×

Selasa, 17 Januari 2017

PEGADAIAN DALAM PANDANGAN ISLAM

PEGADAIAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Secara harfiah, dalam bahasa Arab, pegadaian disebut rahn, dengan konotasi tsubut [tetap], dan dawam [kekal]. Juga bisa diartikan habs [ditahan]. Dalam al-Qur’an, istilah dengan konotasi tersebut digunakan:
“Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang telah dikerjakannya.” [TQS at-Thur: 21]
Dalam nash lain, Allah menyatakan: “Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang dikerjakannya.” [TQS al-Mudatstsir: 38]
Kata rahn, dan rahinah di dalam kedua nash di atas, mempunyai konotasi terikat, atau tidak bisa dilepaskan. Inilah konotasi rahn, secara harfiah.
Sedangkan secara syar’i, rahn adalah harta yang dijadikan sebagai jaminan utang, agar harga dari harta tersebut bisa digunakan untuk membayar utang, jika pengutangnya tidak mampu membayarnya. Rahn, dengan konotasi seperti ini diperbolehkan oleh syariah. Dasarnya adalah al-Kitab dan as-Sunah. Allah SWT berfirman:
“Jika kalian dalam bepergian [dan bertransaksi tidak secara tunai], sementara kalian tidak mempunyai seorang pencatat, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” [TQS al-Baqarah: 283]
Nabi SAW sendiri melakukannya, bahkan saat baginda SAW wafat, baju besi baginda masih menjadi agunan di tangan seorang Yahudi. Karena itu, hukum rahn, jelas boleh, baik berdasarkan Alquran maupun Sunnah.
Melakukan transaksi seperti juga diperbolehkan, baik ketika sedang bepergian, maupun tidak. Meski nash Alquran di atas menyatakan dalam konteks bepergian, tetapi tidak berarti hanya diperbolehkan saat bepergian. Karena Nabi SAW telah melakukan itu saat di Madinah, dan tidak sedang berada dalam perjalanan.
Dalam konteks ini, ada rahin [orang yang menggadaikan], murtahin [orang yang menerima agunan/jaminan], serta marhun [barang agunan/jaminan]. Barang yang diagunkan tersebut boleh dipegang oleh murtahin, jika memang bisa dipindahkan. Jika tidak, seperti rumah, tanah, atau barang-barang tidak bergerak lainnya, maka pihak rahin harus menghilangkan apapun yang menjadi penghalang antara marhun dengan murtahin.
Barang yang dijadikan agunan boleh dalam bentuk apapun, selama barang tersebut bisa dijual. Jika tidak, maka barang tersebut tidak boleh dijadikan agunan. Begitu juga, apapun barang yang boleh dijual, boleh dijadikan agunan. Sebaliknya, barang-barang yang haram dijual tidak boleh dijadikan agunan. Seperti babi, khamer, narkoba, harta wakaf, barang yang sedang digadaikan, dan lain-lain. Semuanya ini termasuk barang yang tidak boleh dijual.
Hanya saja, meski barang-barang agunan tersebut dipegang oleh murtahin, tidak berarti barang-barang agunan tersebut boleh dimanfaatkan sesukanya. Bahkan, sekalipun diizinkan oleh pemiliknya. Karena boleh dan tidaknya memanfaatkan barang agunan tersebut dikembalikan pada status utangnya. Apakah utangnya dalam bentuk dayn, atau qardh.
Jika utangnya dalam bentuk qardh, yaitu utang yang sudah jelas jumlah, nilai dan jenisnya, seperti uang dengan jumlah, nilai dan jenis tertentu, yang harus dikembalikan sama persis. Tidak boleh lebih. Jika ada kelebihan, berarti riba. Karena itu, status pemanfaatan guna barang agunan tersebut termasuk riba. Karenanya tidak boleh.
Namun, jika utangnya dalam bentuk dayn, yaitu utang dalam bentuk barang, dengan nilai tertentu, tetapi jenis dan jumlahnya tidak ada padanannya, seperti seekor kambing, yang bisa dikembalikan dengan berat yang lebih. Dalam konteks ini, maka guna barang agunan yang dipegang murtahin boleh dimanfaatkan. Karena kelebihannya tidak bisa disebut riba, sebab kelebihannya tidak bersifat tetap. [] HAR
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 184

0 komentar:

Posting Komentar

 
×
Judul