×

Selasa, 17 Januari 2017

Pelajaran Penting dari Aleppo: Umat Makin Butuh Khilafah

[Al-Islam No. 836 – 23 Rabi’ al-Awwal 1438 H – 23 Desember 2016 M]
(sumber: https://hizbut-tahrir.or.id/2016/12/25/pelajaran-penting-dari-aleppo-umat-makin-butuh-khilafah/)

Dunia kembali berduka. Kaum Muslim di Aleppo (Halab) Suriah dibantai secara keji oleh Rusia, pendukung utama rezim bengis Basar Assad, yang didukung penuh oleh Amerika dan sekutunya, khususnya Iran. Puluhan ribu Muslim dibantai secara mengenaskan. Ribuan Muslimah diperkosa dan dibunuh. Ribuan anak-anak tak berdosa pun tak luput menjadi korban keganasan rezim dan para pendukungnya. Puluhan ribu Muslim lainnya terpaksa menjadi pengungsi akibat serangan brutal Rusia terhadap wilayah Aleppo Timur. Serangan itu juga menghancurkan ribuan rumah, merontokkan ratusan madrasah, bahkan meluluhlantakkan puluhan rumah sakit. Warga Aleppo Timur melaporkan adanya penggunaan amunisi “cluster–bom (bom curah)”. “Bom curah” berisi ratusan bom-bom kecil yang meledak dan terbakar di wilayah yang luas sehingga membakar seluruh lingkungan yang dibom.
Menurut Duta Besar Prancis untuk PBB, Francois Delattre, Aleppo menjadi “salah satu tempat pembantaian terbesar terhadap penduduk sipil sejak Perang Dunia II”.
Alhasil, sejak Arab Spring terjadi 2011, di Suriah sudah lebih dari 500.000 orang terbunuh dan lebih dari 11 juta penduduknya mengungsi.
Kekejaman Rusia dan Makar Keji Amerika
Kehancuran Aleppo tidak terlepas dari kekejaman Rusia dan makar keji Amerika. Amerika paham, untuk menyelesaikan masalah Suriah melalui jalan perundingan sesuai dengan kepentingan Amerika, harus ada operasi militer yang ‘keras’ terlebih dulu. Tujuannya adalah untuk menundukkan rakyat Suriah dan kaum revolusioner yang enggan mengikuti rencana Amerika. Amerika juga paham bahwa pengambilalihan daerah-daerah penting sebelah timur Aleppo bukan akhir Revolusi Suriah. Amerika paham pula bahwa tahun-tahun revolusi yang panjang di Suriah ini telah memunculkan iklim islami yang berbahaya bagi kepentingan Amerika. Apalagi sebagian penduduk Suriah bukan hanya menghendaki pergantian rezim, tetapi juga menuntut penegakan sistem pemerintahan yang baru, yakni Khilafah, bukan demokrasi sekular sebagaimana yang dikehendaki Amerika. Maka dari itu Amerika berusaha keras untuk segera menghancurkan iklim islami ini.
Sekarang, kesempatan itu ada di Aleppo. Namun begitu, Amerika Serikat tidak mungkin melakukan tindakan militer secara langsung. Rusia ‘dimainkan’ oleh Amerika untuk dapat memuluskan apa yang dikehendaki negara adikuasa ini. Amerika lalu mendorong Rusia untuk mempercepat pengiriman satuan militer yang lebih mematikan. Amerika Serikat juga mendorong Iran untuk mendatangkan pasukan tambahan, khususnya ke wilayah Aleppo. Lalu terjadilah serangan brutal terhadap Aleppo.
Di sisi lain, Amerika berusaha memperlemah perlawanan sebagian besar front di Suriah dengan memberi mereka bantuan melalui Arab Saudi dan Turki. Front perlawanan bersama keluarganya didorong untuk dievakuasi keluar Aleppo menuju Idlib melalui bus-bus yang disediakan. Mereka dipahamkan bahwa Aleppo tidak mungkin dipertahankan; bahwa untuk meminimalisasi korban, kota harus ditinggalkan, tanpa perlawanan.
