilbâb (jilbab, abaya) dan khimâr
(kerudung).
Dalam kesehariannya, wanita tidak
menutup kemungkinan untuk keluar rumah untuk memenuhi hajatnya; ke pasar, ke
mesjid, ke rumah keluarga dan kerabatnya, dan lain-lain. Kondisi ini memungkinkan terjadinya interaksi
atau pertemuan dengan laki-laki. Islam menetapkan, ketika seorang wanita ke
luar rumah, ia harus mengenakan khimâr (kerudung) dan jilbab.
Allah Swt. berfirman:
]وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ[
Hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung (khimâr) ke dada-dada mereka. (QS an-Nur [24]: 31).
Dari ayat ini tampak jelas, bahwa wanita
Muslimah wajib untuk menghamparkan kerudung hingga menutupi kepala, leher, dan juyûb
(bukaan baju) mereka.
Sementara itu, mengenai jilbab, Allah
Swt. berfirman dalam ayat yang lain:
]يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ
ِلأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ
جَلاَبِيبِهِنَّ[
Hai Nabi,
katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang
Mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. (QS al-Ahzab [33]: 59).
Kata jalâbîb yang terdapat dalam
ayat tersebut adalah jamak dari jilbâb.
Secara bahasa, jilbab adalah sejenis mantel atau baju yang serupa dengan
mantel (Lihat: Kamus al-Muhith). Menurut beberapa pendapat ulama tafsir,
pengertiannya adalah sebagai berikut:
1.
Kain penutup atau baju luar/mantel yang
menutupi seluruh tubuh wanita. (Tafsîr Ibn ‘Abbas, hlm, 137).
2.
Baju
panjang (mulâ’ah) yang meliputi seluruh tubuh wanita. (Imam
an-Nawawi, dalam Tafsîr Jalalyn, hlm. 307).
3.
Baju luas yang menutupi seluruh
kecantikan dan perhiasan wanita. (Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafâsîr,
jld. 2, hlm. 494)
4.
Pakaian seperti terowongan (baju panjang
yang lurus sampai ke bawah) selain kerudung. (Tafsîr Ibn Katsîr).
5.
Intinya, Allah memerintahkan kepada Nabi
agar menyeru istri-istrinya, anak-anak wanitanya, dan wanita-wanita Mukmin
secara umum—jika mereka keluar rumah untuk memenuhi hajatnya—untuk menutupi seluruh badannya,
kepalanya, dan juga juyûb mereka, yaitu untuk menutupi dada-dada mereka.
6.
Pakaian yang lebih besar dari khimâr
(kerudung). Ibn ‘Abbas dan Ibn Mas‘ud meriwayatkan, bahwa jilbab adalah ar-rada’u,
yaitu terowongan (pakaian yang lurus tanpa potongan yang menutupi seluruh
badan). (Tafsîr al-Qurthubi).
Lalu bagaimana keadaan wanita-wanita
pada masa Rasulullah saw. ketika mereka keluar rumah? Hal ini akan tampak dari
sebuah hadis berikut:
«قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى
الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ
فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ
يَا رَسُولَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا
أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا»
Kami, para
wanita, diperintahkan oleh Rasulullah untuk keluar pada saat Idul Fitri dan
Idul Adha, baik para gadis, wanita yang sedang haid, maupun gadis-gadis
pingitan. Wanita yang sedang haid
diperintahkan meninggalkan shalat serta menyaksikan kebaikan dan dakwah (syiar)
kaum Muslim. Aku bertanya, “ Ya
Rasulullah, salah seorang di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab.
Rasulullah saw. bersabda: Hendaklah
saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (HR Muslim).
Hadits di atas mengandung pengertian, bahwa ada salah seorang shahabiyah yang tidak memiliki pakaian (jilbab) untuk digunakan ke luar rumah; ia
hanya memiliki pakaian rumah. Rasulullah saw. sendiri telah memerintahkan
kepada semua wanita, bahkan wanita yang haid dan yang berada dalam pingitan
sekalipun, untuk keluar shalat Id dan menyaksikan syiar/dakwah Islam. Lalu kemudian wanita tersebut mengadukan kondisi
dirinya. Rasulullah saw. kemudian memerintahkan kepada wanita-wanita yang lain
untuk meminjamkan pakaian luarnya kepada wanita tersebut agar wanita tersebut
bisa keluar rumah untuk memenuhi seruan beliau.
