×

Rabu, 18 Januari 2017

Murabahah yang Boleh dan Tidak

Transaksi murabahah saat ini berkembang. Sayangnya, banyak yang sekadar nama tapi faktanya jauh dari makna murabahah yang sebenarnya. Campur aduk dengan sistem kapitalis tulen.
Murabahah ini adalah istilah baru, yang digunakan dalam perbankan syariah. Istilah ini mempunyai dua konotasi: Pertama, akad jual-beli dengan cara kredit, atau utang. Kedua, akad pembiayaan. Tetapi, konotasi yang kedua lebih dominan ketimbang yang pertama.
Mengenai hukum murabahah, yang diperbolehkan dalam Islam sebenarnya berdiri di atas fakta jual beli yang dilakukan dengan utang dan cicilan, bukan pembiayaan. Nasabah sebagai pembeli dan bank sebagai penjual. Karena itu, seluruh ketentuan yang berlaku di dalam jual beli dan utang piutang berlaku dalam akad murabahah ini. Misalnya, tidak diperbolehkannya jual beli terhadap barang yang belum dimiliki, termasuk hak khiyar dalam jual beli, antara meneruskan dan membatalkan jual beli.
Ini berbeda, jika status akad yang dinyatakan sebagai akad murabahah ini merupakan akad pembiayaan, sehingga fakta yang berlaku di dalamnya adalah utang piutang murni, minus jual beli. Seperti tidak adanya hak khiyar, antara membatalkan dan meneruskan akad.
Sebagaimana ketentuan dalam akad jual-beli dengan cara kredit atau utang, barang yang dijual adalah barang yang telah menjadi milik penjual. Harga yang diakadkan antara penjual dan pembeli adalah harga yang disepakati dengan skema utang atau kredit. Setelah itu, tidak ada lagi pinalti, atau yang lain. Secara umum, ketentuan jual-beli berlaku di sini, di mana barang yang dibeli diberikan tunai, sedangkan pembayarannya diangsur, sesuai dengan kesepakatan para pihak. Inilah fakta jual-beli dengan kredit, atau bai’ bi ad-dain wa taqsith. Jika konteks yang dimaksud dengan murabahah adalah akad seperti ini, maka boleh.
Tetapi, kenyataannya akad murabahah yang dipraktikkan bank tidak seperti ini. Karena itu, jika ada yang menyatakan, Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya” ini seharusnya tidak boleh ada, sebab ini bertentangan dengan fakta bank sebagai penjual, yang menjual barangnya kepada pembeli, yang tidak lain adalah nasabah. Sebab, dengan membiayai sebagian, berarti sebagian lagi harus dibayar oleh pembeli (nasabah) sendiri, yang berarti bank di sini bertindak sebagai pihak yang mengutangi pembeli (nasabah) tersebut.
Dengan kata lain, akad murabahah di sini bukan jual beli dengan utang, tetapi utang piutang murni. Masalahnya, jika akad murabahah ini adalah akad utang piutang, maka bank tidak boleh menetapkan “harga beli plus keuntungannya”, karena statusnya adalah utang. Utang tidak boleh dibayar, kecuali dengan jumlah yang sama. Jika tidak, maka utang piutang tersebut mengandung riba.
Mengenai klausul, Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli”, jelas tidak tepat. Sebab, janji untuk membeli belum bisa disebut akad. Sebab, akad itu harus dilakukan terhadap barang dan jasa, sedangkan janji bukanlah barang dan jasa.
Akibat dari klausul ini, maka lahir klausul berikutnya, Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.” Padahal, dalam akad jual beli yang jelas-jelas mengikat saja, masih ada khiyar (pilihan melanjutkan akad atau tidak), sementara apa yang dilakukan oleh bank dengan calon pembeli tadi baru sebatas komitmen atau janji. Jika sudah terjadi akad saja masih ada khiyar, baik dengan syarat uang muka hangus, seperti ‘arbun atau tidak, maka tentu lebih boleh lagi untuk melakukan khiyar jika akad tersebut belum terjadi.
Dengan demikian, akad murabahah seperti di atas jelas merupakan akad yang rusak, dan tidak sah.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 186

0 komentar:

Posting Komentar

 
×
Judul