×

Kamis, 19 Januari 2017

KOPERASI DALAM PANDANGAN ISLAM

Koperasi (al-jam’iyah at-ta’âwuniyah atau asy-syirkah at-ta’âwuniyah) merupakan bentuk organisasi bisnis baru, berasal dari Barat (Eropa), yang masuk ke tengah umat Islam. Menurut The Statement on the Cooperative Identity the International Cooperative Alliance (ICA), Koperasi adalah kumpulan otonom dari orang-orang yang bergabung secara sukarela untuk merealisasikan kebutuhan dan aspirasi bersama yang bersifat ekonomi, sosial dan budaya melalui badan usaha yang dimiliki secara bersama dan dikontrol secara demokratis.
Menurut UU Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 1, Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Sebagai organisasi bisnis, koperasi memiliki beberapa sifat spesifik yang membedakan dirinya dengan organisasi bisnis yang lain. Di antaranya adalah:
a. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka untuk semua orang tanpa diskriminasi. Anggotanya bisa mengundurkan kapan saja sesuai syarat dalam Anggaran Dasar.
b. Pengelolaan dilakukan secara demokratis, yakni berdasarkan kehendak dan keputusan para anggota yang dirumuskan dalam rapat anggota; setiap anggota memiliki satu suara tanpa memperhatikan kepemilikan modalnya.
c. Pembagian sisa hasil usaha (SHU) dilakukan secara adil menurut besarnya jasa usaha tiap anggota. Jadi pembagian SHU tidak semata-mata berdasarkan modal, tetapi berdasarkan perimbangan jasa usaha tiap anggota kepada Koperasi.
d. Balas jasa terhadap modal bersifat terbatas. Sebab, modal dalam koperasi pada dasarnya digunakan untuk kemanfaatan anggota dan bukan sekadar mencari keuntungan. Menurut UU No 25 th. 1992,terbatas itu maksudnya adalah wajar, dalam arti, tidak melebihi suku bunga yang berlaku dipasar.
e. Pembentukan dana cadangan, baik dari sebagian laba yang disisihkan sebelum dibagi, atau dari laba yang berasal dari transaksi dengan bukan anggota. Dana cadangan ini dimaksudkan untuk pemupukan modal sendiri, atau untuk menutup kerugian.

Sampai saat ini, tidak ada konsensus yang baku tentang sharing kerugian koperasi. Sebagian mengatakan, kerugian ditanggung anggota terbatas pada modal yang disetor. Sebagian lain mengatakan, kerugian ditanggung bersama oleh anggota secara adil; anggota tak mampu dibebaskan dari menanggung kerugian itu. Yang jelas kerugian itu pertama-tama ditutup dengan dana cadangan.
Selain itu, koperasi digambarkan sebagai badan usaha yang berwatak sosial sekaligus sebagai organisasi sosial yang berbisnis. Koperasi dibentuk bukan semata demi keuntungan finansial, tetapi juga untuk membantu anggotanya atau menjamin kepentingan ekonomi anggotanya.
Sebagai sebuah organisasi, koperasi harus mempunyai organ: a. rapat anggota sebagai pemegang kuasa tertinggi; b. Pengurus; c. pengawas.Pengurus dan pengawas dipilih dalam rapat anggota.
Pembentukan koperasi dilakukan melalui rapat pembentukan yang diikuti oleh para calon anggota. Rancangan Anggaran Dasar (AD) yang sudah dibuat diajukan dalam rapat tersebut untuk disetujui. Ketika AD itu disetujui, maka koperasi itu berdiri dan siapa saja yang membubuhkan persetujuan terhadap AD itu menjadi anggota koperasi tersebut. Sesuai UU No. 25 Th. 1992, untuk koperasi primer minimal anggotanya 20 orang dan untuk koperasi sekunder minimal tiga koperasi primer. Selanjutnya dilakukan rapat anggota yang pertama untuk memilih pengurus dan pengawas koperasi serta merumuskan hal-hal diperlukan untuk menjalankan koperasi. Pada saat rapat pembentukan itu, akta pendirian koperasi pun dibuat dan disahkan di hadapan notaris. Akta pendirian koperasi adalah surat keterangan tentang pendirian koperasi yang berisi pernyataan dari para kuasa pendiri yang ditunjuk dan diberi kuasa dalam suatu rapat pembentukan koperasi untuk menandatangani anggaran dasar. Setelah itu barulah diajukan permohonan badan hukum kepada pejabat/instansi terkait.