Ayat al-Quran berikut lebih menguatkan
hadits di atas:
]وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ يَرْجُونَ
نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ
مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ[
Perempuan-perempuan
tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada keinginan untuk
menikah lagi, tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka (pakaian
luar) dengan tidak menampakkan
perhiasan. (QS
an-Nur [24]: 60).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa
wanita-wanita yang sudah mengalami menopouse boleh untuk menanggalkan jilbab
(pakaian luar)-nya. Akan tetapi, mereka tetap wajib untuk menutup auratnya.
Dari beberapa nash dan keterangan yang
disebutkan di atas, jelaslah bahwa jilbab adalah pakaian luar (menyerupai
mantel) yang luas dan tidak terputus (seperti terowongan) yang menutupi pakaian
rumah/pakaian sehari-harinya (al-mihnah) dan seluruh bagian tubuhnya
kecuali muka dan kedua telapak tangan.
Dengan demikian, jilbab dan kerudung
merupakan dua hal yang berbeda. Keduanya merupakan perkara yang diwajibkan oleh
Allah Swt. untuk dikenakan seorang Muslimah ketika hendak keluar rumah. Mudah-mudahan Allah Swt. memudahkan kita
untuk melaksanakan setiap kewajiban yang telah Allah tetapkan serta mengokohkan
iman kita dengan menjadikan kita senantiasa tunduk dan terikat dengan
hukum-hukum-Nya.
Pernyataan rancu seputar jilbab
1.
Jilbab
itu pakaian khas arab
Pandangan yang menyatakan bahwa jilbab adalah pakaian khas
dari arab, hal tersebut jelas keliru besar. Allah telah menetapkan kewajiban
mengenakan jilbab bagi seluruh kaum muslimah yang sudah baligh, hal tersebut
dapat kita lihat dengan jelas dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 59. Jika
pandangan yang menyatakan bahwa jilbab itu pakaian khas arab itu benar,
tentunya Allah tidak akan mencantumkan dalam al-Quran tentang kewajiban
mengenakan jilbab. Lagi pula di masa jahiliyah tidak ada bangsa arab yang
membudayakan jilbab. Justru adanya kewajiban jilbab adalah setelah datangnya
islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Maka dengan demikian, mengenakan jilbab
merupakan kewajiban mutlak yang diperintahkan oleh Allah SWT. Suatu kewajiban
jika dilaksanakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan akan berdosa.
2.
Jilbab
tidak selalu harus berbentuk gamis/abaya
Ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa jilbab itu tidak harus berbentuk
gamis/abaya, yang terpenting menutup aurat/menutup kulit.
Harus dipahami, bahwa jilbab adalah istilah yang berbahasa
arab, maka untuk mengetahui dan memahami hakikat jilbab, kita harus merujuk
kepada kebiasaan orang-orang arab dalam memaknai jilbab. Dalam berbagai tafsir
sudah dijelaskan bahwa yang disebut jilbab adalah pakaian berbentuk
gamis/abaya, bukan pakaian potongan yang hanya asal menutupi aurat (seperti
setelan baju dan rok atau baju dan celana).
Jika ada yang mengatakan bahwa jilbab itu tidak harus
berbentuk gamis/abaya, yang penting intinya adalah menutup aurat, maka
pernyataan tersebut adalah keliru dan
mengada-ngada sekaligus telah membuat hukum/aturan baru dalam islam. Dalam
menjalankan syariah islam tidak cukup hanya memperhatikan inti ataupun tujuan
dari penerapan syariah itu sendiri, akan tetapi harus diperhatikan juga
kaifiyah (tata-cara pelaksanaan), sabab, syarat, ‘azimah, rukhshah dan mani’.
Jika penerapan/pelaksanaan kewajiban syariah tersebut menuntut adanya
pemanfaatan suatu benda maka perlu diperhatikan juga wujud maupun bentuk benda
yang dituntut itu seperti apa.
Perlu ditegaskan bahwa masalah jilbab bukanlah masalah yang
boleh untuk berbeda karena tuntutan kewajiban untuk melaksanakannya sudah jelas
dan lafadz (kata) jilbab bukanlah lafadz yang musytrok (bermakna banyak), makna
jilbab hanya satu yaitu pakaian yang berbentuk abaya/gamis
Sumber Rujukan:
1.
Taqiyyuddin an-Nabhani, an-Nizhâm
al-Ijtimâ‘î fî al-Islâm, Darul Ummah.
2.
Tafsîr Ibn ‘Abbas.
3.
Tafsîr Ibn Katsîr.
4.
Tafsîr Jalâlayn.
5.
‘Ali ash-Shabuni, Ash-Shafwat
at-Tafâsîr,
6.
Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân.
0 komentar:
Posting Komentar