×

Selasa, 17 Januari 2017

HUKUMAN BAGI PENGHINA AL QURAN
(Sumber: https://hizbut-tahrir.or.id/2016/12/05/hukuman-mati-bagi-penghina-al-quran/)

Al-Quran adalah firman Rabb Yang Mahaagung. Keagungannya secara pasti (qath’i) disaksikan sendiri oleh firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْۖ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ {٤١} لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ {٤٢}
Sungguh orang-orang yang mengingkari al-Quran ketika al-Quran itu datang kepada mereka (mereka itu pasti akan celaka). Sungguh al-Quran adalah benar-benar kitab yang mulia. Tidak datang kepada al-Quran kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya. Al-Quran itu diturunkan dari Rabb Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji (QS Fushshilat [41]: 41-42).

Kalimat lakitâb[un] ’azîz[un] diawali dengan dua penegasan (tawkîd), lafal inna dan lâm al-ibtidâ’. Frasa ini menegaskan bahwa al-Quran adalah Kitab Suci-Nya yang mulia sekaligus meruntuhkan pengingkaran dan keraguan terhadapnya (al-khabar al-inkâri) dari Allah Yang Maha Terpuji.
Karena itu perbuatan menghina al-Quran jelas menyalahi firman-Nya yang qath’i sekaligus menghina Allah SWT sehingga dihukumi sebagai bentuk kekufuran.
Penghinaan atau penistaan, dalam bahasa Arab di antaranya diistilahkan al-istihzâ’, berasal dari kata kerja haza’a-yahza’u yang berkonotasi sakhira (menistakan)1. Istihzâ’ mengandung penghinaan terhadap pihak yang dihina disertai i’tiqâd (keyakinan atau maksud) menistakan.2 Ungkapan verbal yang mengandung penghinaan terhadap al-Quran yaitu terhadap mushafnya, ayat-ayatnya atau kandungannya—misalnya menyifati al-Quran sebagai alat berbohong dan menuduh ajarannya mengandung kebohongan—jelas termasuk perbuatan menistakan al-Quran al-’Azhîm dan pengembannya, yakni para ulama dan da’i.

Hukum Menghina al-Quran Ragamnya
Islam secara pasti mengecam keras perbuatan menghina al-Qur’an, baik terhadap mushaf, ayat-ayatnya maupun kandungannya. Di antara ayat al-Quran yang menjadi dalil para ulama menyoal penghina al-Quran adalah QS at-Taubah [9]: 65-66. Ibn Qudamah (w. 620 H), misalnya, menuturkan bahwa siapa saja mencaci Allah SWT telah kafir, sama saja dilakukan dengan senda gurau atau serius. Begitu juga orang yang mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya, para rasul-Nya, atau kitab-kitab-Nya.3
Hal senada ditegaskan al-Qadhi Iyadh (w. 544 H), “Ketahuilah, siapa saja yang meremehkan al-Quran, mushafnya atau bagian dari al-Quran, atau mencaci-maki al-Quran dan mushafnya…maka ia kafir (murtad) menurut ahli ilmu dengan konsensusnya.”4
Jelas, menghina al-Quran merupakan perbuatan kufur yang dikecam keras oleh Islam. Perbuatan tersebut adalah kemungkaran dan tindak kriminal yang wajib dicegah dan pelakunya wajib dikenai sanksi hukum Islam, sama saja pelakunya muslim atau non-Muslim, pejabat atau rakyat. Namun, wajib dipahami bahwa perbuatan tercela terhadap al-Quran tidak terbatas dalam konteks penghinaan terhadap al-Quran secarta verbal, tetapi juga mencakup perbuatan mendustakan atau mengabaikan ajarannya.
Al-Hafizh an-Nawawi merinci bentuk-bentuk kekufuran terhadap al-Quran: (1) Menghina al-Quran atau suatu bagian dari al-Quran; (2) Menghina mushaf atau melemparkan al-Quran ke tempat kotoran; (3) Mendustakan suatu hukum atau berita yang dibawa al-Quran; (4) Menafikan sesuatu yang telah ditetapkan al-Quran, menetapkan sesuatu yang telah dinafikan oleh al-Quran, atau meragukan sesuatu dari al-Quran, padahal ia tahu.
Segala bentuk penghinaan dan pengingkaran terhadap al-Quran ini, menurut al-Hafizh an-Nawawi, menjadikan pelakunya kafir.5 Semua itu tercakup pula dalam pengaduan Rasulullah saw. kepada Allah SWT atas kaum yang mencampakkan al-Quran:
وَقَالَ الرَّسُوْلُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوْا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوْرًا
Berkatalah Rasul, “Tuhanku, sungguh kaumku telah menjadikan al-Quran ini sebagai sesuatu yang dicampakkan (QS al-Furqan [25]: 30).