Hukum Koperasi
Koperasi merupakan organisasi bisnis dalam bentuk syirkah (persekutuan).Untuk mengetahui status hukum syariah koperasi, pertama-tama harus dilihat dari aspek hukum syariah tentang akad dan syirkah. Secara syar’i, koperasi bukanlah syirkah al-amwâl. Koperasi bukan persekutuan atas pemilikan satu harta/properti tertentu, melainkan tiap anggota menyetor modal yang kemudian digabungkan dan diputar dalam suatu bisnis. Karena itu pendapat yang menganggap koperasi adalah boleh karena merupakansyirkah al-amwâl adalah tidak tepat.
Jika ditelaah menggunakan hukum syariah, tampak bahwa akad koperasi itu adalah batil sekaligus mengandung syarat yang fasid (Lihat: An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, hlm. 178-181, edisi muktamadah, 2004).Alasannya: Pertama, dari aspek akad syirkahSyirkah dalam Islam adalah akad antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan aktivitas yang bersifat finansial (aktivitas bisnis) dengan maksud mendapat laba. Aktivitas syirkah itu harus berlangsung/berasal dari syarik (mitra). Karena itu, di dalam akad syirkah itu harus ada unsur badan, yaitu ada yang berposisi sebagai pengelola. Adanya unsur badan ini menentukan ada tidaknya syirkah. Hal ini tidak terpenuhi di dalam akad koperasi. Sebab, yang ada adalah kesepakatan untuk menyetor modal tertentu dengan tujuan untuk mengadakan pengurus yang menjalankan aktivitas koperasi. Kesepakatan syirkah itu hanya terjadi pada harta mereka, sama sekali tidak terjadi pada badan mereka. Jadi, koperasi itu kosong dari unsur badan sehingga secara syar’isyirkah-nya tidak terbentuk atau tidak ada.
Kedua, Secara syar’i, aktivitas bisnis itu merupakan obyek akad syirkah dan itu merupakan rukun akad. Di dalam akad Koperasi yang terjadi hanya kesepakatan untuk menyetor modal, tidak terjadi kesepakatan untuk melakukan aktivitas bisnis. Secara syar’i akad Koperasi itu kosong dari obyek akad, artinya tidak memenuhi rukun akad syirkah yang syar’i. Karena itu akad Koperasi adalah batil.
Ketiga, dalam pembentukan koperasi yang ada adalah negosiasi atas syarat-syarat (AD). Lalu siapa yang setuju secara sukarela boleh membubuhkan persetujuannya dan dengan itu ia menjadi anggota dan pendiri. Saat semua pendiri sudah membubuhkan persetujuannya, berdirilah koperasi itu. Jadi, semuanya hanya menyatakan persetujuan atau qabul, tidak ada yang menyatakan ijab. Keikutsertaan tiap orang itu semata didasarkan pada kehendak sepihak dari masing-masing. Anggota lainnya tidak ditanya apakah menyetujuinya atau tidak. Kalaupun sebagian tidak setuju seseorang menjadi anggota, maka hal itu tidak berpengaruh dan orang itu tetap menjadi anggota selama ia secara sukarela membubuhkan persetujuannya atas AD itu. Jadi, di situ tidak ada ijab-qabul, sebab yang ada hanya qabul saja. Padahal salah satu rukun akad yang syar’i itu harus ada ijab-qabul. Itu artinya harus ada kehendak bersama (irâdah musytarakah), bukan kehendak sepihak (irâdah munfaridah). Dengan begitu maka akad koperasi itu dalam pandangan Islam adalah batil.
Keempat, secara syar’i, andil seorang syarîk (mitra) itu berupa harta dan/atau tenaga. Karena itu, pembagian laba harus berdasarkan modal atau tenaga itu. Dalam pandangan Islam, setiap syarat yang menyalahi ketentuan syariah, termasuk menyalahi konsekuensi akad, adalah syarat yang fasid. Dalam koperasi, syarat pembagian laba adalah menurut jasa anggota baik dalam bentuk produksi, penjualan, pembelian, dsb; bukan berdasarkan modal atau kerja. Jelas ini menyalahi konsekuensi syar’i akad syirkah itu. Hal itu merupakan syarat yang fasid sehingga tidak boleh.
Dengan demikian koperasi dalam pandangan Islam adalah batil dan syirkah-nya dianggap tidak pernah terbentuk atau tidak pernah ada. Semua tasharrufkoperasi itu adalah batil. Semua harta yang diperoleh melalui koperasi itu juga harta batil yang diperoleh dengan tasharruf yang batil sehingga tidak halal untuk dimiliki.
Semua itu jika: Pertama, koperasi itu adalah koperasi yang hakiki seperti yang dideskripsikan di atas. Jika merupakan syirkah yang dibentuk sesuai dengan hukum syirkah dalam Islam—baik InanAbdanMudharabahWujuhatau Mufawadhah—lalu dinamai koperasi atau didaftarkan sebagai badan hukum koperasi, maka tasharruf-nya adalah sah dan bertransaksi dengannya adalah boleh.
Kedua, jika koperasi yang hakiki itu para pendirinya adalah Muslim atau mayoritasnya Muslim. Sebab, status batil dan haram itu mengikat bagi Muslim dan tidak mengikat bagi non-Muslim. Artinya, jika koperasi itu para pendirinya non-Muslim atau mayoritasnya non-Muslim, maka bertransaksi dengan koperasi itu adalah boleh.
Karena batil maka syirkah seperti ini tidak bisa diperbaiki, tidak boleh dilanjutkan, dan harus dihentikan. Untuk melanjutkan bisnis, maka harus dibentuk syirkah yang sama sekali baru, yaitu dengan melakukan akad pembentukan syirkah baru yang memenuhi hukum tentang syirkah dalam Islam.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

0 komentar:

Posting Komentar

 
×
Judul