Amerikalah yang ada di balik operasi militer “Perisai Eufrat” yang digagas Turki, yang diklaim bertujuan memerangi ISIS. Target operasi ini adalah menarik faksi-faksi dari front Aleppo ke operasi “Perisai Eufrat” sehingga dapat memperlemah front Aleppo. Amerika jugalah yang mengatur berbagai perundingan faksi-faksi militer Suriah dengan Rusia dan Amerika. Amerika pun berada di balik mobilisasi Iran dan para pengikutnya (Al-‘Arabiya, 7/12/2016).
Pengkhianatan Penguasa Muslim
Jeritan umat Islam Aleppo semestinya dapat menyentuh hati sanubari para pemimpin negeri-negeri Muslim yang ada di sekitarnya. Namun ternyata, serangan brutal atas Aleppo tidak hanya mengungkap keburukan rezim Assad, Rusia dan Amerika; tetapi sekaligus mengungkap pengkhianatan Iran, Arab Saudi, dan Turki.
Iran melakukan aksi-aksi pembunuhan brutal melalui para tentaranya yang dikirim untuk mendukung rezim Bashar Assad. Arab Saudi memberikan bantuan dana kepada sebagian faksi perlawanan agar terlibat dalam perundingan khianat, yakni menyerahkan Aleppo tanpa perlawanan.
Adapun Turki berperan sebagai alat untuk memuluskan rencana-rencana Amerika. Turki berteriak tidak akan menghinakan Aleppo. Faktanya, Turki justru menghinakan Aleppo di depan mata. Bahkan kaki (militer) Turki yang tertanam di kawasan Aleppo tidak melindungi Aleppo; malah dialihkan dari Aleppo ke wilayah yang jauh! Turki pun berteriak makin keras tidak akan membiarkan “Pembantaian Hamma” yang kedua terjadi. Faktanya, “Pembantaian Hamma” yang kedua bahkan ketiga terjadi, tetapi Turki tidak bergerak sama sekali! Operasi “Perisai Eufrat” di Suriah yang dipimpin oleh militer Turki, yang berlangsung sejak 24/8/2016 itu, faktanya juga tidak dalam rangka menyelamatkan rakyat Suriah dari kekejaman rezim Assad, tetapi—sebagaimana dinyatakan Erdogan—menargetkan organisasi-organisasi teroris (TRT Arabic, 1/12/2016).
Pernyataan Erdogan ini ditegaskan lagi oleh perdana menterinya. Pada 7/12/2016, dalam kujungan ke Moskow, PM Turki Yildirim menyatakan dengan jelas—dalam wawancaranya dengan Kantor Berita Interfax Rusia—bahwa operasi “Perisai Eufrat” tidak terkait dengan kejadian-kejadian yang terjadi di pusat Kota Aleppo dan tidak ada hubungannya dengan operasi pergantian rezim Suriah (Al-Khaleej on line, 7/12/2016).
Umat Makin Butuh Khilafah
Tragedi Aleppo jelas bukan tragedi pertama yang menimpa umat Islam. Sebelum ini, bahkan hingga kini masih sedang berlangsung, adalah tragedi pembantaian umat Islam di Myanmar (Burma). Tragedi lainnya juga masih akan terus dialami oleh kaum Muslim di Xinjiang, Cina; Kashmir, India; di Afrika, Irak, Pakistan, Afganistan dan tentu di Palestina yang telah sekian puluh tahun menderita dijajah Israel yang didukung Amerika dan Eropa.
Dengan seabreg penderitaan umat di berbagai belahan dunia itu, khususnya yang dialami kaum Muslim Aleppo di Suriah saat ini, kita patut bertanya: siapa yang membela? Tidak ada. Apakah PBB? Tidak. Apakah para penguasa Arab dan Muslim? Juga tidak, kecuali sekadar pencitraan seperti menggalang bantuan kemanusiaan atau menampung para pengungsi. Lebih dari itu tidak dilakukan, seperti mengerahkan pasukan militer untuk menghentikan serangan brutal Rusia dan rezim Bassar Assad, sang penjagal Muslim Suriah. Padahal jarak Aleppo dengan Turki, misalnya, hanya 25 km. Setahun lalu Saudi memang menggagas pembentukan aliansi militer yang melibatkan 34 negara Muslim. Namun, kiprahnya tak terdengar sedikit pun saat kaum Muslim Myanmar dan kaum Muslim Aleppo dibantai seperti saat ini. Mengapa? Karena sejak awal aliansi ini dibentuk dalam rangka menangkal “terorisme” dalam makna yang dikehendaki Amerika dan Barat.