Para ulama tafsir merinci dua kemungkinan konotasi makna kata mahjûr[an]: berasal dari kata al-hajratau dari kata al-hujr. Kata al-hajr yakni at-tark (mencampakkan). Jadi, mahjûr[an] berarti matrûk[an], sesuatu yang dicampakkan; dengan tidak mengimani, tidak mau menerima atau tidak mengamalkan ajarannya.6 Adapun kata al-hujr, yakni kata-kata keji.7 Maksudnya, perkataan yang batil dan keji terhadap al-Quran, seperti stigma sihir atau syair.8
Para ulama lalu merinci sikap dan perilaku yang dikategorikan sebagai hajr al-Qur’ân (mencampakkan al-Quran) di antaranya: menolak untuk mengimani dan membenarkan al-Quran; tidak mau men-tadaburi dan memahami al-Quran; tidak mengamalkan dan mematuhi perintah dan larangannya; berpaling dari al-Quran, di antaranya dengan mengambil jalan hidup lainnya.9
Dalam kondisi saat ini, menegakkan sistem hukum jahiliah yang menyalahi QS. al-Maidah [5]: 50 dan menyokong kepemimpinan jahiliah yang menyalahi QS al-Maidah [5]: 51, termasuk perbuatan mengabaikan al-Quran yang wajib dihindari dengan segenap kemampuan.

Sikap Ulama Terhadap Penistaan al-Quran
Berinteraksi dengan al-Quran al-Karîm membutuhkan ilmu dan adab. Keduanya dipahami umat dari para ulama yang merupakan Ahlul Quran dan pewaris para nabi. Umat menjadikan ulama sebagai rujukan dalam upaya meneladani Nabi saw. ketika memuliakan al-Quran dan menghadapi penghinaan terhadap al-Quran.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Bertanyalah kalian kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak tahu (QS al-Anbiya’ [21]: 7).

Kedudukan ulama sebagai rujukan merupakan posisi strategis dalam upaya membangun kesadaran umat. Ulama wajib menunaikan tugasnya mengadopsi permasalahan umat dan memahamkan mereka dengan solusi Islam, termasuk dalam menghadapi kasus penghinaan terhadap al-Quran. Ghîrah yang ditanamkan dalam diri umat tak boleh berhenti dalam menghadapi penghinaan terhadap al-Quran saja. Umat juga harus menyoal penegakkan hukum-hukum al-Quran, yang secara sistematis disisihkan dalam pengaturan kehidupan saat ini yang sekularistik. Karena itu peran para ulama sangat dibutuhkan dalam membangun kesadaran politik umat untuk membumikan al-Quran dalam kehidupan sebagai jawaban atas konsekuensi keimanan.
Para ulama harus bersikap teguh dalam mengoreksi penguasa. Mereka harus menuntut penguasa untuk menegakkan sistem Islam dan hukum-hukumnya, termasuk menerapkan sanksi hukum Islam atas penghina al-Quran. Dalam hal ini para ulama tidak boleh takut celaan para pencela atau tergiur harta dunia yang fana. Peranan inilah yang digambarkan dalam nasihat al-Hasan al-Bashri r.a. (w. 110 H):
وَلَوْلاَ الْعُلَمَاءُ لَكَانَ النَّاسُ كَالْبَهَائِمِ
Kalaulah bukan karena ulama, sungguh manusia bagaikan binatang.10