Sebagaimana biasa, lembaga internasional seperti PPB, juga para penguasa Muslim, sejauh ini hanya pandai mengecam dan mengutuk. Sebagian lagi—seperti penguasa negeri ini—diam seribu bahasa, bahkan menjalin hubungan kerjasama dengan Iran, yang notabene salah satu alat Amerika yang juga berperan dalam pembantaian kaum Muslim di Aleppo.
Alhasil, dengan semua tragedi yang menimpa umat Islam di berbagai belahan dunia ini, umat makin membutuhkan Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Mengapa? Sebabnya, kata Rasulullah saw.:
«إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»
Imam (Khalifah) itu laksana perisai; kaum Muslim diperangi (oleh kaum kafir) di belakang dia dan dilindungi oleh dirinya (HR Muslim).
Apa yang disabdakan Rasulullah saw. di atas dibuktikan dalam sejarah antara lain oleh Khalifah Al-Mu’tashim Billah yang sukses menaklukkan Kota Amuriyah, kota terpenting bagi imperium Romawi saat itu, selain Konstantinopel.
Al-Qalqasyandi dalam kitabnya, Ma’âtsir al-Inâfah, menjelaskan salah satu sebab penaklukan kota itu pada tanggal 17 Ramadhan 223 H. Diceritakan bahwa penguasa Amuriyah, salah seorang raja Romawi, telah menawan wanita mulia keturunan Fathimah ra. Wanita itu disiksa dan dinistakan hingga berteriak dan menjerit meminta pertolongan. Menurut Ibn Khalikan dalam Wafyah al-A’yan, juga Ibn al-Atsir dalam al-Kamil fi at-Tarikh, saat berita penawanan wanita mulia itu sampai ke telinga Khalifah Al-Mu’tashim Billah, saat itu sang Khalifah sedang berada di atas tempat tidurnya. Ia segera bangkit dari tempat tidurnya seraya berkata, “Aku segera memenuhi panggilanmu!” Tidak berpikir lama, Khalifah Al-Mu’tashim Billah segera mengerahkan sekaligus memimpin sendiri puluhan ribu pasukan kaum Muslim menuju Kota Amuriyah. Terjadilah peperangan sengit. Kota Amuriyah pun berhasil ditaklukkan. Pasukan Romawi bisa dilumpuhkan. Sekitar 30 tentaranya terbunuh dan 30 ribu lainnya ditawan oleh pasukan kaum Muslim. Sang Khalifah pun berhasil membebaskan wanita mulia tersebut. Sang Khalifah lalu berkata di hadapannya, “Jadilah engkau saksi untukku di depan kakekmu (Nabi Muhammad saw.), bahwa aku telah datang untuk membebaskan kamu.”
Semoga Allah SWT merahmati Al-Mu’tashim Billah. Semoga saja umat Islam di seluruh dunia segera memiliki pemimpin pemberani seperti Khalifah Al-Mu’tashim Billah yang akan menaklukkan Amerika, Eropa, Rusia dan Cina; menyatukan berbagai negeri Islam; menjaga kehormatan kaum Muslim; dan menolong kaum tertindas. Insya Allah, masa yang mulia itu akan segera tiba karena memang telah di-nubuwwah-kan oleh Rasulullah saw.:
«ثُمّ سَتَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»
Kemudian akan datang kembali masa Khilafah yang mengikuti metode kenabian (HR Ahmad). []
Komentar al-Islam:
Wali Kota Depok: Jangan Paksa Pegawai Muslim Pakai Atribut Natal (Republika.co.id, 20/12/2016)
  1. Tak selayaknya umat Islam dipaksa mengenakan simbol-simbol kekufuran.
  2. Umat Islam, sebagai penghuni mayoritas negeri ini, berhak menjalankan keyakinan mereka dengan bebas tanpa dikotori oleh keyakinan agama lain.
  3. Karena itu kita mendukung fatwa MUI yang melarang karyawan/karyawati Muslim mengenakan atribut Natal.

0 komentar:

Posting Komentar

 
×
Judul