Kewajiban Memuliakan al-Quran
Kemuliaan umat manusia sejalan dengan sikap mereka memuliakan al-Quran. Memuliakan al-Quran yakni menempatkan al-Quran sesuai kedudukan dan fungsinya, mencakup memuliakan mushafnya, ayat-ayatnya serta kandungannya. Sikap yang dibangun tidak sebatas ghîrah (cemburu, tidak ridha) ketika ada orang yang menghina al-Quran, tetapi juga harus diwujudkan dalam bentuk riil, yaitu mengamalkan al-Quran dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat dan bernegara. Pasalnya, al-Quran merupakan pedoman hidup manusia, bukan hiasan yang menghiasi rak semata. Dalam banyak ayat-Nya, Allah menegaskan kedudukan al-Quran sebagai petunjuk hidup manusia (hud[an] li an-nâs):
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
Kami menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Quran) sebagai penjelasan atas segala sesuatu; sebagai petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi kaum Muslim (QS an-Nahl [16]: 89).

Rasulullah saw. pun berpesan:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»
Wahai umat manusia, sungguh aku telah meninggalkan bagi kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).

Imam al-Munawi (w. 1031 H) menjelaskan bahwa al-Quran dan as-Sunnah merupakan perkara prinsipil. Tidak ada seseorang pun yang boleh berpaling dari keduanya. Tidak ada yang bisa meraih petunjuk kecuali dari petunjuk keduanya. Seseorang terpelihara dari kemaksiatan serta keberhasilan bisa diraih adalah dengan berpegang teguh pada keduanya. Karena itu kewajiban kembali pada al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan hal yang diketahui sebagai bagian dari agama ini secara pasti.11
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa memuliakan al-Quran bermakna:
  1. Memuliakan mushafnya dengan memenuhi adab-adab dalam berinteraksi dengan al-Quran.
  2. Memuliakan ayat-ayat dan kandungannya dengan mengimani, membaca, mempelaja-ri, mentadaburi dan mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat dan bernegara.

Kedua poin di atas benar-benar bisa ditegakkan ketika tegak sistem al-Quran, yakni Al-Khilâfah ’ala Minhâj al-Nubuwwah. Kepemimpinan Khalifah inilah yang menunaikan fungsi ri’âyah, mengatur umat dengan syariah Islam dan menjadi junnah (perisai) yang menjaga kehormatan Islam dan kaum Muslim. Kalau bukan ulama dan umatnya, siapa yang akan memperjuangkan penegakkan kembali Khilafah ini? [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I (LTS HTI Kab. Sukabumi)]

Catatan kaki:
1      Muhammad al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet. I, 2001, VI/196.
2      Abu Hilal al-‘Askari, Al-Furûq al-Lughawiyyah, Kairo: Dâr al-‘Ilm wa al-Tsaqâfah, t.t., hlm. 254.
3      Ibnu Qudamah, Al-Mughni fî Fiqh al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1405 H, X/103.
4      ‘Iyadh bin Musa, Asy-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-Mushthafâ, Oman: Dâr al-Fuyahâ’, cet. II, 1407 H, II/646.
5      An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, Beirut: Dâr al-Fikr, II/170.
6      Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1412 H, IX/305.
7      Ar-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Qalam, cet. I, 1412 H, I/833.
8      Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1420 H, XIX/264.
9      Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Dâr Thayyibah, cet. II, 1420 H, VI/108.
10      Ibn al-Jauzi, Âdâb al-Hasan al-Bashri, Dâr al-Nawâdir, cet. III, 1428 H, I/58.
11      ‘Abdur Rauf al-Munawi, At-Taysîr bi Syarh al-Jâmi’ ash-Shaghîr, Riyadh: Maktabat al-Imâm al-Syâfi’i, cet. III, 1408 H, I/447.

0 komentar:

Posting Komentar

 
×
Judul